Makalah Antara Otoritas dan Fundamentalisme

Makalah Antara Otoritas dan Fundamentalisme. Berikut ini saya mempunyai makalah yang berjudul lengkap “Antara Otoritas dan Fundamentalisme”.

Pengantar

Keyakinan dan keingkaran merupakan dua sisi yang berseberangan. Keyakinan didasari oleh kepercayaan dan penerimaan terhadap sebuah dogma, sementara keingkaran dilandasi oleh ketidakpercayaan terhadap dogma tersebut. Sejumlah hal yang turut andil dalam membentuk keyakinan atau keingkaran tersebut masing-masing berperan menurut porsinya. Boleh jadi, keyakinan dan keingkaran tersebut dilatari oleh pengetahuan dan penghayatan terhadap sebuah dogma, boleh jadi juga diakibatkan oleh fanatisme buta terhadap doktrin keyakinan yang telah tumbuh dalam dirinya, kemungkinan juga dilatari oleh ikatan emosional terhadap sebuah komunitas yang menaunginya, dan selainnya. Tak ayal, keyakinan dan keingkaran terhadap suatu dogma menyulut sikap ekslusif dengan klaim pembenaran terhadap apa yang diyakini dan penyalahan keyakinan orang lain. Pada gilirannya, bentuk penyalahan terhadap orang lain ini bermuara pada stigmatisasi, lebih khusus lagi dengan cap ‘kufr’ atau ‘takfîr’.

Konsep kufr dan takfîr ini mendapatkan atensi serius dari kalangan pengkaji keagamaan karena melibatkan dimensi keyakinan. Paling tidak, stigma kufr ini dapat disorot pada aspek otoritas, yaitu kalim kebenaran terletak pada siapa. Pembahasan ini tentu saja bersangkut-paut dengan agenda filosofis karena terkait prinsip dasar dari keyakinan dan keberagamaan. Aspek lainnya adalah relasi antara klaim kebenaran dengan fundamentalisme, yang tak jarang, berujung pada radikalisme atas nama agama. Uraian makalah ini mencoba untuk menampilkan akar pemaknaan term kufr itu sendiri, baik dalam leksikon Arab, maupun dalam konsepsi al-Qur’an, sehingga tergambar bagaimana sebenarnya konsep kufr yang dimaksud. Uraian selanjutnya akan menjelaskan implikasi pemaknaan kufr terhadap stigma kufr yang acap kali diatributkan kepada komunitas tertentu oleh komunitas tertentu juga.

Antara Kufr dan Ima>n

Secara leksikal, term kufr seakar dengan term kafara yang berarti satara dan ghat}t}a yang biasanya diindonesiakan dengan arti menutupi. Contoh redaksinya adalah ‘kafara’ al-za>ri‘ al-badhr bi al-tura>b yang berarti petani ‘menutupi’ benih atau bibit dengan tanah. Adapun makna terminologisnya merupakan lawan kata dari kata i>ma>n.  Dalam konteks penyebutannya dalam al-Qur’an, term kufr disebutkan dengan sejumlah makna. Salah satu karya ensiklopedik yang khusus menghimpun makna kosakata al-Qur’an yaitu al-Mu‘jam al-Mufahras li Ma‘a>ni> al-Qur’a>n dengan sistematis memaparkan sejumlah makna di antaranya fuju>r, fisq, istidra>j al-ka>firi>n, dan selainnya. Dari 252 kali penyebutan term kufr dengan segala derivasinya dalam al-Qur’an, dapat dipahami bahwa maknanya tidak harus berkonotasi ketidakpercayaan atau antonim dari term i>ma>n. Bahkan, Harifuddin Cawidu mengklasifikasi sejumlah penyebutan term kufr yang tidak memiliki kaitan makna dengan lawan kata dari i>ma>n, tetapi mengandung arti leksikal atau etimologis, seperti kaffara-yukaffiru-takfi>r (menghapuskan atau menghilangkan), kaffa>rah (denda penebus dosa atau kesalahan tertentu), ka>fu>r (kelopak yang menutupi buah (QS. al-Insa>n [76]: 5), kuffa>r (bentuk plural dari ka>fir) khususnya yang tersebut dalam QS. al-H}adi>d [57]: 20 yang berarti ‘petani-petani’.

Pembahasan lebih lanjut dari term kufr ini adalah bahwa kemunculannya dalam al-Qur’an pada enam derivasi, yaitu fi‘l ma>d}i>, fi‘l mud}a>ri‘, fi‘l amr, mas}dar, ism al-fa>‘il, dan bentuk al-muballaghah. Keenam bentuk kata dari tem kufr tersebut mengandung penekanan makna yang dapat saja berbeda satu sama lain. Di samping itu, jenis-jenis kufr juga terurai secara sistematis dalam karya tersebut. Paling tidak, ada enam jenis kekafiran yaitu kufr al-inka>r, kufr al-juhu>d, kufr al-nifa>q, kufr al-shirk, kufr al-ni‘am, dan kufr al-irtida>d. Pemaknaan dan karakteristik masing-masing dari jenis kekafiran ini terbilang penting untuk dipahami untuk menghindari stigmatisasi kufr kepada kelompok tertentu. Pasalnya, dari enam jenis kufr yang tersebut dalam al-Qur’an, tidak semuanya mengandung arti permusuhan terhadap orang beriman yang harus diperangi.

Perluasan kandungan makna term kufr kepada enma jenis kekufuran tersebut mulai meluas setelah turunnya al-Qur’an. Berikut ini adalah uraian yang menjelaskan dinamika yang dilakoni oleh beberapa term bahasa Arab seiring turunnya al-Qur’an.  Penelitian Abu ‘Udah menghasilkan klasifikasi pengaruh al-Qur’an terhadap kosakata bahasa Arab ke dalam lima hal:

Pertama, tidak berubah maknanya, seperti: al-jannah, al-firdaws, al-jah}i>m, al-sa‘i>r, al-d}ari>‘, al-jinn, Alla>h, al-mala>’ikah, rabb, al-h}ajj, al-‘umrah.

Kedua, berubah maknanya, yaitu ada yang menjadi khusus seperti: al-shari>‘ah, al-rasu>l, al-nabi>, al-s}ala>h, al-s}iya>m; ada yang menjadi umum seperti: al-kufr, al-fisq, al-nifa>q; ada juga yang dari maja>z lughawi> menjadi makna baru seperti: al-tasbi>h}, al-maghfirah, al-jannah.

Ketiga, mengandung makna baru yang belum dikenal sebelumnya seperti: al-jizyah, al-h}add, al-ta‘zi>r, al-ghisli>n, ibli>s, al-wa>h}id, al-jabba>r.

Keempat, mengandung makna baru yang sebelumnya terlihat sinonim seperti: al-fala>h} dan al-fawz, al-ajr dan al-thawa>b, al-‘adha>b dan al-‘iqa>b, al-ri>h} dan al-riya>h}, al-ghayth dan al-mat}ar, al-ni‘mah danal-na‘i>m, al-anfa>l dan al-fay’.

Kelima, kata baru yang pertama kali dimunculkan al-Qur’an (al-siya>q al-qur’a>ni>) seperti: al-qur’a>n, al-su>rah, al-a>yah, al-tawakkul dan al-istikha>rah, al-tawfi>q, al-ghayth, al-mat}ar, al-h}alf dan al-qasam.

Dari klasifikasi tersebut, dipahami bahwa peran bahasa Arab terhadap dinamika bahasa Arab terbilang besar. Perannya bukan hanya dari segi perkembangan bahasa Arab kemudian, melainkan pada unsur kecil pada bahasa Arab itu sendiri yaitu kosakata turut dipengaruhi olehnya. Perkembangan bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci al-Qur’an tidaklah dapat dipisahkan dari pengaruh al-Qur’an ini, karena sejumlah perubahan yang terjadi dalam bahasa Arab merupakan pengaruh langsung dari al-Qur’an. Adapun fungsi interpretatif dari syair Arab terhadap al-Qur’an tidaklah dapat dimaknai memengaruhi al-Qur’an, karena hanya sekadar memberi penjelasan atau keterangan. Term kufr sendiri mengalami perkembangan makna khusus menjadi bernuansa umum. Term kufr ini sebelumnya hanya bermakna antonym dari kata i>ma>n, setelah al-Qur’an turun maknanya menjadi meluas, bergantung pada konteks ayat yang disebutkan oleh al-Qur’an.

Urgensi penelitian tentang wacana kufr ini memperoleh dasar argumentasinya dari tinjauan semantik. Salah satu penelitian yang masyhur di kalangan pengkaji al-Qur’an adalah penelitian Toshihiko Izutsu yang menempatkan term kufr sebagai lokus atau lingkaran yang memutar semua sifat negatif lainnya. Dengan pendekatan semantik yang digunakan, Izutsu berhasil memosisikan term kufr pada posisi yang strategis dalam seluruh sistem etika al-Qur’an. Atas dasar itu, salah satu teori yang dikemukakan oleh Izutsu adalah bahwa konsep keimanan atau kepercayaan sebagai nilai etika religius tertinggi dalam Islam seharusnya dianalisis terlebih dahulu dari sisi negatif, yaitu melalui konsep kufr.

Historisitas Wacana Takfi>r

Jika merujuk pada sejarah aliran dalam Islam, konsep takfi>r ini bukan wacana baru lagi. Perdebatan tentang kepemimpinan kekhalifahan sepeninggal Nabi Muhammad saw menjadi benih tumbuhnya kelompok-kelompok (firqah). Munculnya Khawarij, Murji’ah, dan selainnya juga sudah menyentuh ranah takfi>r satu sama lain. Pada persoalan kekhalifahan, kaum Khawarij telah memasuki persoalan kufr ini, terutama pada persoalan siapa yang disebut kafir dan keluar dari Islam dan siapa yang disebut mukmin. Sebenarnya, persoalan ini diawali oleh persoalan politik ketika menganggap Utsman ibn ‘Affan telah menyeleweng dari tahun ketujuh masa kekhalifahannya. Khalifah Ali ibn Abi Thalib juga dianggapnya menyeleweng sesudah peristiwa arbitrase (tah}ki>m). Atas dasar itu, Ali ibn Abi Thalib, Muawiyah, ‘Amr ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy‘ari dan orang-orang yang menerima arbitrase sebagai kafir, dan telah keluar dari Islam. Kalangan Khawarij ini hanya menerima secara keseluruhan pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab.

Tinjauan antropologis dapat memberi pemakluman dari sikap kalangan Khawarij ini. Klaim pengafiran dapat dilatari oleh pola pikir yang sederhana. Pasalnya, mayoritas Khawarij ini berasal dari Arab Badui yang hidup di padang pasir yang tandus, sehingga berpola pikir sederhana, berhati keras, tapi fanatic terhadap keyakinan yang dianutnya. Kebhinnekaan yang terdapat pada Arab Badui ini menyebabkan bervariannya golongan yang muncul, yang satu sama lain seringkali bertentangan. Sekte Azariqah yang lebih radikal menggunakan term mushrik sebagai ganti term ka>fir. Orang ka>fir bagi mereka adalah orang yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan, orang yang sepaham tetapi tidak mau berhijrah ke lingkungan mereka juga dipandang mushrik. Atas dasar itu, kategorisasi da>r al-Isla>m adalah wilayah yang mereka diami, sedangkan da>r al-h}arb adalah selain wilayah mereka dan wajib diperangi. Ali ibn Abi Thalib, Thalhal, Zubair ibn ‘Awwam, ‘Utsman, Aisyah, ‘Abdullah ibn ‘Abbas diklaimnya sebagai ka>fir dan kekal di neraka kelak. Lain halnya dengan kalangan Murji‘ah yang tidak menganggap ka>fir orang yang berdosa besar, karena keputusan ka>fir tidaknya seseorang adalah perkara di kemudian hari. Selanjutnya muncul Muktazilah yang menganggap orang yang berdosa besar tidak digolongkan mukmin dan tidak juga ka>fir.

Perdebatan teologis aliran keislaman yang diapaparkan di atas memberi deskripsi yang jelas bahwa konsep takfi>r berawal dari persoalan politik yang merambah ke ranah ideologis. Kaum Khawarij yang memainkan peran inisiator wacana takfi>r ini dipengaruhi oleh kultur yang mengitarinya. Mengacu pada peristiwa tah{ki>m (arbitrase) yang dipaparkan di atas, diperoleh sebuah kesan bahwa sentimen kesukuan terbilang signifikan dalam pengklaiman terhadap kebenaran. Fanatisme terhadap keyakinan ideologis yang dianutnya nyaris menutup mata dan hasratnya untuk sekadar mengakui potensi kebenaran di pihak selain komunitasnya. Hemat penulis, gambaran kalangan Khawarij ini merupakan prototipe komunitas kontemporer yang terbilang gampang mengklaim kekafiran pihak lain.         

Kendali Otoritas

Setelah mengurai pemaknaan term kufr, berikut akan diurai tentang takfi>r (pengafiran) dari dimensi pihak yang berhak mencap pihak lain sebagai ka>fir. Pengafiran dapat saja menjadi konsekuensi dari keberagamaan yang ‘tertutup’, yaitu hanya membuka diri pada referensi keberagamaan tertentu, dan menutup diri dari yang lain, terutama yang tidak sejalan dengan keyakinan dengan tidak mengindahkan dasar argumentasi logis, sosio-historis, dan religius. Asumsi demikian dapat saja dibenarkan jika kembali mengurai bahwa keberagamaan—secara definitif—adalah format pemahaman seseorang terhadap agama yang dianutnya, yang diejawantahkan ke dalam bentuk praktik berdasarkan pemahamannya itu. Dari perspektif ini, praktik keberagamaan seseorang akan bervarian antara satu dan yang lainnya sesuai cara pandang atau pemahaman keberagamaan yang digunakannya. Dalam hal ini, terdapat beberapa faktor yang dapat melahirkan perbedaan pemahaman keberagamaan, di antaranya keluarga, lingkungan, ataupun pendidikan. Kesemua faktor ini dapat saja ditelusuri satu per satu dan dikembangkan untuk memahami kontribusinya masing-masing dalam membangun karakter keberagamaan seseorang.

Pelaku takfi>r (takfi>riyu>n) memandang pemerintah di negeri-negeri kaum Muslimin berstatus pemerintah t}a>gu>t dan penguasa jahiliyah. Pemerintah tersebut dianggap telah melakukan kekafiran besar dan kesyirikan besar, seperti: menganut dan menerapkan sistem pluralisme dalam bidang ideologi (akidah), sekularisme di bidang pemerintahan, demokrasi di bidang pemerintahan, kapitalisme dan sosialisme di bidang ekonomi, liberalism di bidang ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya, sistem ‘terorisme’ (perang melawan Islam dan kaum Muslimin) di bidang militer.

Dalam wacana takfi>r ini terdapat dua pendapat yang berkembang di kalangan takfi>riyu>n.

Pertama, kelompok yang mengafirkan secara ta‘yi>n terhadap ans}a>r al-t}a>gu>t terutama polisi, tentara, dan intelijen negara. Di antara tokoh ulama yang tergolong kelompok pertama ini yaitu Abdul Qadir ibn Abdul Aziz al-Mis}ri. Tokoh ini terbilang ekstrem (ghuluw). Melalui bukunya al-Ja>mi‘ fi> T}alab al-‘Ilm al-Shari>f, ia menyatakan bahwa mengafirkan ans}a>r al-t}a>ghu>t secara ta‘yi>n adalah konsensus (ijma>‘ qat}‘i>) para generasi sahabat. Siapa saja yang tidak sepakat dengan itu divonis kafir. Senada dengannya, muridnya sang mujahid dari Mesir, Abdul Hakim Hassan dalam bukunya al-I>d}a>h} wa al-Tabyi>n fi> anna al-H}ukka>m al-T}awa>git wa Juyu>sha-hum Kuffa>r ‘ala> al-Ta‘yi>n. Ulama Indonesia yang sejalan dengan pandangan kelompok pertama ini adalah Abu Sulaiman Aman Abdurrahman dan Halawi Ma’mun. Basis argumentasi kelompok ini adalah ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits, dan ijmak ulama yang menegaskan kemurtadan Muslim yang membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum Muslimin, serta yang menegaskan bahwa siapa yang melakukan syirik akbar, maka ia adalah musyrik. Adapun mengawal dan menjaga sistem t}a>gu>t dan undang-undang positif adalah syirik akbar.

Kedua, kelompok yang mengafirkan secara umum ans}a>r t}a>gu>t sebagai kelompok riddah, tanpa memastikan kekafiran masing-masing dari individunya sebelum melalui prosesnya, yaitu proses meneliti shuru>t} takfi>r dan mawa>ni‘ takfi>r. Di antara tokoh yang tergolong kelompok kedua ini adalah Usamah bin Ladin. Melaui risalahnya yang berjudul I‘la>n al-Jiha>d ‘ala> Amri>kan al-Muhtalli>n li Bila>d al-H}aramayn: Akhrij al-Mushriki>n min Jazi>rah al’‘Arab yang dipublikasi 15 Februari 2009. Senada dengannya Aiman al-Z}awa>hiri> dalam bukunya al-Liqa>’ al-Maftu>h} dan Risa>lah Tabriah. Di Indonesia, sosok Mukhlas Ali Ghufran dan Imam Samudra adalah pengikut kelompok kedua ini. Pada dasarnya, kelompok kedua ini sejalan dengan kelompok pertama. Hanya saja, yang kelompok kedua ini tidak menggeneralisir sasaran atau objek yang dikafirkan, sehingga hanya person atau komunitas tertentu saja yang dicap kafir. Dari perselisihan di kalangan takfi>riyu>n ini diperoleh kesan bahwa konsep takfi>r merupakan suatu integratif dari doktrin keislaman yang dianutnya.

Proses pembentukan stigma dan klaim kebenaran juga merupakan konsekuensi dari proses keberagamaan ini. Peter Donovan mendeskripsikan tahapan proses pencapaian klaim kebenaran yang tanpa didahului oleh upaya investigasi lebih dahulu ke dalam beberapa tahapan, yaitu mencontoh sosok yang dipanuti atau diteladani seperti nabi, guru-pembimbing, ilmuwan, atau komuntias tertentu yang dipandang memiliki kapasitas untuk menjelaskan nilai keagamaan. Pada tahapan ini, proses pembelajaran yang efisien untuk transformasi nilai keagamaan adalah mengikuti perilaku figur yang dipercayai. Pada tahapan selanjutnya, peran ahli (trusting an expert) memainkan peran yang terbilang signifikan dalam memengaruhi keberagamaan seseorang.

Berbeda dengan Donovan, Olivier Roy menyimpulkan bahwa justru krisis otoritas dalam pemahaman keagamaan yang melakoni munculnya eksklusivitas dalam keberagamaan. Dengan mendasari argumentasinya pada ketiadaan kependetaan (rahba>niya/clergy) dalam tradisi Sunni hingga kini yang terus eksis yang dapat menengahi persoalan yang muncul. Menurutnya, sejak abad XIX M, hegemoni figur sentral keislaman dalam tradisi Sunni telah memudar. Hal ini berbeda dengan yang tradisi Syiah yang menganut kesatuan ima>mah. Sebenarnya, Ibn Taimiyah telah muncul dengan mengajukan wacana penegakan syariat Islam sebagai solusi dari krisis tersebut. Namun, sejak dihapusnya Kekhalifahan Turki Usmani oleh Majelis Agung Nasional Turki tahun 1924, proses pewacanaan ideologisasi negara Islam mengalami titik balik. Meski Kerajaan Arab Saudi menjadi contoh simbolik dari gagasan penegakan syariat Islam tersebut, namun pewacanaan dan ideologisasi negara Islam lebih berpengaruh pada pemikir Abul A’la al-Maududi dan beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin. Khusus bagi gerakan Ikhwanul Muslimin, terdapat tiga prinsip utama yang mendasari program organisasinya: a) Islam merupakan sistem yang lengkap dan menyempurnakan dirinya; b) Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadits; c) Islam dapat diterapkan untuk segala zaman dan semua tempat.

Di era kekinian, pewacanaan ideologisasi negara Islam tidak lagi terbatas pada negara Mesir dan Pakistan, tetapi juga mengalami perkembangan di sejumlah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, termasuk Indonesia. Animo ideologisasi penegakan syariat Islam tersebut disebabkan oleh tujuh faktor penting: a) justifikasi keagamaan, yaitu bahwa penegakan syariat Islam merupakan dogma keagamaan; b) reformasi tata hukum kolonial yang masih tersisa di negara bekas jajahan yang tidak memberi ruang bagi penegakan syariat Islam; c) Perang Arab-Israel yang mengasumsikan bahwa bangsa Arab mengalami kekalahan karena telah meninggalkan syariat Islam; d) globalisasi yang dianggap berdampak negatif terhadap Islam; e) krisis ekonomi yang melanda sejumlah negera Muslim, sehingga syariat Islam ditampilkan sebagai alternatif mengatasi krisis yang tengah mendera negara-negara Muslim tersebut; f) kegagalan politik negeri-negeri Muslim yang cenderung menggunakan pendekatan kekerasan dan penindasan untuk menopang kekuasaan; g) penggunaan isu penegakan syariat Islam oleh penguasa untuk memperoleh dukungan dan basis politik yang lebih luas.

Mengacu pada dua tahapan yang diuraikan Donovan sebelumnya, ia memosisikan figur panutan sebagai referensi utama dalam pembentukan klaim kebenaran keberagamaan. Figur tersebut memegang kendali otoritas keberagamaan bagi orang lain. Individu selaku pengikut atau pengagum panutan tersebut (believers) akan mengidolakan figur tersebut dan mengikuti praktik keberagamaannya. Bagi orang yang masih minim pengetahuan keagamaannya, pola keberagamaannya dapat saja mewujud dalam bentuk yang eksklusif, sehingga klaim kebenaran hanya terbatas pada keberagamaan diri dan komunitasnya. Dalam situasi kekinian pun, otoritas figur tertentu masih melakoni peran besar dalam membentuk pola tindakan seseorang. Meminjam tipologi Weber, ‘otoritas tradisional’ dan ‘otoritas karismatis’ yang terdapat pada kualitas pribadi dari individu yang memiliki keutamaan dapat menggerakkan sejumlah besar orang.

Pada perkembangan selanjutnya, pendidikan menjadi faktor yang menarik untuk diselami karena mencakup sejumlah aspek yang saling berkait satu sama lain. Salah satu aspek tersebut adalah referensi atau bahan bacaan yang dijadikan pegangan. Referensi tersebut sangat memengaruhi dan dapat membentuk pemahaman seseorang. Di sisi lain, aspek pembacaan atau subjektivitas pembaca dalam menarik pesan dan kesan dari teks yang dibacanya turut berkontribusi dalam menghasilkan pemahaman. Aspek lainnya adalah latar pengarang atau penulis referensi tersebut yang memainkan peran penting dalam menyebarkan gagasan yang diinginkannya. Di samping itu, aspek pemilihan referensi bacaan juga mengandung sejumlah persoalan yang patut dicermati agak memberi deskripsi yang jelas tentang faktor konstruksi keberagamaan seseorang. Relasi antara pengalaman religius dan perkembangan kepribadian secara psikososial juga memainkan peran penting dalam keberagamaan seseorang. James W Fowler membedakan antara faith (cara percaya) dan belief (isi kepercayaan). Faith dimaknai sebagai kualitas pribadi yang bersangkutan, bukan kualitas sistem, sedangkan belief dipahaminya sebagai merupakan isi pandangan hidup atau teologi seseorang atau kelompok. Atas dasar itu, memahami sisi materi pemahaman keagamaan dan mengaitkannya dengan sisi perkembangan psikososialnya amat penting untuk memperoleh deskripsi komprehensif sebuah objek penelitian.

Dari uraian di atas, dapat ditarik sebuah simpulan bahwa faktor figur sebagai individu yang diteladani dan faktor referensi bacaan merupakan faktor pembentuk pemahaman keagamaan seseorang dan bermuara pada tindakannya juga. Figur yang dimaksud adalah individu yang ditokohkan oleh komunitas tertentu dan memosisikannya sebagai anutan dan pengarah dalam menjalani risalah keberagamaan. Adapun referensi atau sumber bacaan juga menempati posisi yang tidak kalah pentingnya dalam mewarnai corak keberagamaan dalam masyarakat. Dengan begitu, klaim takfi>r terhadap pihak lain yang tidak sejalan dengan prinsip dasar yang dianut dapat disumberkan pada kelompok yang eksklusif seperti itu. Adapun otoritas pembenaran disandarkan kepada figur yang menjadi anutan di komunitasnya. Pada saat yang sama, referensi keagamaan yang dijadikan basis keyakinan, seperti karya tokoh tertentu menjadi acuan eksklusif.

Salafi: Antara Doktrin dan Gerakan

Secara global, term salafi diasosiasikan dengan komunitas yang melakoni proses purifikasi Islam di tengah masyarakat dan menyinergikannya dengan ajaran keislaman yang dianutnya. Konsekuensi dari gerakan purifikasi ini menimbulkan pengklaiman diri selaku komunitas yang dianugerahi prestisi tersendiri dibanding masyarakat Muslim lainnya karena keberislamannya merupakan versi Islam yang paling otentik. Salah satu hadits yang menjadi dasar eksklusivitas keberislamannya adalah khayr al-na>s qarni> thumma al-ladhi>na yalu>na-hum thumma al-ladhi>na yalu>na-hum. Kalangan salafi menganggap dirinya sebagai bagian dari maksud hadits tersebut (thumma al-ladhi>na yalu>na-hum). Dengan begitu, mereka mengklaim diri sebagai kelompok yang selamat di hari akhir kelak (al-ta>’ifah al-mans}u>rah atau al-firqah al-na>jiyah). Dalam uraiannya, Meijer menegaskan bahwa salafi merupakan representasi dari gerkaan sosial dan keagamaan yang aktivitasnya memiliki efek politik. Mereka menghindari politik formal dan bentuk organisasi kemasyarakatan lainnya semisal partai politik, asosiasi, dan semacamnya.

Secara eksplisit, kalangan salafi ini dicirikan dengan keunikan cara berpakaian, tradisi sosial dan keberagamaan, cara shalat, bahkan pada substansi dan cara berkomunikasinya. Dalam hal ini, penguasaan bahasa Arab sangat ditekankan bagi pengikutnya, karena merupakan bahasa al-Qur’an dan hadits. Data ini sekaligus menjawab persoalan tentang kuatnya akar salafisme di negara seperti Saudi Arabia, Yaman, dan selainnya. Pada sisi ini, orang Arab dan non-Arab yang fasih dan menguasai bahasa Arab akan terus mendominasi komunitas salafi ini. Adapun orang selain Arab akan terus meluangkan waktu untuk mampu menguasai bahasa Arab semampu mungkin. Secara mendetail, karakteristik salafi terlihat pada: 1) kembali kepada kepercayaan dan praktik asli dari para salaf al-s}a>lih}; 2) menekankan pada doktrin tawh}i>d yang dibaginya ke dalam tiga kategori: rubu>biyah, ulu>hiyah, dan asma>’ wa al-s}ifa>t; 3) tegas dalam menentukan sesuatu yang dianggapnya sebagai praktik shirk; 4) sumber ajaran yang utama adalah al-Qur’an, sunnah, dan praktik sahabat Nabi saw; 5) tidak toleran terhadap praktik yang dianggapnya sebagai bid‘ah; dan 6) menegaskan bahwa bentuk penafsiran para ulama terdahulu sudah memadai untuk menjadi pedoman oleh setiap generasi. Pengejawantahan enam karakteristik tersebut dalam keseharian acap kali berbenturan dengan komunitas lain yang tidak sejalan—baik salah satu maupun beberapa poin—dengan karakteristik yang disebutkan. Akibatnya, klaim kebenaran dan stigma negatif bagi yang lain juga sering kali menjadi konsekuensi dari fenomena sosial keberagamaan.

Takfi>r merupakan upaya stigmatisasi negatif terhadap seseorang atau komunitas harus mempertimbangkan jenis kekufuran yang telah diperbuat orang lain tersebut. Paling tidak, ada enam jenis kufr yang satu sama lain berbeda karakteristik. Pertama, Kufr al-Inka>r, yaitu pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, rasul-rasul-Nya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa. Dapat dikatakan, jenis kekufuran seperti ini dapat dikategorikan sebagai penganut ateisme, materialisme, dan naturalisme. Karakteristiknya adalah orientasi kehidupan mereka hanya terfokus pada dunia semata. Al-Qur’an mencontohkannya dengan QS. al-Baqarah [2]: 212. Karakteristik yang paling dominan dari mereka adalah mendustakan ayat-ayat Allah swt. Kedua, Kufr al-Juh}u>d, yaitu mengakui dalam hati ajaran-ajaran rasul, tetapi mengingkarinya dengan lidah. Contoh paling dominan untuk jenis kekufuran ini adalah Fir’aun, sebagaimana dikisahkan dalam QS. al-Naml [27]: 13-14. Timbulnya jenis kekufuran ini bukanlah karena ketidaktahuan atau ketidakpercayaan terhadap kebenaran, melainkan karena adanya faktor tertentu yang menghalangi pelakunya dalam mewujudkan kepercayaannya dalam wujud kata dan perbuatan. Berbeda dengan kufr al-inka>r, jenis kufr al-juh}u>d didasari oleh kesombongan, keangkuhan, kedengkian, dan sejenisnya.

Ketiga, Kufr al-Nifa>q, yaitu mengakui suatu kebenaran dengan lidah, tetapi mengingkari dengan hati, sebagaimana dicontohkan dalam QS. al-Ma>’idah [5]: 41. Persoalan yang acap kali timbul dalam jenis ketiga ini adalah kategorisasi nifa>q sebagai kekufuran. Dalam hal ini, Harifuddin Cawidu menegaskan bahwa perilaku nifa>q merupakan kekafiran terselubung. Orang munafiq adalah mereka yang inkar kepada Allah, rasul-Nya, dan ajaran-ajaran yang dibawa rasul, meskipun secara lahir mereka memakai baju mukmin. Keempat, Kufr al-Shirk, yaitu mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan selain diri-Nya sebagai sembahan, objek penujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan. Kategorisasi shirk sebagai jenis kekufuran disebabkan oleh pengingkaran keesaan Tuhan. Kelima, Kufr al-Ni‘mah, yaitu ketidaksyukuran terhadap nikmat Allah swt. Al-Qur’an mencontohkan jenis kufr ini salah satunya dalam QS. Yu>nus [10]: 23. Keenam, Kufr Irtida>d, yaitu kembali kepada kekafiran, dari keadaan beriman. Salah satu contohnya dijelaskan dalam QS. al-Baqarah [2]: 217. Kategorisasi kufr yang dipaparkan ini memberi gambaran jelas bahwa seseorang dikategorisasi sebagai ka>fir sulit untuk diwujudkan, mengingat luasnya cakupan makna yang dikandung oleh term kufr itu sendiri.

Takfi>r dan Fundamentalisme

Sebagaimana telah penulis uraiakan sebelumnya, takfi>r hanya dapat dimunculkan dari kalangan yang berpaham keagamaan eksklusif. Dalam hal ini, fundamentalisme menjadi riskan untuk dihinggapi takfi>r ini. Pasalnya, fenomena fundamentalisme dapat saja bermuara pada radikalisme dan terorisme. Fundamentalisme bertautan langsung dengan tindak kekerasan, bahkan mengarah kepada terorisme. Mengurai fundamentalisme dapat dilakukan dengan menyoroti sejumlah aspek yaitu kekuasaan tuhan (God’s sovereignty), barisan terdepan (the vanguard), keluarga (the family), sejarah dan silsilah kenabian (historical and prophet leneage), jihad di jalan Tuhan (jiha>d in the path of God), dan orang yang tidak dikenal (the unknown man). Dimensi takfi>r dapat muncul terutama dari aspek jiha>d, sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya.

Manifestasi politik dari kalangan fundamentalis, baik dari kalangan kelompok, gerakan, pemikir, maupun negara mendasari agendanya dengan jiha>d. Asumsi Beverley Milton-Edwards ini dapat saja mencengangkan kaum Muslim karena fundamentalisme yang dimaksudkannya adalah dalam ranah Islam. Sebenarnya, asumsi seperti ini bukanlah wacana baru di kalangan pengkaji Islam di Barat. Dengan mencontohkan aksi kekerasan fundamentalisme Muslim di India, Afganistan, Yaman, Israel, Kashmir, Pakistan, Algeria, Filipina, Bosnia, Lebanon, Mesir, Kenya, Sudan, dan Amerika. Milton-Edwards juga mencatat bahwa aksi kekerasan yang dilakoni oleh kalangan Muslim fundamentalis ini diarahkan ke kaum perempuan Muslim, polisi dan tentanra Muslim, pekerja dan wisatwan barat, institusi maupun personal warga Yahudi, maupun yang sesuatu yang dianggapnya ‘berbau barat’. Studi tentang fundamentalisme kembali semarak pasca serangan bom 11 September 2001 di Amerika. Bahwa kompetisi tak kunjung akhir antara kalangan sekuler modern dan anti modern yang menjelma pada fundamentalisme Islam semakin gencar berhadap-hadapan.

Secara leksikal, fundamentalisme berarti the strict following of the basic teaching of any religion atau the belief that everything in the Bible is true and should form the basis of religious thought or practice. Dari definisi ini, diperoleh gambaran bahwa fundamentalisme bersikap fantik terhadap tradisi lama dan meniscayakan nilai-nilai tradisi dalam kitab suci yang dianutnya menjadi dasar berpikir dan bertindak dalam keseharian. Gerakan salafi merupakan manifestasi dari fundamentalisme Islam ini yang berciri eksklusif.            Fundamentalisme dalam Islam menunjuk pada empat hal: 1) gerakan pembaharuan (tajdi>d); 2) reaksi terhadap kaum modernis; 3) reaksi terhadap westernisasi; dan 4) keyakinan terhadap Islam sebagai ideologi alternatif. Penelitian Ribut Haryono telah mengomparasi antara fundamentaslime di Islam dan Kristen menarik unsur persamaan pokok di antara keduanya: 1) ia dikaitkan dengan suatu gerakan yang bercirikan keagamaan; 2) semangat kembali kepada kemurnian agama/ajaran agama yang dianggap masih asli/otentik; 3) memahami kitab suci tanpa prosedur reinterpretasi; 4) sifat ekstrem, cenderung radikal dan eksklusif dengan menafikan segala sesuatu di luar golongan mereka. Atas dasar itu, ia menyimpulkan bahwa fundamentalisme merupakan suatu aliran yang memakai kebenaran absolut: ajaran agama sebagai justifikasi atas tindakan mereka terhadap segala sesuatu di luar mereka yang dianggap menyeleweng dari ajaran kelompok mereka, atau paling tidak dianggap telah mengancam nilai yang mereka anut.

Pada poin ekstrem dan cenderung radikal dan eksklusif dan menafikan segala sesuatu di luar golongan mereka inilah klaim kebenaran subjektif bersemi. Pihak yang berseberangan prinsip keagamaan dicapnya sebagai murtad atau ka>fir. Realitas demikian, acap kali menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Kasus konflik sosial keberagamaan antara kalangan salafi Muslim dan warga Muslim di beberapa daerah merupakan contoh nyata bahwa militansi yang muncul dari fundamentalisme bermuara pada disharmoni di tengah masyarakat. 

Implikasi Kebahasaan Takfi>r

Takfi>r yang dilakoni oleh kalangan fundamentalis tidak mendapat tempat di tengah masyarakat. Mereka yang lebih dominan menggunakan ungkapan keagamaan dalam wacananya, terhalang oleh otoritas keagamaan dalam format lain. Di samping itu, kaum fundamentalis kurang solutif dari program kerja yang diaplikasikannya. Bruce Lawrence mencatat bahwa daya tarik terbesar mereka hanya dari kalangan yang tidak puas di perkotaan dengan level pendidikan sekolah menengah. Penelitiannya di Pakistan mengantarkannya untuk berkesimpulan bahwa kekuatan mereka terletak pada daya retorisnya ketimbang prestasi praktisnya. Atas dasar itu, respons positif warga dari kalangan kelas menengah pun terbilang minim kepada mereka.

Takfi>r di kalangan masyarakat perkotaan akan lebih berbeda dengan pewacanaannya di kawasan pedesaan. Pasalnya, tingkatan pendidikan warga perkotaan masih di atas level masyarakat pedesaan. Namun, upaya pewacanaannya dengan sarana media komunikasi kekinian, memudahkan dalam penyebaran ide-ide ‘kreatif’ mereka di bidang keagamaan. Kemasan wacana takfi>r dibalut dengan konsep yang sakral semacam keselamatan dan kebahagiaan di hari kemudian menjadi ‘senjata ampuh’ dalam meraup simpatisan yang mudah menerima ide-ide fundamentalisme.

Takfi>r kepada sesama Muslim, dengan menilainya telah murtad dari Islam, merupakan perkara yang membahayakan bagi yang dituduh sendiri, dan keluarganya. Pasalnya, orang yang dicap ka>fir adalah murtad dan mendapat citra negatif dari masyarakat Muslim. Sebenarnya, ada dua vonis yang dapat diperoleh bagi orang murtad, yaitu materiil dan moral. Vonis materil dapat berupa pembunuhan, namun itu diperselisihkan oleh ulama fiqih. Yusuf Qardhawi mengmukakan bahwa kaidah bersyahadat dengan mengucapkan la> ila>ha illa> Alla>h wa Muh}ammad rasu>lulla>h akan masuk surga. Hadits yang menjadi pijakannya adalah riwayat al-Bukha>ri> dari sahabat Ibn ‘Umar, “Umirtu an uqa>til al-na>s h}atta> yashhadu< an la>ila>ha illa> Alla>h wa anna Muh}ammad rasu>lulla>h wa yuqi>mu> al-s}ala>h wa yu’tu> al-zaka>h, fa idha> fa‘alu> dha>lik ‘as}amu> minni> dima>’a-hum wa amwa>la-hum illa> bi h}aqq al-Isla>m wa h}isa>bu-hum ‘ala> Alla>h”. Syahadat inilah yang menjadi semacam penanda dalam Islam. Al-Qardhawi juga mencontohkan ketika Usamah membunuh seseorang dalam pertempuran, padahal orang itu mengucapkan la> ila>ha illa> Alla>h, Rasulullah saw menegurnya dengan keras. Usamah ditanya, “Apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan la> ila>ha illa> Alla>h?” Usamah menjawab, “Ia mengucapkannya semata-mata untuk berlindung dari tebasan pedang.” Rasulullah merespon jawaban Usamah, “Apakah kamu sudah membelah dadanya”?

Kaidah us}u>l fiqh menyebutkan bahwa al-yaqi>n la> yuza>l bi al-shakk (keyakinan tidak dihilangkan dengan keraguan). Dengan begitu, seseorang yang masuk Islam dengan keyakinan, ia hanya bisa keluar dari Islam dengan dasar keyakinan yang selevel. Adapun jika hanya dituduh kafir padahal masih bisa dimaknai tuduhan kekafiran tersebut dengan yang lain, maka pada dasarnya ia masih Islam. Di samping itu, perlu mengedepankan etika berbaik sangka kepada orang lain (h}usn z}ann), terlebih kepada sesama Muslim.

Simpulan

Wacana takfi>r berawal dari problematika politik yang beranjak ke persoalan ideologis. Hanya saja, ketika wacana takfi>r ini diwacanakan akan sulit diterima oleh kalangan masyarakat luas karena stigma negatif dari implikasi takfi>r tersebut kepada pihak yang dimaksud. Konstruk sosio-historis munculnya term takfi>r ini patut dikedepankan untuk memahami fenomena takfi>r di masa kekinian. Anatomi pemunculannya juga mirip dengan konstruknya sejak awal kemunculannya yang ditandai dengan tumbuhnya sekte-sekte keislaman teologis, seperti Khawarij, Murji’ah, Muktazilah, Sunni, Maturidiyah, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Abu ‘Udah, ‘Udah Khalil. al-Tat}awwur al-Dila>li> bayna Lughah al-Shi‘r al-Ja>hili> wa Lughah al-Qur’a>n al-Kari>m, Yordan: Maktabah al-Manar, 1985

Amal, Taufik Adnan & Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria, Jakarta: Alvabet, 2004 

Amin, Ahmad. Fajr al-Isla>m, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1969

Aziz, Abdul. Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam, Jakarta: Alvabet, 2011

Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1991

Choueiri, Youssef M. Islamic Fundamentalism 3rd Edition: The Story of Islamist Movements, New York: Continuum International Publishing Group, 2010

Donovan, Peter. Religious Language, London: Sheldon Press, 1976

Edwards, Beverley Milton. Islamic Fundamentalism Since 1945, New York: Routledge, 2005

Haryono, Ribut. Fundamentalisme dalam Kristen-Islam, Yogyakarta: Kalika, 2003

Hornby, AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, New York: Oxford University Press, 1995

Iskandar, Syahrullah. Kearaban al-Qur’an: Wacana Kosakata Serapan dalam al-Qur’an, Tesis Magister Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, 2008

Izutsu, Toshihiko. Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, Canada: McGill-Quenns’s University Press, 2002

Juneman, Psychology of Fashion, Yogyakarta: LKiS, 2010

Lawrence, Bruce. Islam Tidak Tunggal (terj. dari Shattering the Myth: Islam Beyond Violence) Jakarta: Serambi, 2004

Meijer, Roel.(ed.). Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, New York: Columbia University Press, 2009

al-Mu‘jam al-Wasi>t}, t.tp.: Maktabah al-Shuru>q al-Dawliyah, 2004

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2002

Qardhawi, Yusuf. Fiqh Jihad (terjemahan dari  Fiqh al-Jiha>d: Dira>sah Muqa>ranah li Ah}ka>mih wa Falsafatih fi> D}aw’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah) Bandung: Mizan, 2010

Roy, Olivier. Globalized Islam: The Search for a New Ummah, New York: Columbia University Press, 2004

 Sudrajat, Ajat. Tafsir Inklusif Makna Islam, Yogyakarta: AK Group Yogya, 2004

Winkler, Ingo. Contemporary Leadership Theories, Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2010

al-Zayn, Muhammad Bassam Rushdi. al-Mu‘jam al-Mufahras li Ma’a>ni> al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Beirut: Dar al-Fikr, 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar