Berikut ini adalah Makalah Quality Of Madrasah Education. Semoga makalah berikut ini dapat membantu anda dalam mengerjakan tugas mata kuliah anda.
A. Pendahuluan
Madrasah sebagai salah satu bentuk pendidikan di Indonesia telah banyak melewati berbagai tahapan kebijakan.Diantara kebijakan yang mempengaruhi posisi madrasah adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang menempatkan madrasah pada posisi sebagai sekolah umum.Maka, posisi ini menuntut adanya peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan.
Selain itu, terdapat pula PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Adapun fungsinya adalah sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.Standar Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Dengan demikian, Madrasah yang merupakan bagian dari pendidikan Nasional juga dituntut untuk mencapai standar tersebut.
Mujamil Qomar menyatakan bahwa permasalah mutu dalam dunia pendidikan Islam merupakan permasalah yang serius dan kompleks.Hal serupa juga dikatakan oleh Buna’I bahwa permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah peningkatan mutu yang tidak merata.
Clare Cua menyatakan bahwa untuk mengukur mutu pendidikan digunakan konsep mutu yang telah diapdosi dari dunia bisnis.Tiap negara memiliki konsep dan standar yang berbeda mengenai pengukuran mutu. Diantara konsep yang digunakan adalah Total Quality Management (TQM) yang memiliki prinsip utama, yaitu kepuasaan pelanggan (Customer Satisfaction).Selain itu, untuk mengukur mutu dalam dunia pendidikan, dapat juga digunakan konsep European Foundation for Quality Management (EFQM) dan juga konsep SERVQUAL. Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis dalam makalah ini akan membahas konsep mutu yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan. Khususnya konsep management mutu yang dapat digunakan untuk mengukur mutu madrasah.
B. Konsep mutu dan Standar Mutu
Edward Sallis menyatakan bahwa konsep mutu merupakan konsep yang sulit dipahami dan sulit untuk didefinisikan. Bahkan Sallis mengutip Naomi Pfeffer dan Anna Coote yang mendeskripsikan konsep mutu sebagai‘a slippery concept’ .Hal ini dikarenakan, konsep mutu dianggap sebagai konsep yang relatif.Namun demikian, terdapat suatu mutu yang pasti dan diukur dengan menggunakan suatu standar.
Mengenai definisi mutu (Quality) terdapat beberapa definisi, seperti yang disampaikan oleh Joseph Juran dan Frank Gryna. Menurut Juran dan Gryna mutu adalah kecocokan penggunaan produk "Quality is fitness for use". Selanjutnya Robert Peach dalam The ISO 9000 Handbook mendefinisikan mutu sebagai kepuasaan "...the totality of characteristics of an entity that bear on its ability to satisfy stated or implied needs". Kemudian Armand Feigenbaum menyatakan bahwa suatu mutu ditentukan oleh pelanggan "Quality is a customer determination based upon a customer's actual experience with a product or service, measured against his or her requirements -stated or unstated, conscious or merely sensed, technically operational or entirely subjective -and always representing a moving target in a competitive market". Selain itu American Society for Quality (ASQ) mendefinisikan mutu sebagai keunggulan dalam barang atau jasa dan layanan yang bagus untuk tercapainya kepuasaan pelanggan "Quality denotes an excellence in goods and services, especially to the degree they conform to requirements and satisfy customers."
Berdasarkan definisi tersebut, dapat diketahui bahwa konsep mutu terdiri dari dua aspek.Pertama, kepuasaan pelanggan.Kedua, produk yang sesuai dengan standar.Selanjutnya, Edward Sallis mengungkapkan tentang konsep mutu dalam dunia pendidikan.Sallis mengatakan bahwa mutu (quality) dalam pendidikan dapat digunakan untuk mengetahui apakah pendidikan tersebut sukses atau gagal.
Frazer, seperti yang dikutip Cecilia Tsui Chung Bing Sum,mengemukakan bahwa suatu mutu hendaknya menekankan pada 'what students have learnt - what they know, what they can do and what their attitudes are - as a result of their interactions with their teachers, departments and higher education institutions … quality must be about scholarship and learning'. Selanjutnya Farzer menambahkan bahwa mutu dalam dunia pendidikan bersifat mutidimensi yang meliputi tiga aspek, yaitu (a) tujuan, (b) proses, dan (c) pencapaian tujuan.
Selain itu, Liu mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan, yaitu: 1) Institutional quality-oriented culture. 2) Institutional strategic marketing. 3) Faculty competencies and practices. 4) Traditional academic values. 5) Contemporary ethos. 6) Students' contributions to learning. 7) Competitiveness of students. 8) Vocational orientation. 9) Learning experience. 10) Social-cultural orientation.Sedangkan Edward Sallis menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu pendidikan, yaitu: 1) outstanding teachers; 2) high moral values; 3) excellent examination results; 4) the support of parents, 5) business and the local community; 6) plentiful resources; 7) the application of the latest technology; 8) strong and purposeful leadership; 9) the care and concern for pupils and students; 10) a well-balanced and challenging curriculum.
Kemudian van Damme memberikan pernyataan bahwa konsep mutu dipengaruhi oleh perubahan sosial, seperti globalisasi. Pendapat ini diperkuat oleh Cecilia Tsui Chung Bing Sum.Bing Sum menyatakan bahwa mutu pendidikan mengalami perubahan seiring dengan perubahan waktu, tempat, konteks serta perubahan kebutuhan dan kepentingan stakeholder.
Jika di dalam dunia bisnis terdapat cara pengukuran standar mutu yang beragam dri satu negara dan negara lainnya, seperti di Inggris yang terdiri dari the Citizen’s Charter, the Business Excellence Model, serta the Investors in People standard. Sedangkan di Amerika Serikat terdapat Malcolm Baldrige Award.Jepang memiliki the Deming Prize.Kemudian di Eropa terdapat European Foundation for Quality Management yang kemudian dikembangkan menjadi European Quality Award.Kemudian secara internasional terdapat International Standard ISO9000 series.Maka, menurut Sallis, lembaga pendidikan seharusnya dapat mengembangkan standar mutu yang dapat diterapkan untuk mengukur mutu pendidikan tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, dan jika merujuk kepada konsep mutu dalam dunia bisnis yang menyatakan bahwa mutu adalah kepuasaan pelanggan, maka penggunaan kata “pelanggan” (customer) haruslah dipahami dengan benar, agar tidak menimbukan konotasi yang tidak baik. Hal ini disebabkan kata “pelanggan” terkesan bersifat komersial dan sifat komersial tersebut tidak dapat diterima di dunia pendidikan.
Sallis membagi “customers” dalam dunia pendidikan, menjadi: Pertama,primary external customers, yaitu siswa yang menerima secara langsung “jasa” dari sekolah. Kedua, secondary exteranal customers, seperti orangtua, gubernur (pemerintah), atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam pendidikan tersebut, baik dari segi pelajar atau institusinya.Ketiga, tertiary external customers, yaitu mereka yang memiliki hubungan secara tidak langsung, namun memiliki peran yang penting.Seperti para calon pegawai, pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.Keempat, internal customers, yaitu para pegawai institusi yang bersangkutan dan mereka yang memiliki pengaruh serta peran dalam kesuksesaan organisasi lembaganya.
Dengan demikian, berdasarkan program peningkatan mutu yang berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layananpendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan masing-masingpelanggan diatas.Kepuasan dan kebanggan dari mereka sebagai penerimamanfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatanmutu layanan pendidikan.
Selanjutnya mengenai mutu pendidikan madrasah yang tidak merata, Buna’I menyatakan bahwa diantara penyebabnya adalah, Pertama kebijakan pendidikan yang mengunakan pendekatan educational production function atau input-output analysis. Kelemahan pendekatan ini adalah tidak adanya perhatian terhadap suatu proses.
Konsep mutu IPO Framework ini mengadopsi konsep yang digunakan dalam suatu sistem organisasi. Yang dimaksud dengan input adalah “bahan mentah” yang kemudian menjadi output sebagai “produk” setelah melalui suatu proses yang disebut dengan “prosedur”. Maka, dalam dunia pendidikan IPO ini menjadi, sebagai berikut:
Kedua, sekolah-sekolah kehilangan kemandirian, karena penyelenggaraan pendidikan yang masih bersifat sentralistik.Ketiga, kurangnya partisipasi dari masyarakat.
Berdasarkan konsep mutu dan standar penilai mutu yang telah dipaparkan sebelumnya, maka selanjutnya akan dibahas mengenai konsep standar penilaian mutu pendidikan yang ada di Indonesia, yaitu Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan pola Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah (MPMBM).
C. Standar Nasional Pendidikan
Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.Standar Nasional Pendidikan terdiri dari :(1) Standar Kompetensi Lulusan. (2) Standar Isi. (3) Standar Proses. (4) Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan.(5) Standar Sarana dan Prasarana. (6) Standar Pengelolaan. (7) Standar Pembiayaan Pendidikan. (8) Standar Penilaian Pendidikan. Sedangkan Fungsi dan Tujuan Standar, adalah:Pertama,Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Kedua,Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.Ketiga,Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Salah satu penelitian pencapaian SNP di Provinsi Riau, sebagai berikut: Mutu Madrasah Aliyah di propinsi Riau, secara umum cukup bervariasi dan tidak jauh berbeda antara madrasah negeri maupun madrasah swasta. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas lembaga pendidikan swasta tidak jauh berbeda dengan madrasah negeri, yang notabene fasilitas dan sarana prasarananya lebih memadai.
Mutu SNP dilihat dari masing-masing aspek/standar menunjukkan perbedaan 2 (dua) kategori, yaitu B dan C, dan tidak ada satupun aspek SNP yang kategori mutunya mencapai A (Sangat Baik). Standar Isi, standar proses, standar pengelolaan dan standar penilaian kategori mutunya adalah B (Baik). Sementara standar lulusan, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana serta standar pembiayaan, kategori mutunya C (Cukup).
Korelasi antara SNP dengan Output
Bila dilihat dari masing-masing aspek SNP, terdapat 2 (dua) aspek yang mempunyai korelasi signifikan dengan output (hasil UN), yaitu standar tenaga pendidik dan kependidikan dan standar sarana prasarana. Pendidik, memang faktor utama yang sangat berperan dalam proses pembelajaran. Dengan kondisi guru yang berkualitas, akan memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar, termasuk hasil UN yang dicapai. Sarana dan prasarana juga memiliki korelasi yang signifikan dengan output. Apabila sarana prasarana ditingkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas, maka akan memberikan pengaruh yang lebih baik lagi terhadap output.
Faktor pendukung dan penghambat Pencapaian SNP
a. Faktor pendukung
Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang memadai, Sarana prasarana yang memadai, dan terbangunnya hubungan yang baik dengan stakeholder.
b. Faktor penghambat
Faktor internal : Masih ada sebagian guru yang kualitasnya belum memadai (adanya sebagian guru yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi akademik, kelebihan jumlah guru bidang studi tertentu, rendahnya minat siswa untuk memilih jurusan keagamaan, dsb.), Sarana prasarana yang kurang memadai (seperti perangkat komputer, ruang praktikum, bahan ajar, keuangan yang terbatas, dsb.)
Faktor eksternal : misalnya kurangnya bantuan dari pemerintah, baik sarana maupun lainnya (seperti : tidak adanya pelatihan bagi guru-guru terutama guru yang mengajar di madrasah swasta), rendahnya minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di madrasah, dan kurangnya sosialisasi dari pihak terkait (BAN maupun BAP) tentang pemenuhan/pencapaian SNP, serta lambannya informasi terkait dengan pencapaian SNP.
Selain itu, penelitian mengenai pemenuhan SNP pada tingkat Mts. Sebagai berikut:Penelitian dilaksanakan di enam propinsi yaitu Nangro Aceh Darussalam (NAD), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Gorontalo. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survai dengan pendekatan pendekatan kuantitatif.
Penelitian tentang Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan (Standar Proses, Isi, Penilaian dan Kompetensi Lulusan), hasilnya menunjukkan bahwa ke 4 Standar Nasional Pendidikan di MTsN masuk kategori kurang dengan rerata skor 2.9 atau 58% yang memenuhi SNP. Dari empat variable SNP (Standar Proses, Standar Isi, Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan), diperoleh rentangan skor antara 2.7 dan tertinggi 3.0.
Pada Standar Proses yang dilihat melalui empat indikator yaitu perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran, hasilnya menunjukkan bahwa madrasah belum memenuhi SNP dan masuk kategori kurang dengan skor 2.8 atau 56% memenuhi SNP. Pada komponen Standar Isi yang dilihat melalui tiga indikator yaitu kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar dan kalender akademik, hasilnya menunjukkan bahwa madrasah telah memenuhi SNP dan masuk kategori cukup dengan skor 3.0 atau 60% memenuhi SNP.
Pada komponen Standar Penilaian yang dilihat melalui tiga indikator yaitu prinsip-prinsip penilaian, teknik dan instrumen penilaian serta mekanuisme dan prosedur penilaian, hasilnya menunjukkan bahwa madrasah belum memenuhi SNP dan masuk kategori kurang dengan skor 2.7 atau 54% memenuhi SNP.
Pada komponen Standar Kompetensi lulusan yang dilihat melalui dua indikator yaitu SKL minimal kelompok mapel dan SKL minimal mapel, hasilnya menunjukkan bahwa Standar kompetensi Lulusan di MTsN masuk kategori kurang dengan rerata skor 2.7 atau 54% memenuhi SNP.
Berdasarkan pemaparan mengenai realita mutu madrasah di Indonesia berdasarkan SNP, yang diwakili oleh MA di Riau serta Mts di enam Provinsi tersebut, ditemukan bahwa mutu madrasah hanya mencapai kisaran 50% memenuhi SNP.Maka, pembahasan berikutnya adalah langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan mutu madrasah dengan menggunakan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah (MPMBM).
D. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah (MPMBM)
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah (MPMBM) merupakan istilah lain dari MPMBS (Manajemen Peningkatan MutuBerbasis Sekolah). Dengan demikian, MPMBM dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada madrasah, memberikan fleksibilitas kepada madrasah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga madrasah (guru, siswa, kepala madrasah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.)untuk meningkatkan mutu madrasah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan konsep MPMBM, sekolah memiliki kewenangan menentukan dalam berbagaikebijakan operasional pendidikan yang diyakini sesuai dengankebutuhan dan karateristik anak didik.Kewenangan tersebut mencangkup sembilan bidang, yaitu: (1)perencanaan dan evaluasi program sekolah, (2) pengelolaan kurikulum,(3) pengelolaan proses pembelajaran, (4) pengelolaan ketenagaan, (5)pengelolaan peralatan dan fasilitas, (6) pengelolaan keuangan, (7)pelayanan kesiswaan, (8) hubungan sekolah dan masyarakat, dan (9)pengelolaan iklim sekolah. Dengan arti lain, MPMBM memberikan keleluasaan kepada pihak sekolah untuk dapat melakukan yang terbaik untuk lembaga pendidikannya.
Selanjutnya, Buna’i mengemukakan faktor pendukung pelaksanaan MPMBM yang terdiri dari lima faktor, yaitu: (1) visi dan tujuan pendidikan nasional; (2) organisasi dan manajemen yang efisien; (3) kurikulum yang mengacu pada kebutuhan masyarakat lokal; (4) kemampuan guru, administrator, dan siswa; serta (5) kepedulian stakehorlders.
Buna’i juga memaparkan bahwa untuk dapat menerapkan pola MPMBM, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:Pertama, otonomi sekolah merupakan sesuatuyang esensial agar sekolah dapat membuat keputusan-keputusan secaramandiri berkenaan dengan persoalan anggaran, personel sekolah, dankurikulum. Kedua, program pengembangan staf sebagai komponen kunci yang harus ada untuk membentuk kompetensi dan keterampilan bagi staf sekolah secara sinambung.Ketiga, keterampilan kepemimpinan bagi kepala sekolah yang memungkinkan ia mampumengambil keputusan bersama (shared decision making). Keempat, peran kepala sekolah harus kuat sebagai figure pemimpin pembelajaran, pengelola masyarakat yang cerdas dan cerdik, manager pendidikan yang tegas, fasilitator yang terampil, serta sosok pemimpin yang visioner dan optimistik dalam membina lingkungan sekolah. Kelima, waktu sebagai elemen yang perlu mendapatkan perhatian untuk mengasah keterampilan dalam proses pengambilan keputusan bersama (shared) bagi kepala sekolah dan stafnya. Keenam, penghargaan perlu dirancang dan ditetapkan untuk dianugerahkan bagi personel yang menerima tanggung jawab dan wewenang tambahan. Bentuk penghargaan dapat berupa bonus maupun dukungan atas program yang diciptakan oleh staf sekolah yang terlibat penuh dalam implementasi MPMBM.
E. Penutup
Konsep mutu dalam dunia pendidikan tidak sama dengan yang ada di industri. Karena dalam dunia pendidikan yang diproses dan ditentukan hasilnya adalah peserta didik yang tidak sama dengan produk industri. Dengan demikian, diperlukan suatu konsep yang disesuaikan dengan karakteristik dunia pendidikan. Tiap-tiap negara memiliki konsep dan stardar yang berbeda dalam mengukur mutu. Indonesia memiliki Standar Nasional Pendidikan.
Menurut penulis fungsi SNP tersebut telah sesuai dengan konsep mutu yang telah disampaikan sebelumnya.Begitu pula dengan konsep MPMBM telah sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan, menurut Liu dan Edward Sallis. Seperti, 1) outstanding teachers; 2) high moral values; 3) excellent examination results; 4) the support of parents, 5) business and the local community; 6) plentiful resources; 7) the application of the latest technology; 8) strong and purposeful leadership; 9) the care and concern for pupils and students; 10) a well-balanced and challenging curriculum.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak konsep dan strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan Madrasah.Namun, yang terpenting adalah komitmen serta kemandirian para stakeholder dan kesiapan semua pihak untuk dapat memulai menerapkan budaya “bermutu”. Seperti yang dikatakan oleh Tom Peters dah Nancy Austin bahwa “Quality is about passion and pride”. Dengan demikian, perlu ditanamkan dalam pola pikir kita untuk memiliki hasrat menjadi yang bermutu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar