Makalah Kebijakan Lingkungan di Indonesia

Makalah Kebijakan Lingkungan di Indonesia. Berikut ini saya mempunyai kutipan makalah yang berjudul “Kebijakan Lingkungan di Indonesia”. Semoga makalah kebijakan lingkungan berikut ini dapat bermanfaat untuk anda semua.

KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA

Pendahuluan

Degradasi lingkungan telah cukup lama menjadi perhatian semua bangsa, termasuk Indonesia. Karena persoalan ini dapat menimbulkan akumulasi kerusakan secara cepat, maka Menteri Negara Lingkungan Hidup perlu menerapkan beberapa kebijakan yang segera, disamping melukakan beberapa tindakan yang bersifat bertahap.

Sains dan tekonologi

Degradasi lingkungan merupakan akibat dari bencana alam maupun dampak sampingan dari meningkatnya jumlah dan kualitas produksi barang dan jasa. Hal yang kedua ini tidak mungkin dielakkan, karena jumlah populasi meningkat yang dibarengi dengan membaiknya standar hidup masyarakat. Bentuk dari kerusakan lingkungan ada dua, yakni pengikisan sumberdaya alam dan peningkatan jumlah maupun konsentrasi polusi, dan keduanya saling mempengaruhi.

Untuk mengelola kedua hal tersebut, kebijakan yang cukup jamak ditempuh adalah melakukan efisiensi penggunaan material dan energi. Untuk tujuan ini, kita dapat memperluas —secara spasial maupun menurut bidang industri— penerapan metode daur-ulang (recycle maupun recovery). Berbagai bentuk energi alternatif (energi non-fosil) dapat pula dikembangkan, seperti energi surya, angin, air, gelombang laut, pasang-surut laut, sampah, etanol dan biomas. Bahan bakar kayu sebenarnya juga masih dapat dikembangkan, terutama di kalangan masyarakat pedesaan, sepanjang tidak mengakibatkan penggundulan hutan. Tenaga nuklir juga merupakan alternatif, akan tetapi mengingat risiko dan biaya pembuatannya yang besar, alternatif ini kiranya kurang mendesak kita pilih.

Sosial-ekonomi

Pendekatan sains dan teknologi di atas mengasumsikan bahwa kita tidak mungkin mengurangi tingkat konsumsi sebagaimana yang kita nikmati saat ini. Asumsi ini dapat dipersoalkan, khususnya dari segi akhlak, karena sebenarnya kita bisa hidup sederhana, sehingga kita tak perlu mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak yang sekarang kita lakukan.

Strategi pertumbuhan ekonomi bisa dilihat secara negatif sebagai pilihan kebijakan yang mendorong kita untuk mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, demi kepentingan kelestarian lingkungan, strategi pembangunan kita seyogyanya dikaji-ulang dengan memperhatikan kemungkinan diterapkannya strategi lain seperti pemerataan, keberlanjutan, dan kesederhanaan. Ketergantungan kita kepada perdagangan internasional, yang merupakan salah satu sebab (dan sekaligus akibat dari) pilihan strategi pertumbuhan itu, sekalipun tak terhindari, perlu dikaji kembali. Apakah tidak mungkin, misalnya, kita menjadikan 27 propinsi kita itu sebagai unit-unit ekonomi yang mandiri, sehingga proses berekonomi kita dapat berjalan tanpa harus bergantung ke negara lain? (Ini akan meminta pemerintah pusat untuk memberikan otonomi yang jauh lebih besar kepada propinsi.)

Sentralisme aktivitas ekonomi, yang dalam batas-batas tertentu merupakan akibat dari keterikatan kita pada perdagangan dengan negara maju (lihat pendekatan center-periphery), berjalan beriringan dengan sentralisme politik dan birokrasi. Hal ini menjadikan kerusakan lingkungan —sebagai dampak dari proses produksi— sukar dikontrol.

Sekalipun demikian, dalam posisinya saat ini, pemerintah dapat menerapkan beberapa kebijakan untuk mengerem industri dari pengrusakan lingkungan yang tak terkendali. Ilmu ekonomi mengenal tiga alternatif kebijakan yang dapat diterapkan, yakni pajak polusi, standar polusi dan subsidi bagi industri yang menekan polusi. Di antara ketiga pilihan ini, pajak adalah yang paling baik, sekalipun dua pilihan lain dapat pula diterapkan. Dalam hal pajak ini, setiap industri harus membayar pajak lingkungan, yang besarnya ditentukan oleh suatu badan otoritas setelah melakukan penaksiran kerusakan lingkungan yang dapat ditumbulkan oleh polusi industri itu. Dalam hal ini pemerintah tidak lagi perlu melakukan tindakan apapun, kecuali menerima pembayaran pajak dari industri setiap semester atau setiap tahun. Pemerintah tidak perlu melakukan kontrol yang ketat terhadap industri, sebab dengan logika ekonominya industri akan memproduksi polusi yang kerusakannya dapat ditanggulangi oleh pemerintah dari pajak lingkungan itu.

Dalam hal standar, pemerintah harus menetapkan patokan jumlah polusi yang boleh dikeluarkan oleh suatu industri. Pemerintah kemudian harus melakukan pemantauan, untuk mengetahui kepatuhan industri terhadap standar tersebut. Jika industri memproduksi polusi lebih besar daripada standar, maka pemerintah akan memungut denda. Sementara itu, jika pemerintah menerapkan kebijakan subsidi, maka ia akan melakukan tindakan sama dengan penerapan standar. Bedanya, jika industri mengeluarkan polusi kurang dari standar, maka ia memperoleh subsidi dari pemerintah.

Administrasi

Secara teknis-administratif, ada beberapa metode yang dapat ditempuh untuk mengurangi polusi dari kalangan industri. Pertama, mengharuskan industri menyebutkan secara rinci kualitas dan jumlah polusi yang akan dikeluarkannya dalam setiap proposal pendirian pabrik. Proposal ini di-bar-gaining-kan dengan pemerintah, dan dianggap sebagai suatu kontrak. Jika dalam operasi produksi nanti jumlah polusinya lebih dari yang tertera dalam proposal, maka perusahaan harus membayar denda (selain harus memenuhi pajak lingkungan, jika ini diberlakukan.)

Kedua, pemerintah dapat mengangkat seorang detektif lingkungan. Tugas dari detektif ini adalah mencurigai dan meneliti polusi yang ditimbulkan oleh suatu industri, dan diberi wewenang untuk memperoleh informasi apapun dari pihak industri maupun pihak lain. Ketiga, pemerintah harus punya badan khusus yang mempunyai otoritas untuk menghukum setiap pengrusakan lingkungan. Tapi di pihak lain, keempat, pemerintah perlu menyediakan suatu lembaga yang memberikan advis (nasihat) gratis kepada industri tentang cara menekan polusi.

Pada level makro organisasi, beberapa penyakit birokrasi seperti tidak responsif- dan lambannya para pegawai dalam mengambil keputusan hendaknya dicegah, sebab kasus polusi menuntut penanganan yang sesegera mungkin. Untuk itu struktur organisasi hendaknya dibuat desentralistis.

Persoalan kelambanan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus pencemaran lingkungan bisa juga diakibatkan oleh kurang terampilnya pejabat yang bertanggungjawab terhadap kasus tersebut. Apabila demikian, maka perlu dijajagi kemungkinan untuk mengangkat seorang peneliti atau sarjana yang independen guna yang diberi wewenang menjalankan tugas-tugas pengawasan lingkungan. Organisasi lingkungan merupakan mitra kerja yang sangat baik bagi pemerintah. Mestinya organisasi seperti ini didorong bekerjasama secara kosporatis dengan pemerintah, sehingga mereka tidak perlu mempergunakan demonstrasi sebagai alat mengekspresikan ideologi-hijau mereka.

Prioritas

Kerusakan lingkungan diprediksikan akan mencapai tingkat yang rawan pada Pelita X mendatang, seperti tercemarnya udara di Indonesia dengan proporsi 40% dan terasamkannya tanah seluas 50%. Kita belum terlambat untuk mengambil tindakan agar ramalan tersebut tidak terwujud.

Di antara berbagai persoalan dan kemungkinan yang dibahas di atas, penetapan standar dan penunjukan detektif lingkungan kiranya perlu ditempatkan sebagai prioritas utama. Pertimbangannya adalah bahwa kita perlu menekan tingkat polusi sesegara mungkin, terutama polusi oleh industri. Keterlambatan beberapa hari saja akan dapat menimbulkan kerugian yang tak terhitung. Penghukuman kepada pelanggar standar sebaiknya dipublikasikan, agar penetapan hukuman itu mendorong kalangan industri untuk mencegah polusi.

Bersamaan dengan pelaksanaan metode standar dan detektif tersebut, Menneg. LH hendaknya, dalam urutan prioritas yang lebih rendah, mendidik industriawan tentang akibat-buruk dari polusi yang mereka timbulkan. Pendidikan ini bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri maupun bekerjasama dengan organisasi lingkungan serta perguruan tinggi. Di pihak lain, konsumen perlu disadarkan pula untuk hanya membeli barang-barang yang diproduksi secara peduli-lingkungan. Organisasi konsumen sebaiknya diberi subsidi untuk melakukan kampanye.

Penyempurnaan administrasi di lingkungan kementerian LH juga perlu dilakukan terus-menerus. Organisasi yang berada di tingkat lokal (propinsi maupun kabupaten) barangkali lebih baik jika diberi otonomi yang luas. Hal ini akan bermanfaat untuk meningkatkan rasa tanggungjawab para pegawainya terhadap profesi mereka, sebab dengan otonomi mereka tidak akan dapat melemparkan kesalahan yang mereka perbuat kepada atasan. Otonomi juga memungkinkan para petugas lapangan melakukan discretionnary of power. Hal ini mengkonidisikan suatu penampilan kerja yang fleksibel dan cepat tanggap terhadap persoalan-lingkungan lokal yang selalu berubah-ubah.

Akhirnya, pada tataran filosofis, ada dua hal yang perlu selalu terus dikaji. Pertama, tidakkah kita perlu mengendalikan diri dari proses pembangunan yang mengarah ke masyarakat industrialis-materialistik sebagaimana yang kita lakukan selama ini? Kedua, tidakkah kontinum korporatisme negara perlu digeser, dari dominannya kerjasama antara pemerintah-pengusaha ke arah kerjasama yang lebih kuat antara pemerintah-konsumen? Pengkajian secara terus-menerus dan dinamis terhadap kedua persoalan ini hendaknya dilakukan dengan memberikan perhatian yang imbang terhadap kepentingan pribadi pengusaha maupun konsumen (self-interest), kepentingan umum [public interest), kepentingan generasi mendatang (pos-terity interest) maupun kepentingan alam tempat kita hidup [nature's inter­est). Pemberian bobot yang lebih berat kepada salah satu kepentingan hanya akan menunda implementasi kebijakan lingkungan yang menjanjikan kelestarian pembangunan.

MENGAPA LINGKUNGAN?

Masalah lingkungan

Planet bumi sampai saat ini merupakan satu-satunya tempat yang layak-huni bagi manusia. Usaha eksplorasi planet-alternatif di tata surya lain belum memperoleh hasil positif. Karenanya, pengelolaan bumi perlu dilakukan sedemikian rupa, untuk menjaga keberlanjutan hidup manusia.

Kesadaran akan perlunya pengelolaan bumi yang menjamin keberlanjutan kehidupan manusia mulai muncul tatkala proses produksi yang kita lakukan menimbulkan dampak-negatif berupa polusi —yang tidak saja mengakibatkan sakitnya manusia melainkan juga merusak habitat yang selanjutnya berbalik menciptakan ketidaknyamanan hidup manusia. Di Eropa kebutuhan akan kenyamanan lingkungan hidup dirasakan menguat beberapa dekade setelah Revolusi Industri.

Pada dekade ini, ketika jumlah manusia melimpah dan kemakmuran meninggi (sekalipun tidak merata), polusi telah mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Beberapa peristiwa yang diduga-kuat sebagai dampak-utama dari polusi adalah: perubahan cuaca secara global, hujan asam di banyak negara industri beriklim dingin, kelangkaan flora dan fauna lautan, serta jutaan kasus sakit dan matinya manusia setelah terjadi polusi.

Kecuali itu, ada sebuah kerusakan lingkungan lain yang terjadi sebagai hasil langsung dari produksi manusia, yaitu penggundulan hutan. Ini selain merusak habitat hutan sendiri juga menghancurkan sungai, serta —dalam tingkat yang rendah— bertanggungjawab terhadap perubahan cuaca global.

Mengapa polusi?

Setiap kegiatan produksi tidak bisa tidak menghasilkan dampak-negatif berupa polusi. Polusi sendiri tidak selalu merusak lingkungan. Jika jumlahnya relatif sedikit, ia akan diserap oleh alam. Akan tetapi, karena polusi, terutama sejak PD II, dimuntahkan dalam jumlah yang melebihi daya-serap alam, maka pada akhirnya dia merusak lingkungan.

Negara-negara industri adalah tertuduh utama dalam proses polusi tersebut. Tanggungjawab mereka terhadap pemanasan global, misalnya, diduga lebih dari 80% —sisanya oleh negara-negara kurang kaya, antara lain melalui penggundulan hutan.

Karena negara industri mengeluarkan sangat banyak polusi, dan karena akibat-langsung dari polusi tersebut dirasakan secara kuat oleh masyarakat lokal di sana, maka tidak heran kelompok-kelompok "hijau" bermunculan. Mereka terutama menekan pemerintah mereka sendiri untuk mengurangi polusi dari pabrik maupun kendaraan, dan pada gilirannya kemudian juga mendesak pemerintah di negara tetangganya untuk melakukan hal yang sama. "Gerakan hijau" kemudian meng-antar-bangsa, sebagaimana LSM pada umumnya (dan juga perusahaan besar produsen polusi).

Kebijakan polusi

Sekalipun polusi telah dirasakan oleh banyak sekali individu, pemerintah di hampir semua negara belum akan bertindak mengerem semprotan polusi yang diperbuat oleh —terutama— industriawan, jika belum terjadi peristiwa kerusakan yang sedemikian kuat (misalnya meninggalnya sekian ribu orang) ataupun jika belum ada tekanan dari kelompok masyarakat yang mampu memberikan pengaruh politik (baca: kekuasaan) yang signifikan.

Pemerintah sebenarnya mempunyai banyak alternatif untuk mengendalikan polusi. Beberapa di antaranya adalah: pajak lingkungan, standar polusi, dan ijin polusi. (Asumsi dari semua alternatif ini adalah: polusi tidak dapat dihindari, melainkan hanya dapat dikurangi.) di antara tiga alternatif ini, pajak lingkungan merupakan kebijakan yang paling efektif, karena dia memberikan insentif ekonomi kepada para pelaku-lingkungan untuk mengurangi sebanyak mungkin polusi. Tetapi, dia paling kurang populer. Banyak pemerintah yang memilih menerapkan standar polusi. Itupun belum dilaksanakan secara konsisten, meskipun hampir semua negara telah menegaskan komitmen politik mereka terhadap kelestarian lingkungan

Mengapa pemerintah terkesan mengendalikan diri dari usaha mengerem polusi? Ini dikarenakan oleh embanan-ganda pemerintah: menumbuhkan ekonomi di satu pihak dan menjaga kelestarian alam di pihak lain. Karena bertumbuhnya ekonomi —yang akan menyediakan pekerjaan bagi dan mengayakan warga negara— merupakan peristiwa yang secara politik lebih signifikan dibanding terpolusinya lingkungan (setidaknya sampai saat ini), maka tentu saja pemerintah akan menomorduakan peristiwa yang terakhir.

Selain itu, upaya pencegahan polusi berada dalam jebakan "tragedi barang publik". Lingkungan adalah barang publik, yang dalam batas tertentu tidak dimiliki oleh siapapun tetapi diakses oleh setiap individu. Sementara itu, setiap individu berusaha untuk memaksimalkan kepuasan yang bisa disedotnya dari lingkungan.- Pula, dalam cara hidup "kapitalistik", setiap orang akan berusaha hidup kaya sebagaimana orang yang paling kaya hidup. Dalam logika ini, maka seorang individu akan menunggu individu lain melakukan pengurangan polusi (dan juga pengendalian eksploitasi alam) sebelum dirinya melakukan hal yang sama. Hal semacam ini berlaku dalam kasus pabrik, propinsi maupun negara. Akibatnya, sudah barang tentu, polusi berlangsung tak terkendali.

Masih dalam logika seperti itu, bisa juga dijelaskan bahwa keengganan seorang individu, sebuah pabrik, ataupun suatu negara, mengurangi polusi bersumber pada kendala non-tarif dalam perdagangan. Jika suatu negara mengurangi polusi, yang berarti menambah biaya produksi (baik untuk mengefisienkan teknologi produksi maupun untuk mengolah limbah), sementara negara lain tidak melakukan hal yang sama, maka produk dari negara tersebut tidak akan mampu bersaing di pasar. Padahal, upaya negosiasi untuk memperoleh kesepakatan tentang standar polusi membutuhkan waktu bertahun-tahun —yang selama itu polusi akan masih terus berlangsung.

Sekalipun peran pemerintah cukup sentral dalam upaya pengendalian polusi, dia bukanlah yang utama. Kesadaran individu (dalam posisinya sebagai produsen maupun konsumen) juga ikut menentukan perilaku-lingkungan mereka.16 Demikian pula dengan situasi ekonomi secara keseluruhan. Industri Inggris yang bangkrut selama 1970-an, misalnya, menurunkan tingkat polusi udara di negara itu secara sangat signifikan.

Beberapa penulis mencari akar penyebab perusakan lingkungan pada pandangan dan gaya hidup manusia modern (-kapitalis). Mereka menuduh perasaan superioritas manusia atas alam menjadikan kita berperilaku eksploitatif-destruktif terhadap lingkungan. Karena itu, sebagian penulis menginginkan agar kita berpaling ke pandangan-hidup kuno: menganggap manusia sebagai bagian integral dari dan sejajar dengan makhluk (hidup dan mati) yang lain.

Penutup

Pertumbuhan ekonomi (baca: kekayaan, kemakmuran) yang tampaknya masih menjadi tujuan utama yang dikejar oleh sebagian besar individu dan negara kiranya perlu dikaji-ulang, jika kita menginginkan situasi lingkungan yang nyaman dan sehat. Pertimbangan untung-rugi dalam jangka panjang, misalnya dalam tujuh generasi, dengan memasukkan untung-rugi yang diderita oleh alam ke dalam penghitungan tersebut.

Upaya pelestarian lingkungan, dari uraian di atas, mengharuskan pemerintah semua negara menerapkan kebijakan lingkungan secara sepadan dan konsisten. Mereka akan melakukan tindakan tersebut, jika kelompok-kelompok penekan memberikan desakan yang kuat kepada pemerintah. Ini, tentu saja, mensyaratkan suatu mekanisme pemerintahan (dan bernegara) yang jauh dari otoriter dan meminta birokrasi yang terbuka.

DEMOKRASI, NEGARA DAN KELESTARIAN SUMBERDAYA ALAM

Kelestarian dalam tulisan ini didefinisikan sebagai tetap tersedianya sumberdaya alam bagi aktivitas kehidupan kita yang berbeda pada saat ini, aktivitas kehidupan orang lain, aktivitas kehidupan spesies non-manusia, maupun bagi aktivitas kehidupan generasi yang belum lahir.

Definisi yang panjang itu telah menjadi isu sangat penting pada dasawarsa terakhir, berdampingan dengan tetap hangatnya isu klasik demokratisasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Dan di sini kedua isu ini akan dikaitkan, untuk pada akhirnya diberikan solusi pemecahan hipotetik.

Demokrasi

Secara tradisional kita menginginkan adanya suatu masyarakat yang demokratis. Karakteristik yang melekat pada tatanan masyarakat demokratis adalah, antara lain, dihormatinya hak milik individu. Pada dirinya sendiri 'hak milik' mengandung pengertian yang eksklusif: bahwa hanya pemiliklah yang boleh menggunakan sesuatu barang, sedangkan orang lain terhalangi dari penggunaan barang tersebut. Jika salah satu segi dari demokrasi ini dimengerti secara demikian, maka persoalan pengurasan sumberdaya alam (SDA) akan muncul, dengan alasan sebagai berikut.

Individu selama ini dilihat sebagai 'binatang' yang bersifat egoistik dan raional. Ia mempunyai kecenderungan untuk memilih segala hal secara efisien, demi pencapaian kepentingan pribadi (self interest) secara maksimal. Bila ia memperoleh hak untuk menguasai suatu SDA, maka dapat diduga ia akan mengeksploitasinya sampai tidak ada lagi keuntungan yang dapat dikeruk dari SDA itu.

Bila saya mempunayi tanah, misalnya, maka saya akan menggunakan tanah itu semaksimal mungkin. Bila dengan bertani saya tidak meraih keuntungan yang memadai, maka saya akan menggunakannya untuk beternak, atau saya sewakan kepada seorang pengusaha hotel. Demikian pula, jika saya mempunyai hutan yang menjadi hak milik saya, maka hutan itu akan saya babat habis, karena dengan itu saya akan memperoleh keuntungan yang besar.

Pemanfaatan atas SDA tersebut dapat sangat eksploitatif, dapat pula yang sewajarnya. Banyak orang mengatakan bahwa eksploitatif-tidaknya seseorang dipengaruhi oleh filsafat hidupnya. Tapi saya tidak peduli dengan kedua hal ini. Pilihan saya tergantung pada alternatif mana yang menguntungkan, dan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan —yang menuntut kesewajaran pemanfaatan SDA— tak perlu saya pedulikan karena saya berbuat terhadap apa yang saya miliki. Dengan demikian, demokrasi tidak menjamin kelestarian SDA yang kita bicarakan di sini. Bahkan, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa konservasi SDA bertentangan dengan logika demokrasi seperti yang kita pahami di sini.

Negara-sentris

Gagasan demokrasi di atas berada pada kutub yang berlawanan dengan gagasan negara-sentris. Pada gagasan terakhir ini diyakini bahwa hak milik terhadap suatu barang seharusnya dipegang oleh negara. Sekalipun dalam praktiknya ada saja barang yang menjadi 'hak milik' pribadi, pada akhirnya pemanfaatan barang itu (terutama SDA) harus berada dalam kontrol negara secara ketat. Karena negara adalah organ yang mempunyai tujuan yang baik-baik saja, maka dengan ini diharapkan tidak akan terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap SDA.

Persoalannya adalah, apakah negara akan bisa menjadi 'sebaik' itu? Bahkan, lebih fundamental lagi, siapakah 'negara' itu sebenarnya? Bila dalam kehidupan sehari-hari negara dimainkan oleh pemerintah, kita tidak bisa menipu diri bahwa pemerintahpun mempunyai kepentingan tertentu sebagaimana individu. Pemerintah punya kepentingan untuk, misalnya, memperoleh pendapatan dan pajak. Apakah kepentingan dapat dipastikan tidak akan bertabrakan dengan pelestarian SDA?

Kecuali itu, pemberian hak milik terhadap SDA kepada negara secara hampir tak terbatas telah terbukti sangat rawan terhadap kemungkinan distorsi, seperti korupsi dan monopoli. Bila negara punya hak yang tak seorangpun dapat (dan boleh) menggugatnya, maka di satu sisi orang-orang yang menjalankan negara akan bertindak atas nama negara tapi demi kepentingannya sendiri dan di sisi lain mereka, lagi-lagi atas nama negara, dapat memberikan lisensi pengolahan SDA itu kepada seseorang atau suatu badan hukum. Or­ang atau badan hukum ini tentu akan bertindak dengan logika 'privat'.

Akibat dari kemungkinan ini adalah setali tiga uang dengan akibat demokrasi di atas, yakni eksploitasi yang mengabaikan kebutuhan akan kelestarian. Bahkan dalam sistem yang terakhir ini akibatnya dapat lebih parah dibanding pada sistem yang pertama. Pada model demokrasi, aktivitas eksploitasi SDA oleh seseorang sedikit banyak akan terbatasi oleh kepentingan individu lain yang merasa terganggu kegiatan itu. Misalnya, sebuah perusahaan harus menghentikan operasinya ketika banyak individu memprotes limbah yang dihasilkan oleh perusahaan itu. Tidak demikian halnya dalam model negara-sentris: hanya 'negara' yang dapat mengontrol perusahaan. Dan teriakan masyarakat sering tidak cukup keras bagi telinga para pengambil kebijakan dalam struktur negara itu, sehingga banyak orang dan badan hukum yang memperoleh lisensi dari negara mengeksploitasi SDA secara leluasa. Dengan demikian, jangankan mengontrol pemanfaatan SDA, negara justru akan mengurasnya dalam situasi yang tak terkendalikan.

Komunalisme

Ide demokrasi dan negara-sentris mendapatkan respon pada ide komunalisme. Inti dari gagasan ini adalah bahwa pemilikan terhadap SDA seharusnya tidak berada di tangan individu maupun negara, melainkan tidak di tangan siapapun. Jadi, biarkanlah SDA itu terbuka untuk diolah oleh setiap orang, tanpa seorangpun memilikinya. Gagasan terakhir ini terasa aneh: bagaimana mungkin sesuatu barang tergeletak begitu saja tanpa ada yang memilikinya?

Beberapa kritik memang dapat dilontarkan pada ide komunalisme itu. Pertama, bila SDA dapat dieksploitasi oleh semua orang, maka setiap orang akan berlomba untuk mengurasnya sebanyak mungkin. Ini dengan cepat akan menjadikan habisnya SDA itu. Kedua, tidak ada seorangpun yang memperoleh desakan untuk memelihara SDA itu, karena tak satupun yang merasa memilikinya. Jadi, sama dengan kedua model terdahulu, ide ini juga tidak menjamin kelestarian SDA. Ketiga, seandainya ide ini dapat diterapkan, maka ia hanya akan terbatas pada kelompok-kelompok masyarakat yang kecil, misalnya kampung. Dengan kelompok yang kecil setiap individu memperoleh insentif untuk tidak berbuat semaunya, karena ia mudah diawasi oleh individu lain.

Partisipasi

Partisipasi di sini didefinisikan secara sederhana sebagai bertindak bersama. Sebagai ide alternatif, model ini menganjurkan agar setiap individu memiliki SDA bersama-sama dan memanfaatkannya bersama-sama pula.

Dengan pemilikan bersama, maka setiap individu akan memberikan sumbangan untuk memelihara SDA disamping mereka semua memperoleh akses untuk mengolah SDA itu. Ringkasnya, ada manajemen bersama terhadap SDA. Tetapi, persoalan toh tetap muncul dalam model ini. Bila seseorang bersama orang lain dalam suatu kelompok memiliki suatu barang dan mereka semua akan memperoleh keuntungan dalam kekelompokan itu, maka orang justru cenderung untuk pasif. Orang lebih suka untuk tidak banyak terlibat, sebab toh dengan sikap ini ia dapat pula memperoleh keuntungan dari kelompok itu. Dengan hanya berstatus sebagai anggota, ia telah dapat memperoleh hasil tanpa harus bekerja. Dengan demikian akan terjadi kemandekan kegiatan, dan kesejahteraan setiap individu akan menurun (sekalipun hal ini berarti tidak adanya eksploitasi SDA).

Persoalan ini pada akhirnya menyadarkan kita, bahwa pada akhirnya seorang individu maupun badan hukum yang memiliki otoritas untuk mengontrol muUak diperlukan. Otoritas ini berhak untuk memberikan paksaan kepada setiap individu anggota masyarakat agar melakukan tindakan tertentu. Ujung dari logika ini bercabang dua. Pertama, otoritas itu harus membagi kerja di antara para individu, agar tidak terjadi persaingan yang berlebihan yang berakibat pada pengurasan SDA sebagaimana dijelaskan di depan. Karena ada pembagian tugas —yang harus dipatuhi para individu—, maka pasti ada sebagian individu yang tidak memperoleh kepuasan yang diharapkannya. Ada banyak individu yang merasa bahwa ia akan dapat memperoleh sesuatu jika sang otoritas membiarkan mereka berbuat sesukanya. Oleh karena itu, yang kedua, otoritas itu harus menciptakan suatu struktur sedemikian rupa agar supaya terjadi distribusi pemanfaatan hasil secara adil.

Negara memungkinkan adanya pembagian tugas itu, dan demokrasi memudahkan kita untuk membagi-adil apa yang menjadi hak dari setiap individu.

KEBIJAKAN LINGKUNGAN YANG TOLERAN

Sebagai isu kebijakan, lingkungan barangkali merupakan isu yang pal­ing a-politis. Orang tidak membicarakan persoalan yang satu ini dalam suasana perebutan pemenuhan kepentingan politik kelompok atau sentimen primor­dial. Hal ini karena lingkungan menyentuh nasib manusia keseluruhan, dan lebih-lebih nasib generasi mendatang. Adalah sangat manusiawi bahwa setiap kali memikirkan nasib anak atau anak cucu, kita mengabaikan kepentingan-sesaat kita dan kelompok kita.

Namun masalahnya, apakah dengan rendahnya kadar politis dari subyek ini menjadikan setiap kebijakan tentang lingkungan mudah diterapkan? Agaknya tidak demikian, karena ada beberapa potensi kegagalan dalam siklus kebijakan. Teoretis, paling tidak ada tiga kemungkinan yang menjadikan tidak efektifnya implementasi suatu kebijakan.

Pertama, sasaran yang dicanangkan oleh kebijaksanaan tersebut keliru, sehingga sebaik apapun implementasi itu dilakukan, tujuan yang tercapai bukanlah tujuan yang sebenarnya diinginkan. Kedua, akibat yang dihasilkan oleh implementasi kebijakan itu sama sekali tidak terduga. Misalnya, sebuah dam dibangun untuk memperoleh tenaga listrik selama 50 tahun. Tapi karena wilayah industri berkembang begitu pesat, tidak sebagaimana diramalkan sebelumnya, lahan hutan menyusut secara tajam sehingga terjadi erosi yang cepat yang menjadikan dam itu hanya berfungsi dalam waktu 15 tahun saja.

Kemungkinan ketiga adalah materi kebijakan teruji secara saintifik, tapi implementasinya kurang baik, sehingga tujuan kebijakan gagal tercapai. Persoalan ini yang kita perbincangkan di sini.

Lemahnya implementasi kebijakan pada umumnya dipahami sebagai ketidakmampuan —secara teknis— para implementor (jelasnya: pegawai negeri atau kontraktor) dalam menjabarkan dan menjalankan kebijakan. Ada juga yang mengatakan bahwa manajemen yang jeleklah yang menjadikan kurang berhasilnya pelaksanaan suatu kebijakan. Kedua penjelasan ini agaknya problematik, karena bukankah implementor itu biasanya telah ditraining beberapa bulan tentang kebijakan yang harus diembannya, tidak saja mengenai aspek teknisnya melainkan juga aspek manajemennya. Dengan demikian, secara teknis maupun manajemen mereka dapat dianggap telah cukup mumpuni.

Terutama dalam kaitannya dengan kebijakan yang berupa peraturan atau regulasi, tampaknya penjelasan yang lebih memadai atas lemahnya efektifitas implementasi itu adalah karena adanya toleransi yang berlebihan terhadap beberapa pelaku yang tidak mematuhi kebijakan tersebut. Dengan kata lain, seringkah penanggungjawab kebijakan tidak memberikan hukuman yang semestinya kepada warga negara yang tidak berperilaku sesuai kebijakan-regulatif tersebut. Mengapa ada toleransi seperti itu?

Yang sering kita dengar adalah karena adanya kolaborasi antara, dalam kasus lingkungan, pengusaha atau industriawan dengan pejabat penanggungjawab kebijakan. Atau dengan bahasa yang kurang halus adalah karena pegawai/pejabat menerima suap —bisa dalam arti uang atau jabatan (karir maupun keamanannya)— dari pengusaha. Hal ini berakibat pada rendahnya kadar keadilan dalam implementasi kebijakan itu, dalam arti pejabat menerapkan standar ganda. Akibat yang lebih jauh adal^a dalam implementasi kebijakan berikutnya, toleransi yang diberikan kepada seorang pelaku itu dijadikan alasan oleh banyak pelaku yang lain untuk menolak mematuhi kebijakan.

Tapi penjelasan hitam-putih seperti ilu tampaknya 'kurang aman', karena ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Sekalipun ekspresi-puncaknya adalah suap dalam arti luas, toleransi terhadap berbagai kebijakan lingkungan merupakan hal yang niscaya, karena kita dihadapkan pada persoalan pengangguran. Logika ringkasnya adalah bahwa kita membutuhkan industri untuk memberikan pekerjaan kepada tenaga kerja kita yang melimpah. Industri pasti akan menghasilkan polusi, tapi ia tetap harus berjalan jika kita tidak ingin stabilitas-politik kita terganggu lantaran banyak penganggur. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karena di negara maju persoalan tenaga kerja kurang menonjol, maka mereka bisa menerapkan kebijakan lingkungan secara lebih obyektif. Jadi, intinya adalah kebutuhan kita akan survival secara ekonomis menjadikan kita mentolerir pelanggran lingkungan.

Disadari bahwa biaya pencegahan polusi sangat mahal. Jika dilakukan secara semestinya, harga produk industri yang peduli lingkungan itu bisa naik dua-tiga kali lipat. Ini bisa menjadikan industri kita yang baru bangkit akan bangkrut karena produknya tergilas oleh produk negara lain, terutama negara maju. Mengapa demikian? Karena industri di negara maju telah mapan dan berumur tua, sehingga ongkos investasi telah tertutup. Biaya pengolahan limbah bisa dianggap sebagai penyusutan modal. Tidak demikian halnya dengan negara kita. Sehingga dengan proses produksi dan pengolahan limbah yang sama, produk industri kita akan berharga lebih tinggi dibanding produk negara lain tersebut.

Alasan ekonomis tersebut menjadikan toleransi terhadap polusi lingkungan kita cukup tinggi. Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dalam beberapa kasus hanya menjadi persyaratan formal, bukannya suatu aktivitas penilaian atau assessment yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Amdal menjadi suatu 'ijin', yang dengan demikian —karena 'salah kaprah'— bersifat prosedural dan bukannya teknis. Oleh karena itulah industriawan dengan mudah menyiasati peraturan Amdal, lalu ada Amdal fiktif. Amdal hanya memperpanjang rantai perijinan pembangunan suatu industri. Jutaan rupiah terbuang percuma untuk melakukan aktivitas semacam itu.

Alinea di atas menghasilkan perspektif yang berbeda terhadap tingginya toleransi atas ketidakpatuhan (dalam dimensi teknis) terhadap kebijakan lingkungan. Artinya, karena ijin dimengerti sebagai pemberitahuan atau "kulanuwun" sebelum dibukanya suatu industri, aspek teknis dari amdal malah sering terabaikan. Ini terwujud pada fenomena bahwa sekalipun ada Bapedal dan Komisi Amdal yang beranggotakan masyarakat umum, beberapa kasus polusi yang merugikan masyarakat tidak terantisipasi sebelumnya.

Dengan perspektif yang berbeda, Menteri Sarwono Kusumaatmadja pernah menuduh sistem peradilan kita kurang mendukung pelaksanaan kebijakan (regulasi) lingkungan. Adalah hakim kita yang tidak berani secara kreatif melakukan praktik jurisprudensi. Mereka selalu bersandar pada hukum positif, artinya tidak berani mengambil keputusan ketika belum ada peraturan tentang persoalan tersebut. Padahal di pihak lain banyak kebijakan lingkungan kita yang baru berupa statement politik. Kecuali itu, sistem peradilan kita menganut asas bahwa seseorang baru dinyatakan bersalah apabila orang lain dapat membuktikan kesalahannya. Sementara dalam kasus lingkungan, seorang pelaku baru dapat dinyatakan tidak bersalah apabila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Artinya, dalam sistem hukum kita selama ini pihak tersangka pelaku kesalahan bersifat pasif, sementara dalam kasus lingkungan pihak tersangka harus aktif membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan polusi. Dia ia harus membuktikan bahwa industrinya memiliki mesin pengolah limbah yang memadai.

Berbagai perspektif telah dikemukakan dalam tulisan ini untuk menjelaskan mengapa implementasi kebijakan lingkungan di negeri kita masih kurang efektif. Mereka tidak saling menegasikan, melainkan saling melengkapi. Tapi, dalam penilaian penulis, ada satu persoalan lagi yang cukup krusial. Ialah bahwa selama ini pemerintah merumuskan kebijakan-kebijakannya masih secara teknokratik (dalam makna positif dan negatifnya). Bahwa menteri lingkungan hidup ingin menderegulasikan peraturan di bidang lingkungan, misalnya, mungkin patut dipuji. Tapi sayangnya usaha deregulasi itu tidak dilakukan dalam suatu proses formulasi kebijakan yang deregulatif. Kritik yang dilontarkan Walhi maupun beberapa aktivis lingkungan mencerminkan hal ini.

Ketidakterbukaan itulah yang kiranya belum maujud, yang menjadikan implementasi kebijakan lingkungan terkesan tidak terkontrol, sehingga kurang efektif. Oleh karena itu, kembali kepada kalimat pertama tulisan ini, bila lingkungan boleh dikatakan merupakan isu yang a-politis, mengapa kebijakannya tidak dibuat secara terbuka, terang-terangan? Jawabnya adalah karena politik memang tidak lagi menjadi panglima. Ia diganti oleh rasionalitas ekonomi.

INKONSISTENSI KEBIJAKAN DAN KETIDAKMATANGAN POLITIK:

Seorang kenek bus Solo-Yogya, bernama Sutono, tewas Kamis lalu (27 April 1995) di terminal Kartasura. Dia tertembak secara tak sengaja (?) oleh seorang polisi yang berusaha melerai perkelahiannya dengan awak dari bus lain yang menjalani rute Surabaya-Yogya. Ini semua bermula dari "rebutan" penumpang, dimana sang kenek yang tewas tersebut menilai bahwa bus-lawannya tidak berhak mengangkut penumpang di jalan. Peristiwa ini memancing solidaritas dari semua awak bus Solo-Yogya, dan mereka mogok selama dua hari. Ribuan penumpang di Solo, Klaten dan Yogya dibuat repot karena pemogokan mereka selama dua hari.

"Kasus Kartasura" ini, katakanlah begitu, bukan yang pertama kali terjadi. Hal yang mirip dengan ini berlangsung tahun lalu, dan banyak kasus kecil lain pastilah dapat dijumpai di berbagai daerah. Bahwa ini adalah persoalan yang cukup meluas tentulah memendam persoalan lain yang masih laten. Tulisan ini berusaha mengungkap masalah laten tersebut, dengan melakukan interpretasi terhadap kasus Kartasura.

Inkonsistensi kebijakan

Konon ada peraturan (dari DLLAJR?) bahwa bus jarak jauh seperti bus Surabaya-Yogya dilarang menaikkan penumpang di luar terminal. Dapat diduga larangan ini bertujuan untuk memberikan jatah penumpang kepada bus jarak dekat (Solo-Yogya). Namun sayang, sebagaimana banyak aturan lain, ketentuan ini tidak mudah ditaati. Bus-bus Surabaya-Yogya tetap menaikkan penumpang yang menyetop mereka di pinggir-pinggir jalan. Akibatnya sangat jelas: para awak bus Solo-Yogya merasa jatah penumpangnya diserobot oleh bus Surabaya. Pertanyaannya adalah: mengapa pelanggaran tersebut dapat berlangsung?

Setidak-tidaknya ada tiga kemungkinan jawaban yang dapat dikemukakan. Pertama, peraturan tersebut tidak tersosialisasikan secara baik kepada para awak bus maupun publik penumpang. Akibatnya, bus Surabaya tidak merasa bersalah menaikkan penumpang dari jalanan; dan begitu pula penumpang merasa tidak bersalah menyetop bus Surabaya di jalan. Di pihak lain, bus Solo menganggap bahwa pelanggaran tersebut memang benar-benar ada, sehingga mereka merasa cukup sah untuk marah kepada bus Surabaya.

Ke-dua, jumlah aparat DLLAJR (atau kepolisian?) terlalu sedikit untuk dapat mengontrol pelaksanaan larangan tersebut. Sehingga, sekalipun larangan itu sering dilanggar, mereka tidak dapat menjatuhkan sanksi. Atau, kalaupun kontrol itu dapat dilakukan, boleh jadi biaya operasional untuk melakukan pengawasan terlalu besar, sehingga dianggap tidak efisien. Cobalah dibayangkan, berapa banyak polisi yang harus dikerahkan dan gaji yang harus dikeluarkan untuk menugasi mereka berdiri di banyak tempat di sepanjang jalan Solo-Yogya sekedar untuk menjamin bus Surabaya tidak menaikkan penumpang di sepanjang jalan tersebut.

Ke-tiga, penumpang sendiri tampaknya lebih suka naik bus Surabaya daripada bus Solo. Hal ini karena, bagi mereka, bus Surabaya lebih nyaman: busnya cepat (bahkan sering ngebut), tidak terlalu sering berhenti, dan penumpangnya tidak berdesakan. Situasi sebaliknya dijumpai pada bus Solo: jalannya relatif lambat, sering sekali berhenti, dan penumpang berdesakan. Sehingga, sekalipun penumpang kadang-kadang harus membayar seratus sampai dua ratus rupiah lebih mahal jika naik bus Surabaya, mereka tetap memilih bus Surabaya ini ketimbang bus Solo. Kita tahu bahwa kenyamanan dan kecepatan telah menjadi kebutuhan bagi konsumen. Maka, hukum pasarlah yang berlaku: mereka yang dapat memenuhi selera konsumen akan dibeli sekalipun dengan harga yang lebih tinggi.

Ketiga hal tersebut di atas kiranya menjadi sebab dari tidak konsistensnya pelaksanaan pelarangan bus Surabaya menaikkan penumpang di jalan. Kebijakan yang telah dibuat tidak dilaksanakan dan memang sukar untuk dilaksanakan, karena keterbatasan potensi intern pembuat kebijakan itu sendiri maupun karena situasi obyektif yang tidak memungkinkan pelaksanaan kebijakan tersebut. (Catatan: sebenarnya kata yang tepat bukanlah "inkonsistensi", melainkan "lack of implementation" —tak terlaksanakan.)

Ketidakmatangan politik

Inkonsistensi pelaksanaan kebijakan (atau lack of implementation), apapun penyebabnya, menjadikan tidak adanya kepastian hukum. Ini menjadikan para pelaku kebijakan (dalam kasus ini terutama adalah awak bus dan penumpang) tidak punya pegangan yang jelas dalam berperilaku. Para awak bus, terutama bus Solo yang selama ini dirugikan dengan inkonsistensi tersebut, bahkan merasa powerless —tidak berdaya— melihat bus-bus Surabaya menaikkan penumpang di sepanjang jalan. Apalagi mereka juga menganggap bahwa para awak bus Surabaya di-backing oleh kekuatan (ekonomi ataupun politik) tertentu.

Perasaan powerless tersebut menjadikan mereka frustrasi. Dan bahwa pihak penentu kebijakan tidak pernah melakukan sanksi apapun terhadap pelanggar aturan, tidak juga melakukan upaya pembenahan, menjadikan kefrustrasian para awak bus Solo mencapai ambang batas yang tak terbendung lagi. Akibatnya, mereka memberikan sanksi sendiri yang bersifat fisik: menggebuk awak bus Surabaya. Konfrontasi menjadi bersifat langsung, tanpa ada penengah yang dapat melerai secara efektif.

Tetapi, melihat latar-belakangnya, apakah pengekspresian rasa frustrasi seperti itu dapat diterima? Persoalannya tidak terletak pada "dapat diterima" atau "tidak dapat diterima", melainkan pada kenyataan bahwa situasi semacam itu menunjukkan belum matangnya perilaku politik mereka. Para awak bus belum mampu melakukan dialog secara baik. Mereka belum menjadikan pembuat kebijakan (dalam hal ini DLLAJR) sebagai "moderator" dalam konflik kepentingan antara bus Solo dan bus Surabaya tersebut.

Kecuali itu, barangkali pula para awak bus kita belum dapat menerima suatu keputusan atau kesepakatan yang telah dibuat bersama. Hal ini disebabkan oleh kemampuan berargumentasi yang rendah, sehingga mereka merasa bahwa kesepakatan tersebut belum menyerap aspirasi dan kepentingan mereka. Akibatnya, mereka akan merasa tidak puas, dan selanjutnya tidak mau menjalankan isi kesepakatan tersebut. Hanya saja, bukan pula tidak mungkin bahwa para awak bus tidak dapat menyalurkan aspirasi mereka lantaran mereka memang tidak memperoleh kesempatan yang longgar untuk mengutarakan argumentasi. Tentu saja ini menjadikan setiap kesepakatan kosong dari aspirasi salah satu pihak, dan hanya memuaskan kepentingan pihak lain. Dalam hal yang terakhir ini, maka ketidakmatangan politik melekat pada diri pembuat kebijakan. Pembuat kebijakan yang seharusnya bertindak sebagai "moderator" atau "wasit" berubah peran menjadi "pelayan" bagi sebuah kepentingan tertentu.

Penutup

Tulisan ini telah berusaha menunjukkan dua hal penting yang tampaknya melambari terjadinya suatu bentrokkan fisik, antara anggota masyarakat maupun antara masyarakat dan pegawai pemerintah. Kedua penyebab tersebut tidak saja dijumpai secara laten dalam kasus transportasi, khususnya angkutan bus Solo-Yogya sebagaimana dianalisis oleh tulisan ini, melainkan ditemui pula dalam banyak kasus lain. Peristiwa-peristiwa seperti perlawanan (yang heroik dan berkepanjangan) atas pembebasan tanah dan pembakaran tebu TRI justru oleh para petani sendiri, misalnya, dapat dicarikan penjelasannya dalam kedua hal di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar