Makalah Islam Tanpa Fiqh dan Ijtihad

Berikut ini adalah Makalah Islam Tanpa Fiqh dan Ijtihad. Semoga makalah berikut ini dapat bermanfaat untuk anda semua yang membutuhkannya.

A. PENDAHULUAN
Sumber utama ajaran Islam adalah Al Qur’an yang merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al Qur’an hanya mengatur secara garis besar mengenai berbagai aturan. Nabi Muhammad SAW, sebagai penyampai ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an diberi otoritas untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang telah diwahyukan kepadanya. Dengan demikian ia sebagai penjelas dan pelaksana dari apa yang ditulis dalam Al Qur’an. Perkataan, perbuatan dan taqrir yang dilakukan Rasulullah merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an yang telah disepakati oleh seluruh umat Islam. Kedua dasar dan sumber hukum ini saling mengkait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al Qur’an adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain Al Qur’an adalah semua yang sudah mencakupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al Qur’an sehingga tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah SWT. Dengan landasan ini, kaum muslimin sependapat bahwa barangsiapa yang menentang dan mengubah ketentuan Allah SWT dan RasulNya maka dinyatakan sebagai kufur.
Tanpa disadari, keterikatan kaum muslimin untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran,menjadikan setiap muslim berjanji untuk mengikuti Al-Qur’an dan Hadist/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan semua yang ada dari keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari sumber yang sama (Al Qur’an dan Hadist), difahami secara berbeda, sehingga beramal pun dengan praktik yang berbeda. Karena memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan yang sama muatannya berbeda.
Awal perbedaaan ini tampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat, dalam artian wahyu dan kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti. Sebagian kaum muslimin berpandangan hanya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saja yang menjadi sumber hukum mutlak. Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu adalah terbentuknya aliran pemahaman yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar perspektif pandangan masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi berbeda pula.
Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang melahirkan generasi muslim zaman ini. Generasi kini adalah hasil dari generasi terdahulu, karena unsur sejarah mendominasi pandangan muslim dalam menilai Islam. Dengan kenyataan yang terjadi, dan pandangan yang tercipta dari waktu ke waktu, serta informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini, telah membentuk opini keislaman seseorang. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara memandang pada fenomena sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman yang berbeda pula. Sehingga i’tiqad dasar keislaman pun akan berbeda. Sementara itu, semua muslim sepakat bahwa Islam adalah agama Ilahi yang satu dan merupakan hamparan jalan tunggal menuju kepada Allah. Karena itu, kaum muslimin mau tak mau harus memilih juga, yang konsekuensinya adalah i’tiqad dasar dari pandangan di atas harus ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai yang benar, sehingga seseorang dapat memastikan keberadaan setiap personal di jalan yang lurus dan tunggal tersebut.

B. PEMBAHASAN
Pengertian Fikih
Fikih (al fiqh) berasal dari bahasa Arab yang artinya mengetahui dan memahami sesuatu. Al-Jurjani mendefinisikan fikih sebagai hukum-hukum syar’i yang menyangkut amaliyah dengan dalil-dalilnya yang terinci (tafshili). Fikih adalah suatu ilmu yang disusun melalui ra’yu dan ijtihad, yang memerlukan penalaran dan pengkajian. Al-Ghazali mengemukakan bahwa fikih ialah hukum syar’i yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf  seperti mengetahui hukum wajib, haram, mubah, mandub/sunat, dan makruh atau mengetahui suatu akad itu sah atau tidak, dan suatu ibadah itu itu qadha’ (di luar waktu yang semestinya) atau ada’  (di dalam waktunya). Kata fiqh juga dijumpai dalam Al-Qur’an, dengan kata jadian: nafqah, tafqahun, yafqahun, yatafaqahu, yang disebut dalam tidak kurang dari dua puluh ayat. Akan tetapi kata yang langsung mengaitkannya dengan pengetahuan agama terdapat dalam ayat yang berbunyi: 
فلولا نفرا من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين .... ( التوبة: 199)
Artinya: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (Q.S.Al-Taubah: 122)
Pengertian fikih dari segi istilah kebanyakan tidak jauh dari pengertian diatas, sebab fikih tidak mencakup segenap ilmu-ilmu agama. Oleh karena itu ulama fikih mendefinisikan kata fikih dengan pengertian: ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah, yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dengan demikian obyek fikih pda dasarnya ada dua, yakni pertama: hukum-hukum amaliyah (perbuatan jasmani) dan kedua: dalil-dalil tentang hukum perbuatan itu. Dengan demikian pengertian fikih tersebut memperteguh pandangan yang membedakan antara hukum amaliyah dengan hukum i’tiqadiyah (al-takalif albadaniyah dan al-takalif al-qalbiyah). Hal ini menunjukkan bahwa hukum-hukum tentang aqidah tidak termasuk dalam wilayah kajian fikih.
Lebih dari pengertian di atas, secara esensial, fikih dalam arti pemahaman adalah upaya yang sungguh-sungguh dilakukan oleh para mujtahid. Di sini kita dapat memahami fikih merupakan produk nalar dari mujtahid ketika mereka berusaha menggali hukum-hukum amaliyah dari nash-nash syariat. Dengan kata lain, lewat instrumen fikih itulah hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah dapat difahami dan dilaksanakan oleh manusia. Jadi, meskipun sumber fikih itu adalah nash-nash syariat (Al-Qur’an dan Sunnah), namun substansi fikih sendiri adalah ijtihad ulama, sehingga merupakan pokok nalar atau pikiran.
Baik fikih tekstual (manshush) maupun fikih ijtihad ( ijtihadiy), dua-duanya merupakan hasil pemahaman mujtahid. Oleh karena itu maka tidak diherankan jika dalam memahami suatu obyek hukum, hasil pemahaman (fikih) yang dihasilkan oleh seorang mujtahid berbeda atau bertentangan dengan pemahaman (fikih) yang diperoleh mujtahid lainnya.

C. Pengertian Mazhab, Perkembangan, Latar Belakang Timbulnya dan Dampaknya terhadap Perkembangan Fikih
Menurut bahasa, mazhab (مذهب) berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim Kaman (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” (ذهب) yang berarti “pergi”.Bisa juga berarti al-ra’yu (الرأي) yang artinya “pendapat”.
Mazhab menurut istilah meliputi dua pengertian, yaitu:
  1. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadist.
  2. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Quran dan Hadist.

Jadi, mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath imam mujtahid tertentu atau mengikuti imam mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Pada masa Tabi’-tabi’in yang dimulai pada awal abad kedua Hijryah, kedudukan ijtihad sebagai istinbath hukum semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa itu muncullah mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam. Di kalangan Jumhur pada masa ini muncul tiga belas mazhab, yang berarti pula telah lahir tiga belas mujtahid. Akan tetapi dari jumlah itu, ada sembilan imam mazhab yang paling popular dan melembaga di kalangan jumhur umat Islam dan pengikutnya. Pada periode inilah kelembagaan fikih, berikut pembukuannya mulai dikodifikasikan secara baik, sehingga memungkinkan semakin berkembang pesat para pengikutnya yang semakin banyak dan kokoh. Mereka yang dikenal sebagai peletak ushul dan manhaj (metode) fikih adalah:
  • Imam Abu Sa’id al Hasan bin Yasar al-Bashry (wafat 110 H).
  • Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zautha (wafat 150 H).
  • Imam al Auza’iy Abu Amr Abd. Rahman bin ‘Amr bin Muhammad, (wafat 157 H).
  • Imam Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Tsaury (wafat 160 H).
  • Imam al-Laits bin Sa’ad (wafat 175 H).
  • Imam Malik bin Anas al-Ashbahy (wafat 179 H).
  • Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H).
  • Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I (wafat 204 H).
  • Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H).

Munculnya mazhab-mazhab tersebut, menunjukkan betapa majunya perkembangan hukun Islam pada waktu itu. Hal ini terutama disebabkan adanya tiga faktor yang yang sangat menentukan bagi perkembangan hukum Islam sesudah wafatnya Rasulullah SAW, yaitu:
  1. Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Parsi dan lain-lain.
  2. Pergaulan kaum Muslimin dengan bangsa yang ditaklukannya. Mereka terpengaruh oleh budaya, adat istiadat serta tradisi bangsa tersebut.
  3. Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan itu dengan ibu kota khilafah (pemerintahan) Islam membuat para gubernur, para hakim dan para ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi.

Perkembangan mazhab-mazhab itu tidaklah sama. Ada yang mendapat sambutan dan memiliki pengikut yang mengembangkan sarta meneruskannya, namun adakalanya suatu mazhab kalah pengaruhnya oleh mazhab-mazhab lain yang datang kemudian, sehingga pengikutnya menjadi surut. Mereka hanya disebut saja pendapatnya di sela-sela lembaran kitab-kitab para Imam Mazhab, bahkan ada yang hilang sama sekali. Mazhab yang dapat bertahan dan berkembang terus sampai sekarang serta banyak diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia, hanya empat mazhab yaitu:
  • Mazhab hanafi, pendirinya Imam Abu Hanifah.
  • Mazhab Maliki, pendirinya Imam Malik.
  • Mazhab Syafi’i, pendirinya Imam Syafi’i.
  • Mazhab Hanbali, pendirinya Imam Ahmad bin Hanbal.

Perkembangan keempat mazhab ini sangat ditentukan sekali oleh beberapa faktor yang merupakan keistimewaan tertentu bagi keempat mazhab tersebut. Faktor-faktor itu menurut Khudhari Bek, adalah:
  1. Pendapat-pendapat mereka dikumpulkan dan dibukukan. Hal ini tidak terjadi pada ulama salaf.
  2. Adanya murid-murid yang berusaha menyebarluaskan pendapat mereka, mempertahankan dan membelanya. Mereka dalam organisasi sosial dan pemerintah mempunyai kedudukan yang menjadikan pendapat itu berharga.
  3. Adanya kecenderungan jumhur ulama yang menyarankan agar keputusan yang diputuskan oleh hakim harus berasal dari suatu mazhab, sehingga dalam berpendapat, tidak ada dugaan yang negatif, karena mengikuti hawa nafsu dalam mengadili. Hal ini hanya tidak akan dapat terjadi bila tidak terdapat mazhab yang pendapat-pendapatnya dibukukan.

Mazhab-mazhab tersebut tersebar ke seluruh pelosok negara yang berpenduduk Muslim. Dengan tersebarnya mazhab-mazhab tersebut, berarti tersebar pula syari’at Ialam ke pelosok dunia yang dapat mempermudah umat Islam untuk melaksanakannya.
Di samping berdampak positif, muncul dan berkembangnya mazhab itu juga menimbulkan dampak negatif. Setelah munculnya mazhab-mazhab dalam hukum dan hasil ijtihad para imam mazhab telah banyak dibukukan, ulama sesudahnya lebih cenderung untuk mencari dan menetapkan produk-produk ijtihadyah para mujtahid sebelumnya, meskipun mungkin sebagian dari hasil ijtihad mereka sudah kurang atau tidak sesuai lagi dengan kondisi yang dihadapi ketika itu. Lebih dari itu, sikap toleransi bermazhab pun semakin menipis di kalangan sesama pengikut-pengikut mazhab fikih yang ada, bahkan acapkali timbul persaingan dan permusuhan sebagai akibat dari fanatisme mazhab yang berlebihan. Kemudian berkembang pandangan bahwa mujtahid hanya boleh melakukan penafsiran kembali terhadap hukum-hukum fikih dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh imam-imam mazhab yang dianutnya. Hal ini mengakibatkan kemunduran fikih Islam.
Kemunduran fikih Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad ke-4 sampai akhir abad ke-13 Hijryah ini sering disebut sebagai “Periode Taqlid” dan “penutupan Pintu Ijtihad”. Disebut demikian, karena sikap dan paham yang mengikuti pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang lumrah, bahkan dipandang tepat.
Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:
وَالَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُوْنَ مِنْهُمْ
Artinya: “Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupannya, maka orang munafik itu menghina mereka.”(QS. At-Taubah:79).
Pengubahan kata ja ha da (جهَد) atau ja hi da (جهِد) menjadi ijtahada (اجتهد) dengan cara menambahkan dua huruf, yaitu “alif” diawalnya dan “ta” antara huruf “jim” dan “ha”, mengandung enam maksud, satu diantara maksudnya yang tepat adalah untuk “mubalaghoh” (مبالغة), yaitu dalam pengertian “sangat”.
Bila kata ja ha da dihubungkan dengan dua bentuk masdarnya tersebut, pengertiannya berarti “kesanggupan yang sangat” atau “kesungguhan yang sangat”. Menurut istilah sebagaimana dikemukakan Zakariya al-Anshari adalah upaya maksimal seorang faqih dalam memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat dzanni. Namun sebagaimana al-Ghazali katakan kendati hasil ijtihad ini dzanni, tapi harus diyakini kebenarannya. Baik oleh mujtahidnya sendiri maupun para pengikutnya.
Banyak rumusan yang diberikan mengenai definisi Ijtihad, tetapi satu sama lain tidak mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan terlihat saling menguatkan dan menyempurnakan. Diantaranya adalah:
Imam Al-Syaukani dalam kitabnya irsyadul fuhuli memberikan defenisi:
بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريق الاستنباط
Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat ‘amaly melalui cara istinbath.
Ibnu Syubki mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم شرعي
Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.
Saifuddin al-Amidi dalam bukunya al-Ihkam, menyempurnakan dua defenisi sebelumnya dengan penambahan kata: 
استفراغ الوسع فى طلب الظن بشيئ من الأحكام الشرعية بحيث يَحِسُّ من النفس العجز عن المزيد فيه
Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang merasa dirinya tidak mampu berbuat lebih daripada itu.
Dari defenisi tersebut mengandung arti bahwa pengerahan kemampuan tersebut dilakukan secara maksimal. Dengan demikian, pengerahan kemampuan secara sembrono, asal-asalan atau sekedarnya saja, tidak dinamakan ijtihad.
Dalam menggunakan nalarnya untuk mengetahui hukum, para mujtahid menghadapi dua kemungkinan, yakni mungkin mereka dapat langsung mengetahui hukum setelah menelaah sejumlah nash-nash yang dapat memberikan pengertian induktif tentang hukum yang digali yang disebut dengan fikih tekstual (al-fiqh al-manshus). Mungkin juga mujtahid dapat mengetahui hukum tentang suatu perbuatan setelah menggunakan lebih banyak nalar karena obyek hukum yang dimaksud tidak disebut secara tegas dalam nash-nash syariat, yang disebut juga dengan fikih kontekstual berdasarkan ijtihad (al-fiqh al-ijtihadiy).
Dalam sejarah fikih Islam, ijtihad yang merupakan penggunaan nalar dalam memahami dan menetapkan hukum, telah ada sejak permulaan Islam yakni sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Ijtihad tidak hanya dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi, justru Nabi sendiri kadang memberikan penjelasan dan menetapkan hukum berdasarkan ijtihad. Akan tetapi ijtihad Nabi tentu saja berbeda dengan ijtihad ummatnya. Ada dua hal pokok yang membedakan ijtihad Nabi dengan ijtihad ummatnya, yakni: pertama, bahwa kedudukan Nabi SAW sebagai Rasul utusan Allah yang berfungsi membawa dan menjelaskan syariat kepada ummatnya menyebabkan ijtihad beliau tidak merupakan produk nalar murni, tetapi lebih patut disebut Al-sunnah. Kedua, selaku Nabi dan Rasul, beliau memiliki sifat ma’shum yaitu keterpeliharaan untuk tidak melakuan kesalahan dan dosa, sehingga pemikirannya tetap terjamin untuk selalu benar. Kalaupun beliau pada waktu tertentu melakukan kekeliruan, maka seketika itupun beliau mendapat teguran dari Allah, sehingga Nabi dapat kembali kejalur ijtihad yang benar.

PERLUNYA IJTIHAD DI ZAMAN SEKARANG
Apabila ijtihad itu dibutuhkan di setiap zaman, maka pada zaman kita sekarang ini lebih butuh lagi kepada ijtihad bila dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya karena adanya perubahan yang terjadi dalam kehidupan dan perkembangan sosial yang amat pesat setelah adanya revolusi industri yang terjadi di dunia ini. Oleh sebab itu, adalah suatu kebutuhan mendesak pada masa sekarang untuk membuka kembali pintu ijtihad. Pintu ijtihad ini telah dibukakan oleh Rasulullah SAW, maka tidak seorangpun yang berhak menutupnya setelah dibukakan oleh Rasulullah SAW, dalam artian kita tidak hanya sekedar mendeklarasikan terbukanya pintu ijtihad tetapi kita harus benar-benar melaksanakan ijtihad tersebut.
Selayaknya ijtihad di zaman sekarang ini merupakan ijtihad jama’i ( ijtihad kolektif) dalam bentuk lembaga ilmiah yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi di bidang fikih, dan hendaknya lembaga ilmiah tersebut mampu menetapkan hukum dengan berani dan bebas serta lepas dari pengaruh dan tekanan sosial dan politik. Walaupun demikian kita tetap memerlukan ijtihad fardi (ijtihad individu) sebab ijtihad individu inilah yang menyinari jalan kearah ijtihad kolektif dengan berbagai topangan yang diberikan dalam bentuk studi yang mendalam atau hasil penelitian yang murni bersih. Bahkan aktivitas ijtihad tersebut merupakan aktivitas individu terlebih dahulu.
Ijtihad yang dimaksudkan hendaknya mengarah kepada pembahasan masalah-masalah baru dan problema-problema modern serta berusaha mencari penyelesaiannnya berdasarkan nash-nash hukum yang pokok, maksudnya yang umum dan kaidah hukum yang masih bersifat umum. Disamping itu perlu juga meninjau kembali pendapat-pendapat lama guna meluruskan atau merubahnya dan membubuhinya dengan nilai baru yang sesuai dengan kondisi dan situasi zaman sekarang serta kebutuhan-kebutuhannya. Tinjauan kembali ini tidak terbatas pada hukum-hukum yang ditetapkan dengan pendapat, yakni hukum-hukum hasil ijtihad dalam hal-hal yang tidak ada nash hukumnya, tapi yang berlandaskan atas tradisi atau maslahat temporal yang sekarang telah tiada. Tetapi juga bisa mencakup sebagian hukum yang ditetapkan oleh nash-nash yang bersifat zdanni indikasi hukumnya. Barangkali seorang mujtahid di zaman sekarang ini telah dikaruniai suatu pengertian yang belum pernah dimiliki oleh ulama-ulama terdahulu, atau menemukan suatu pendapat yang pernah timbul pada sebagian ulama salaf atau khalaf yang kemudian pendapat tersebut hilang tak menentu karena saat itu belum dibutuhkan, atau telah berlalu zamannya, atau karena tidak terkenal ulama yang menyatakannya atau mungkin karena pendapat tersebut bertentangan dengan tradisi yang lama yang berlaku atau kekuatan para penentang pendapat tersebut dan karena kekuasaan mereka dibidang politik dan sosial, atau karena pendapat tersebut hilang karena sebab yang lainnya.

ISLAM TANPA FIQIH DAN IJTIHAD
Adanya ijtihad merupakan kewajiban bagi kaum Muslim. Namun demikian, ijtihad sebagaimana definisinya adalah aktivitas yang sangat sulit dan berat. Ijtihad juga membutuhkan syarat-syarat yang tidak mudah. Hanya orang-orang yang memiliki kelayakan dan kemampuan saja yang berhak melakukan ijtihad. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan kelayakan tentu tidak akan mampu melakukan ijtihad sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Jika ia memaksakan diri berijtihad, tentu saja hukum yang ia gali lebih banyak didasarkan pada hawa nafsunya, bukan didasarkan pada dalil-dalil syariat dan kaidah istinbâth yang benar. Padahal Allah SWT melarang kaum Muslim berhukum berdasarkan hawa nafsunya. Allah SWT. berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Artinya: Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah SWT dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS al-Maidah [5]: 49).
Usaha yang dilakukan oleh kaum muslimin untuk mendapatkan ilmu Islam dari sumber-sumber dasar hukum (Al Qur’an, Hadist/Sunnah, Ijma’ dan akal) yang kita sebut ijtihad, merupakan satu hal yang tidak dapat dihindar, karena:
  1. Tidak hadirnya Imam Maksum di antara kaum muslimin. Islam sebagai sumber hukum dan nilai absolut, hanya ada pada Allah SWT dan maksumin. Selain dari keduanya, Islam masih merupakan konsep yang harus digali. Paling tidak dengan memprediksikan bahwa konsep tadi dinyatakan benar oleh pandangan muslim.
  2. Perkembangan pola kehidupan manusia. Ketika muslim merupakan bagian komunitas alam yang saling mengikat, maka perubahan yang terjadi selalu memiliki keterikatan dengan yang lain. Baik pada komunitas muslim atau dengan yang di luar muslim. Perubahan pola hidup yang dimaksud adalah perubahan pola berfikir dan bertindak serta adanya tuntutan keperluan hidup. Sehingga hukum aktual yang ada dalam Islam merupakan suatu keharusan.

Karena fikih merupakan gambaran atau penjelas dari simbol dan amal serta kriteria Islam. Dengan kata lain, gambaran Islam dapat dilihat dari keberadaan fikih. Keislaman seseorang terlihat dengan bentuk (pengejawantahan) fiqih pada dirinya. Karena itu keberadaan ijtihad dan mujtahid memegang peranan yang sangat penting atas keberadaan Islam dalam kehidupan manusia.
Dalam surat Al-Taubah ayat 122 ditegaskan:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.
Artinya: ”Mengapa tidak pergi sebagian di antara setiap golongan kamu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya”.
Begitulah, Al Quran memerintahkan kaum muslimin untuk memperdalam pengetahuan sehingga dapat mengatasi problema kehidupan ini. Kehidupan Islam tanpa fiqih & ijtihad akan seperti manusia tanpa akal dan fikirannya.
Fikih dan ijtihad merupakan format syari’ah atas realitas, realitas individu, kelompok, negara, institusi, dan lembaga. Apa yang dihasilkan fikih da fuqaha (ahli-ahli fikih) berjalan seiring dan saling mempengaruhi terhadap realitas dari perkembangan dan kemajuan masyarakat. Fikih dan realitas bagaikan jalinan tali yang terbentuk dari dua buhul yang terus berputar dari awal hingga akhir. Jika realitas merujuk pada fikih atas segala problematika, tuntutan dan pertanyaan, maka fikih merujuk pada realitas atas segala ijtihad., fatwa dan pandangannya. Kehidupan terus berputar memberi kekuatan dan melengkapi, jika realitas menjauh dari fikih, maka fikih menjauh dari realitas, yang kemudian mengakibatkan lenyapnya jalinan tersebut dan hilang pula kekuatannya.
Mayoritas kaum muslimin (khususnya kaum elit) mereka tidak mengetahui dan meyakini bahwa realitas membutuhkan fikih Islam dlam merekrontruksi dan mempertanggung jawabkan perjalanannya. Sangat sedikit ulama termasuk fuqaha sendiri yang memahami bahwa fikih membutuhkan realitas, sebagai bentuk pengayaan dan pengembangan.
Pada dasarnya fikih timbul akibat realitas dan berkembang mengikuti perkembangan realitas, begitu pula bersifat statis mengikuti statisnya realitas. Namun jika realitas bersifat stagnan (jumud), maka tentusaja tidak membutuhkan fuqaha dan mujtahid, bahkan cukup hanya dengan beberapa buah buku, dan beberapa orang yang tidak perlu pintar menjelaskan buku tersebut.
Fikih merupakan kepastian, dan ijtihad sangat dibutuhkan dalam kehidupan yang terus berkembang, bergerak dan memperbaharui. Kehidupan yang penuh problematika dan banyak bermunculan hal-hal baru, merupakan tantangan bagi fuqaha dan mujtahid. Ketika seorang ahli fikih mengerti, memahami, dan mendalami realitas, yakni dengan merangkai salah satunya dengan yang lain, maka kehidupan akan berjalan dengan baik dan alami. Dalam kondisi ini fikih akan bergerak, berkembang, dan mencapai kemajuan.
Betul bahwa ilmu-ilmu rasional (العلوم العقلية) dan kajian-kajian teoritis dan ilmiah telah berkembang dan mencapai kejayaan dalam lingkungan yang stagnan dan statis, dan ini dimungkinkan. Akan tetapi fikih sesuai dengan tabiatnya sebagai ilmu realistis praktis, tidak akan maju dan berkembang kecuali pada realitas yang hidup dan bergerak. Ini tidak menganggap bahwa banyaknya sekolah dan karya tulis sebagai ukuran kemajuan fikih. Hal ini memang terjadi, namun tidak lebih dari sekedar pengulangan dan tidak lebih dari pengikutan (تقليد). Sungguh sulit jalan menuju kemajuan dan perbaikan, karena kejumudan telah menyebar luas pada realitas dan fikih, dan keduanya saling memperkuat. Hal ini dimaksudkan bahwa kemajuan fikih yang tercermin dalam ijtihad dan tajdid tidak akan terwujud dalam realitas yang stagnan dan statis.
Fenomena ini telah dirasakan oleh seorang faqih yang juga seorang pakar sejarah fikih Islam, Prof. Muhammad al-Hazawi al-Sa’labi ( w. 1376) dengan mengatakan:
“Jelas bagi saya bahwa sedikitnya mujtahid (pembaharu) atau kelangkaannya adalah akibat ketidak pedulian umat akan ilmu pengetahuan. Seandainya saja mereka bangun dari tidurnya dan menyingkap mimpi buruk kebodohan, dan kemudian berfikir maju dalam realitas kehidupan yang didasarkan atas ketinggian ilmu pengetahuan, maka akan bermunculan pemikir dan ilmuwan besar dalam ilmu pengetahuan umum , kemudian terjadi kompetisi dan persaingan antara ahli agama dan ilmu umum, dan di saat itu muncul para mujtahid”.
Yang perlu diperhatikan dari pernyataan diatas adalah bahwa ini berkaitan dengan tema ijtihad, dalam konteks mencari solusi atas realitas, tantangan dan perkembangannya. Hadist yang sangat dikenal dalam konteks ijtihad adalah hadist Muaz. Hadist ini ditujukan kepada ulama fikih, kemudian para hakim (qadi), dan fatwa yang berkaitan dengan realitas manusia yang hidup, bukan ulama fikih yang terpisah dari aktivitas membaca, menulis, mengkaji dan meneliti.Hal seperti ini juga kita temukan dalam Al-Quran, sebagaimana firman-Nya :
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ .
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka , tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil amri)” (QS. Al-Nisa: 83)
Atau ayat lain dalam Firman Allah :
وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ ..........
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman……” (QS. Al-Anbiya: 78).
Ijtihad yang hakiki adalah yang terjadi dalam kerangka realitas, yaitu yang berinteraksi dengan realitas, mengambil sesuatu dari realitas sekaligus memberikan sesuatu kepada realitas. Ini berarti fikih mempunyai pengaruh pengaruh dan kedudukan yang sangat signifikan atas realitas. Jika ijtihad seorang fakih tidak berpengaruh banyak dan tidak memberikan hasil yang maksimal atas realitas, secara perlahan hasil ijtihad ini akan terpinggirkan dan hilang, walaupun hasil ijtihad ini memiliki nilai dan makna.
Sadar akan problema yang kita hadapi sekarang, Dr. Ahmad Khumalisyi mengatakan: “jika dianggap penting merekonstruksi ijtihad, tajdid (pembaruan), dan metodenya, maka persoalan terpenting adalah menghilangkan hambatan yang merintangi proses aktualisasi dan penerapan ijtihad. Perdebatan teoritis seputar rekonstruksi dan tajdid tidak banyak bermanfaat jika undang-undang yang digunakan adalah tetap sistem undang-undang yang berlaku sekarang.”
Ini berarti rancangan dan rumusan undang-undang yang berlaku di mayoritas negara-negara muslim adalah sistem yang mengarah kepada penolakan fikih Islam, dan marginalisasi fikih dari realitas kehidupan. Ia jelaskan kondisi ini dalam paragraf lain dengan mengatakan: “selama masyarakat belum dapat menyampaikan aspirasi dan keinginan bersama, maka pembicaraan seputar ijtihad dan teori tajdiddalam pemikiran Islam tidak lebih sebagai latihan berpikir, dan sekedar wacana daripada mewujudkannya secara praktis.”
Dari sini kita mengetahui dengan jelas adanya ketimpangan antara apa yang disebut dengan fikih personal (فقه الحياة الشخصية) yang meliputi ibadah, adat istiadat, dan beberapa aspek mu’amalat yang berkembang pesat dan melimpah khazanah intelektualnya, dengan apa yang disebut dengan fikih sosial (فقه الحياة العامة) yang meliputi politik, sosial, budaya dan sejenisnya yang kondisinya stagnan, terbatas dan minim. Hal ini terjadi karena fikih personal sangat dibutuhkan  teraktualisasi dalam kehidupan, berinteraksi dengan realitas, saling mempengaruhi, memberi dan meminta. Sedangkan fikih sosial karena menjauhnya penguasa dari Al-Quran, diabaikan dan ditakuti. Tidak banyak orang mengkajinya dan hampir tidak ada yang mengaktualisasikannya. Akibatnya umat menjauhi realitas sosio-politik, dan realitas sosio-politik pun menjauhi umat, maka mundurlah prestasi dalam bidang ini secara kualitas dan kuantitas.

D. KESIMPULAN
  1. Dalam Islam, kedudukan Fiqih sangatlah penting. Karena tidak mungkin seorang muslim dapat beribadah dengan benar tanpa adanya pengetahuan tentang fiqih.
  2. Ijtihad di dalam Islam dibenarkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan umat masa kini dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
  3. Seluruh proses ijtihad atau pengambilan hukum tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terhadap teks-teks Al Qur’an dan As Sunnah yang keduanya menggunakan Bahasa Arab.
  4. Oleh karenanya tidak diperkenankan bagi seseorang yang tidak memahami Bahasa Arab dan tidak mengerti kaidah-kaidah di dalam ushul fiqh untuk berijtihad, karena dia tidak memiliki sarana dan alat untuk bekerja. Tidak diperkenankan juga, bagi setiap orang untuk merubah kaidah-kaidah tersebut, tanpa menyertakan alasan-alasan yang ilmiyah dan bisa dipertanggung jawabkan menurut disiplin keilmuan yang ada. 
  5. Tanpa adanya wahyu dan maksum yang berkuasa dalam kehidupan kaum muslimin, maka kaum muslimin harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yakni harus selalu berada dan berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka usaha maksimal mendapatkan hukum tersebut merupakan kewajiban kaum muslimin. Tanpa itu,proses ijtihad akan menyimpang dari jalannya yang benar, dan selanjutnya akan menunai kerusakan dan kekacauan.


DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Hukum Syariat, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, cet. Ketiga, 1995
Zakaria al-Anshari, Ghayah al-Wushul (Alharamain) tt.
Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Ciputat, Gaung Persada Press, cet IV Januari 2011, hal. 79.
Al-Gazhali, al-Mustashfa min ilmil ushul, (Musthafa Muhammad 1356), jilid II
Dr.Hamka Haq, Falsafat ushul Fiqh, (Ujung pandang, Al-Ahkam, 1998).
Yusuf Al-Qaradhawi, Ijtihad dalam syari’at Islam (beberapa pandangan analitisi tentang ijtihad kontemporer), Jakarta, Bulan Bintang, 1987.
Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas dn kemaslahatan sosial, Jakarta, Erlangga, 2002.
Wijhah al-Nazar, Dar al-Baida: Mathba’ah Al-Najah, 1998.
Al-Muwafaqot, yang dikomentari oleh syaikh Abdullah Darraz, Dar al-Ma’rifah, t.t.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar