Makalah Oksidentalisme “Sebuah Pendekatan Kajian Sastra”

Makalah Oksidentalisme (Sebuah Pendekatan Kajian Sastra). Berikut ini adalah Makalah yang berjudul lengkap Oksidentalisme (SebuahPendekatan Kajian Sastra).

Latar Belakang

Bagi kalangan konservatif, wacana kebangkitan Islam ditandai bahkan dipahami sebagai perigidan yang mengusung apologi dogmatis teks dan simbol-simbol keagamaan dalam menghadapi modernisasi. Modernisasi menjadi momok yang menakutkan sehingga upaya-upaya penolakan –segala produk kebudayaan, pemikiran, dan lain sebagainya yang berasal dari Barat- menjadi sebuah keharusan demi mempertahankan keyakinan bahwa dominasi kebudayaan Barat dan Eropa dalam balutan modernisme tidak boleh diberi ruang.

Sedangkan bagi kalangan yang terpesona dengan kemajuan-kemajuan Barat dan Eropa menganggap bahwa ketika Islam  ingin bangkit dan mencapai titik kemajuan maka Islam harus meniru apapun yang berasal dari Barat dan Eropa. Upaya tersebut ditempuh sebagai syarat diakuinya keberadaan presence Islam dalam arus modernisasi sehingga tidak terkesan kolot dan anti-modernitas.

Hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa Barat dan Eropa menjadi tolok ukur –melalui pencapaian modernisasi- kemajuan kebudayaan dan peradaban dunia, sehingga mereka yang bukan Barat dan Eropa menggiring diri untuk berada pada posisi menerima atau menolak. Pergolakan antara penerimaan dan penolakan tersebut melahirkan sikap memposisikan diri dan diposisikan yang pada ujungnya akan jatuh pada pengentalan identitas bahkan pencairan identitas.

Dalam kasus ini, presence Barat dan Eropa menjadi central dan selain Barat dan Eropa adalah pinggiran. Mitos kebudayaan Barat dan Eropa -yang mengklaim sebagai kebudayaan kosmopolit- sebagai kebudayaan yang harus diadopsi oleh seluruh bangsa di dunia -guna mencapai kemodernan- menjadikan kebudayaan selain Barat dan Eropa kehilangan kepercayaan diri, sehingga ia hanya memiliki dua pilihan melebur dalam kebudayaan Barat dan Eropa atau mengasingkan diri dari kebudayaan Barat dan Eropa dengan diterimanya berbagai konsekuensi logis dari masing-masing pilihan yang diambil tersebut.

Melalui konsep ini jelas terlihat bahwa ada pihak yang menjadi pusat dan ada pihak yang menjadi pinggiran, ada pihak penguasa dan yang dikuasai, dan lain sebagainya dalam istilah postkolonialisme dikenal dengan binary opposition. Dikotomi-dikotomi tersebut secara tidak langsung, tidak hanya menyiratkan batas-batas teritorial bahkan batas-batas yang bisa menentukan siapa kita dan mereka. Batasan-batasan dalam dikotomi tersebut bagi penulis merupakan wacana –dalam perspektif Foucault- dan identitas –dalam perspektif Hall- dari hasil rekonstruksi –istilah Said constructedness. Asumsi tersebut diyakini penulis sebagai sebuah konsep yang tidak lebih sarat muatan kepentingan interest dan kekuasaan –jika meminjam istilah Bourdieu symbolicum power.

Konsep dikotomi antara Barat dan Timur tersebut mengasumsikan bahwa adanya unsur hirarkis bahkan oposisional yang tidak adil bahkan cenderung menindas. Konsep ini tidak hanya menyiratkan  pihak yang pertama -bukan saja- lebih tinggi dan lebih berkuasa dibanding pihak kedua, melainkan juga polarisasi tersebut seolah-olah merepresentasikan dua kutub yang kontras.

Bagi Said melalui orientalism-nya, ia menyatakan bahwa berbagai pengetahuan tentang Timur diciptakan untuk memproyeksi berbagai kecenderungan yang ada di Eropa, Timur dianggap primitif dipakai sebagai cermin pengontras untuk membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban, bahkan lebih jauh lagi mitos dan stereotip tentang Timur dimanfaatkan sebagai sarana pembenaran Eropa untuk melakukan kolonisasi, menguasai, dan mengontrol keberadaan yang lain. Said menyatakan bahwa identitas budaya bukanlah merupakan kenyataan realitas yang baku  melainkan sebuah gambaran yang diciptakan oleh berbagai macam bentuk narasi, teks, disertai penguatan-penguatan yang dilakukan oleh lembaga, tradisi, dan praksis.

Bentuk reaktif dari keadaan yang tidak sebanding ini melahirkan beragam konflik, baik konflik yang bersifat fisik bahkan simbolik –pemaksaan ideologi- yang menandai lahirnya dikotomi binary opposition pihak penguasa-yang dikuasai, pusat-pinggiran, beradab-tidak beradab, rasional-irrasional bahkan jika dilanjutkan dan diperluas -sebagaimana Bacon membuat satire dengan menyatakan bahwa knowledge is power bahwa diantara ilmu pengetahuan dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan- bisa saja menjadi tuan/raja-hamba/rakyat Machiaveli-Hegel, represi id-ego Freud, species yang kuat-species lemah Darwin, bahkan borjuis-proletar Marx

Konsep-konsep tersebut setidaknya melahirkan ‘pihak lain’ the others, dimana rasionalitas –dalam hal ini Barat- adalah pusat sementara selain Barat adalah iirasional, pinggiran. Perangkat dasar ini memicu lahirnya hubungan kekuasaaan yang antagonistis, hierarkis, oposisional bahkan hal ini pula yang menjadi legitimasi kolonialisme. Kolonisasi bukanlah sesuatu yang taken for granted tetapi ia adalah hasil dari upaya yang terencana dengan mekanisme yang kompleks melibatkan berbagai bidang dalam kehidupan seperti  ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Dengan demikian berbagai teks yang dihasilkan Barat mengenai Timur tidak mungkin terlepas dari prejudice dan interest untuk menguasai Timur.

Dalam makalah ini penulis mencoba menilik kembali kelanjutan upaya yang telah dilakukan oleh Said -upaya untuk membongkar mitos dan stereotip yang dikembangkan Barat atas dunia Timur. Mitos dan  stereotip tersebut dimanfaatkan sebagai pembenaran –legitimasi- Barat dan Eropa untuk melakukan kolonisasi, menguasai, dan mengontrol keberadaaan ‘yang lain’ the others. Upaya yang dilakukan oleh Said mendapatkan respon positif dari salah satu tokoh pembaharu Mesir Hasan Hanafi melalui konsep oksidentalismenya –grand narrative Hanafi adalah revitalisasi Islam.

Oksidentalisme

Perspektif yang lahir dari dunia Timur setidaknya memberikan angin segar dari gersangnya kajian yang west-oriented. Perspektif yang lahir akhir abad 20 ini merupakan respon terhadap cengkeraman budaya Barat yang telah merasuk dan melembaga karena bagi Hanafi westernisasi secara lambat laun -secara sadar ataupun tidak- akan berubah menjadi keberpihakan terhadap Barat. Hanafi melalui konsep oksidentalismenya tidak jatuh pada apologi ideologis dan simbol-simbol keagamaan tetapi ia mencoba merevitalisasi turats dengan cara merasionalisasi khazanah klasik Islam.

Perspektif oksidentalisme ini memberi warna baru dalam menghadapi hegemoni pengetahuan, keilmuan, kebudayaan dan lain sebagainya. Paling tidak oksidentalisme berupaya untuk mengakhiri mitos Barat sebagai representasi dunia -dominasi kultural Barat. Apa yang dilakukan Hanafi setidaknya bukan isapan jempol belaka bahwa sebagian kalangan neo-revivalis lebih mengedepankan apologi ideologis dan simbol-simbol keagamaan dalam menghadapi dominasi kebudayaan, Hanafi lebih memilih jalan dengan cara menciptakan sebuah pendekatan baru yang secara akademis dapat diterima.

Dalam tulisannya, Wahid menyatakan bahwa oksidentalisme bermaksud mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, termasuk kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Dengan demikian bahwa oksidentalisme berupaya meredam mitos kebudayaan kosmopolit yang menyatukan semua bangsa Barat dan mengklaim bahwa kebudayaan tersebut adalah kebudayaannya yang harus diadopsi oleh semua bangsa di dunia. Oleh karena itu apabila ingin mencapai kemajuan dan kemoderenan, maka Timur harus mengambil segala hal dari Barat.

Menurut Hanafi, Barat mengidap kompleksitas superioritas superiority complex atau dalam terminologi Hanafi disebut murakkab al-‘uzhma, sehingga kajian orientalisme tersebut mengandung muatan ideologis. Latar belakang tumbuhnya orientalisme didorong oleh kebutuhan negara-negara Barat untuk memahami Islam dan masyarakatnya. Kebutuhan tersebut juga seiring dengan upaya penundukkan the other -negara terjajah. Karena itu, oksidentalisme dimaksudkan untuk mengembalikan Barat pada posisinya. Pendekatan oksidentalisme menjadi penting sebagai pijakan dengan melihat bagaimana sesungguhnya Timur memandang Barat.

Oksidentalisme ingin mengurai superioritas semacam itu dengan cara menjadikan peradaban Barat sebagai objek kajian -the other, karena itu oksidentalisme dimaksudkan untuk mengembalikan Barat pada posisinya. Sebagaimana diketahui bahwa peradaban Barat bukanlah peradaban tunggal, karena ia mencakup seluruh model-model eksperimentasi umat manusia dan akumulasi pengetahuan manusia mulai dari Timur sampai ke Barat.

Oksidentalisme –cara Timur memandang Barat- hadir sebagai antitesis dari orientalisme. Jika orientalisme adalah kajian tentang peradaban Islam oleh peneliti dari peradaban lain yang memiliki struktur emosi yang berbeda dengan struktur peradaban yang dikajinya, maka oksidentalisme adalah ilmu yang berseberangan bahkan bertentangan dengannya. Dalam definisinya, oksidentalisme adalah sebuah bidang kajian yang hendak menjadikan Barat sebagai objek kajian dan Timur sebagai subjek pengkajinya, yang dalam tataran akademis dimaksudkan sebagai pemikiran alternatif dalam rangka membaca Barat. Ia adalah sebuah disiplin yang berkembang sebagai respon pasca merebaknya studi orientalisme.

Dalam oksidentalismenya, Hanafi menawarkan ajakan untuk membaca Barat secara holistik dan komprehensif, tak hanya sekadar melihat Barat dalam satu dasawarsa belakangan ini. Tetapi sebuah pembacaan yang harus berangkat dari abad pertama hingga sekarang. Karena seperti halnya peradaban lain, menurutnya Barat memiliki kelebihan dan kekurangan, keistimewaan dan kelemahan, yang tak bisa dibaca dalam sikap radikalistik dan ekstrim.

Mungkin bagi kalangan antropolog Barat, oksidentalisme bukan merupakan istilah baru. Secara historis, gagasan oksidentalisme ini merupakan keharusan epistemologis yang diperhadapkan pada orientalisme. Oksidentalisme bisa menjadi sebuah pendekatan dan konsep yang berguna untuk membuka ketidakjujuran Barat dalam melihat Islam. Hidayat mengatakan bahwa tampaknya terdapat sebuah konspirasi rasial dan ideologis yang berkedok akademis untuk menempatkan masyarakat Barat lebih hebat, lebih berperadaban, dan lebih berhak memimpin dunia ketimbang bangsa Timur, khususnya orang muslim yang diidentikkan dengan bangsa Arab. Asumsi ini tidaklah berlebihan karena banyak bukti yang menunjukkan hal itu.

Oksidentalisme dan Kajian Sastra

Sastra merupakan sebuah media dan fenomena unik sekaligus organik. Didalam sebuah karya sastra mengandung makna dan fungsi yang seringkali tidak jelas –kabur, hal itu disebabkan oleh imajinasi pengarang –upaya kreativitas- yang terlibat didalamnya. Kekaburan ini justru membuat karya semakin menarik untuk didekati dan disinilah peranan pengkaji sastra dituntut untuk dapat mengurai, mengungkap, menganalisis, dan mengemukakannya dengan memperhatikan rambu-rambu estetis yang berlaku dalam dunia kesusastraan. Dengan demikian, pengenalan dan pemahaman kesusastraan menjadi syarat utama pengkaji sastra, sedangkan teori, metode, dan teknik adalah syarat kedua bagi pengkaji ketika mendekati karya sastra -disinilah letak keunikan kajian kesusastraaan.

Karya sastra –dalam hal ini genre novel- merupakan salah satu media yang menarik untuk dikaji. Daya tariknya terlihat pada potensi yang dimiliki sebuah karya yang tidak berhenti pada teks, sebuah karya yang mampu merefleksikan dan mempengaruhi cara berpikir dan cara bertindak individu-sosial, bahkan sebuah karya yang mampu menginspirasi lahirnya kesadaran dan sikap kritis. Daya tarik tersebut mampu menyegarkan jiwa-jiwa yang dahaga, mampu menghidupkan jiwa-jiwa yang mati, serta mampu menyadarkan jiwa-jiwa yang asik masyuk larut dalam ketaksadaran.

Potensi sastra tersebut berhasil direkam oleh Damono yang mengemukakan bahwa di Rusia, novel Doctor Zivago Pasternak dilarang keras untuk dibaca dan diedarkan karena dianggap memberikan satire keras terhadap pemerintah saat itu, padahal novel ini hanya berkisah mengenai revolusi Rusia yang diramu dengan kisah cinta segitiga. Selain Pasternak, Akhmatova yang dituduh menyebarluaskan puisi mistik, dekaden, dan pesimistik yang dianggap dapat merusak dan tidak memperdulikan politik pemerintah saat itu sehingga karyanya dibekukan. Bahkan Solzhenitsyn pernah diusir oleh pemerintah karena menerima hadiah nobel atas karya-karyanya yang mencerminkan sikap kritis terhadap struktur politik negerinya.

Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Rusia semata, dalam sejarah kesusastraan Arab sastrawan yang sering menjadi sorotan adalah Mahfudz yang kerap menyusupkan pandangan politiknya, tema pertentangan kemanusiaan, dan masalah kerohanian dalam wujud kiasan dan simbol dalam setiap karyanya. Salman Rusdie mengalami hal yang serupa, karyanya Ayat Syaithaniyah –Satanic Verses dikutuk oleh Khomeini karena dianggap menghina dan melecehkan agama –Islam.

Dalam sejarah kesusastraan Indonesia tercatat Pramudya Ananta Toer, Ki Pandjikusmin, WS Rendra, Linus Suryadi AG, dan Emha Ainun Nadjib yang mendapatkan tekanan dari pemerintah karena karya-karya mereka dianggap merusak mental generasi muda, menyinggung sendi-sendi kepercayaan agama, dan tentunya dianggap tidak sejalan dengan sikap dan ideologi pemerintah.

Kegeraman terhadap kehadiran karya sastra tidak berhenti sampai di situ, karya-karya pengarang perempuan yang lahir dari rahim kesusastraan seperti Ayu Utami, Djenar maesa Ayu, Fira Basuki, dan Dewi Lestari distereotipkan sebagai karya yang terlalu berani mengangkat tubuh dan seksualitas sehingga dikategorikan vulgar dan dianggap tidak sesuai dengan moralitas budaya ketimuran. Dalam kesusastraan Arab kita juga mengenal tokoh feminis sekaligus novelis seperti Nawal el Sadawi, Zainab Fawwaz, dan Fatima Mernissi yang karya-karyanya concern mengangkat masalah perempuan, diidentikan dengan perjuangan kebebasan perempuan yang mengkritisi budaya rigid patriarki di negara-negara Arab dan teks-teks agama yang bias gender.

Sastra tentulah tidak jatuh begitu saja dari langit, ia memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor yang membantu proses kelahirannya. Diantara faktor-faktor tersebut adalah tipe masyarakat tempatnya berkarya, taraf ekonomi masyarakat, kelas atau kelompok sosial yang memiliki keterkaitan langsung dengannya ataupun yang tidak langsung, sifat-sifat pembacanya, sistem sponsor, sistem pengayoman, tradisi sastra sebelumnya –sastra yang mempengaruhi karya-karyanya, bahkan keadaan kejiwaannya sendiri.

Bagi Marx sastra merupakan cermin fungsi sosial uang –sebagai simbol pengontrol dan pembentuk esensi sosial manusia, sekaligus sebagai simbol ketidakberdayaan manusia yang menghadapi dirinya dan masyarakat sedangkan Engels menanggapi pandangan sastra sebagai cermin karena baginya cermin tersebut diartikan sebagai pemantul proses sosial, dimana muatan sastra lebih kaya dan samar daripada muatan politik dan ekonomi. Lenin mengatakan bahwa sastra harus menjadi bagian kecil dalam  mekanisme sosial oleh karenanya sastra harus menjadi bagian dari perjuangan kaum proletar. Dengan demikian bahwa sastra harus menjadi alat, propaganda, dan monitor tentunya hal ini menyiratkan secara tidak langsung Lenin menyatakan dan setuju bahwa seni untuk seni harus dihancurkan. Sedangkan Lukacs mengatakan bahwa sastra terikat dengan kelas dan sebuah sastra besar canon tidak mungkin lahir di bawah dominasi borjuis.

Bagi Adereth, tidak ada satupun segi perjuangan hidup –baik yang bersifat individual maupun sosial- yang tidak berhubungan dengan politik atau minimal tidak berbau politik. Hal ini tentunya menimbulkan banyak kekisruhan dalam kajian sastra diantaranya karya sastra yang didekati dengan litterature engagee terlalu berbau politis dan sudah tidak sehat lagi. Setidaknya sastra, ideologi, dan politik memiliki keyakinan untuk tidak berkompromi, untuk tidak mengalah kepada kaum penguasa bahkan keyakinan tersebut bisa menjurus ke arah protes perseorangan –walaupun bisa dikatakan tidak efektif.

Dalam kaitannya dengan kesusastraan, paham feminisme membidik tradisi literer perempuan -praktik menulis Feminin’ l’ ecriture feminine, pengarang perempuan feminist writer, pembaca perempuan, karakteristik bahasa perempuan, sastra perempuan dan perempuan, dan lain sebagainya. Irigarai melalui konsep ‘bahasa perempuan’ menegaskan bahwa perempuan tidak lagi berbicara seperti perempuan tetapi sebaliknya bahwa perempuan harus berbicara sebagai perempuan -yang menempatkan perempuan dalam kerangka psikologis dan sosiologis. Hal ini dimaksudkan untuk membebaskan perempuan dari penjara laki-laki yaitu dengan membangun rumah bahasanya sendiri dimana perempuan dapat mengadakan perbaikan nasibnya sendiri secara total di dalam rumah bahasanya tersebut.

Terlepas dari fenomena-fenomena tersebut di atas, baik kajian terhadap sastra yang dianggap sebagai oposisi penguasa, karya sastra yang ditulis feminis, pendekatan feminisme untuk mengkaji feminist writers, kesusastraan Arab kontemporer, bahkan pendekatan posmodernisme –yang dianggap mumpuni, penulis ingin mengangkat dan menawarkan perspektif untuk mendekati karya sastra yang ditulis oleh seorang tokoh revivalis Mesir -Hasan Hanafi, dengan keluar dari mainstream tersebut diatas, tentunya dengan kacamata yang berbeda dengan penelitian-penelitian yang penulis sebutkan di atas.

Persoalan identitas merupakan persoalan pokok dalam menghadapi westernisasi. Hal ini tergantung pada kencangnya gempuran westernisasi terhadap kebudayaan yang dituju. Ketika serangan westernisasi tidak begitu kuat, maka upaya untuk mempertahankan nilai-nilai kebudayaan pun tidak sungguh-sungguh dilakukan, bahkan bisa jadi akan terbaratkan, lain halnya ketika serangan itu kuat untuk menghapus sebuah identitas, maka reaksi keras akan muncul dengan berpegang pada nilai-nilai dan kebudayaan.

Lahan luas kebudayaan menjadi agen peradaban lain, bahkan menjadi perpanjangan tangan dari aliran-aliran Barat seperti sosialisme, Marxisme, liberalisme, dan –isme lainnya. Hal ini memiliki dampak, tak seorang pun yang mampu menjadi intelektual atau ilmuan kecuali jika ketika ia berafiliasi dengan mazhab tertentu. Dalam pengertian ini, dengan atau tanpa kesadaran, kita telah memposisikan diri sebagai pihak yang berseberangan, terpecah menjadi suatu kelompok atau golongan, dan sibuk mencari orisinalitas yang lenyap. Oksidentalisme bagi Hanafi adalah alternatif untuk kaum Muslim modern dalam memandang Barat dengan perspektif baru. Baginya: jika selama ini umat Islam telah menjadi objek kajian lewat wacana orientalisme yang diciptakan Barat, sudah seharusnya kini umat Islam membangun ilmu dengan berlandaskan epistemologi baru lewat diskursus oksidentalisme.

Ketika terjadi ketidakseimbangan antar dua peradaban yang berbeda maka upaya mempertahankan identitas diri menjadi sebuah keniscayaan. Jika dicermati, perhatian intelektual-akademis Timur terhadap Barat terasa tidak seimbang apabila dibandingkan dengan perhatian intelektual Barat terhadap Timur. Selama ini kedudukan Barat sebagai pengkaji Timur telah menimbulkan stereotip-stereotip dan kompleksitas tertentu yang melahirkan sikap superioritas. Sebaliknya keberadaan Timur sebagai objek kajian Barat telah menimbulkan kompleksitas antara lain sikap inferioritas.

Polarisasi antara Utara dan Selatan, Barat dan Timur, negara maju dan berkembang, rasional dan irrasionsional, dan lainnya masih berlangsung dalam berbagai bentuk. Fenomena westernisasi yang menjadikan sejarah dan kebudayaan Barat sebagai kerangka rujukan tidak bisa dikesampingkan dalam hal ini. Westernisasi memiliki pengaruh kuat tidak hanya pada budaya dan konsepsi, lebih dari itu westernisasi dapat mengancam kemerdekaan suatu peradaban, bahkan merambah pada gaya hidup.

Shimogaki menyebutkan bahwa imperialisme kebudayaan dilakukan dengan cara menyerang kebudayaan dari dalam untuk kemudian melepas afiliasi umat atas kebudayaannya sendiri sehingga umat tercerabut dari akarnya. Keterbukaan ekonomi memaksa untuk membuka diri terhadap kapitalisme internasional, komunikasi antar negara (wilayah) membuka hadirnya hubungan baik bahkan ketegangan, serta persinggungan kebudayaan yang berbeda yang memicu lahirnya oposisi biner.

Hal ini pun akan terjadi ketika westernisasi kebudayaan berubah wujud menjadi keberpihakan terhadap Barat, pada gilirannya kondisi tersebut akan melahirkan sebuah revolusi untuk menegaskan identitas. Menurut Hanafi, sikap yang diperlukan dalam menghadapi persoalan ini adalah bagaimana mempertahankan identitas tanpa harus terperosok ke dalam bahaya isolasi diri dengan menafikan dan menolak andil orang lain, serta bagaimana menghadapi kebudayaan masa kini (modernisme) tanpa harus terjatuh pada taqlid buta.

Ideologi akan membentuk personalitas ummat, artinya ia juga akan membentuk kehidupannya dengan cara yang khas. Hanafi telah meletakkan konsep dasar pemikiran oksidentalisme dengan melakukan pembebasan diri dari pengaruh pihak lain agar terdapat kesetaraan antara al-ana yakni dunia Islam dan Timur pada umumnya, dan al-akhar yakni dunia Barat dan Eropa. Oksidentalisme hadir sebagai sebuah dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu terhadap yang lain, sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas dunia Timur.

Penawaran pemikiran yang diajukan oleh Hanafi melalui konsep oksidentalismenya, dapat menjadi sebuah pendekatan yang berguna untuk membuka selubung ketidakjujuran Barat dalam melihat Timur, khususnya orang Muslim yang diidentikan dengan bangsa Arab. Istilah, spirit, dan pemikiran oksidentalisme memiliki akar sejarah yang dapat dilacak, tetapi Hanafi merupakan salah satu dari sekian intelektual Muslim yang secara serius memperkenalkan istilah ini ke dalam dunia Islam dalam bukunya ‘Muqaddimah fi‘Ilm al-Istighrab’.

Menurut Hanafi penegasan identitas memiliki makna sebagai penegasan orisinalitas dalam menghadapi dominasi kebudayaan Barat. Adalah suatu kenaifan  jika terjatuh dalam dualisme kebudayaan yang saling berseteru karena hanya akan  menciptakan sikap saling menyalahkan  pihak lain dan menjadikan keabadian dan kehidupannya terletak pada kebinasaan dan kematian pihak yang lain. Fenomena inilah yang menjadi perhatian besar Hanafi, sebagai upaya untuk mencegah hal itu adalah dengan melahirkan konsep oksidentalisme.

Wahid yang menyatakan bahwa oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan umat Muslim dalam ukuran jangka panjang. Melalui pandangan ini, Hanafi memberikan harapan dunia Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban lain. Hal ini diperkuat oleh Hidayat  yang menyatakan oksidentalisme dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menciptakan keseimbangan kepada tujuan-tujuan eksploitatif dan manipulatif terhadap Barat.

Menurut Hanafi bahaya yang ditimbulkan dari asumsi bahwa peradaban Barat merupakan sumber segala ilmu pengetahuan, menjadi tempat bergantung peradaban lain, menjadi tempat bersandar bagi eksistensi madzhab dan teori, dapat diseimbangkan. Sikap semacam ini telah mengakibatkan penyelewengan peradaban-peradaban Timur, kebergeseran dari posisi realistisnya, ketercerabutan dari akarnya, keterikatan dengan peradaban Barat, dan masuk ke dalam atmosfirnya dengan anggapan bahwa peradaban Barat adalah produk terakhir dari eksperimentasi manusia.

Hal inilah yang menjadi tugas oksidentalisme yaitu dengan mengembalikan Timur pada tempat asalnya, menghilangkan keterasingannya, mengaitkan kembali dengan akar lamanya, menempatkannya pada posisi realistisnya untuk kemudian menganalisanya secara langsung dan mengambil satu sikap terhadap peradaban Barat dan Eropa yang dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Oksidentalisme berupaya mematahkan mitos kebudayaan kosmopolit yang menyatukan seluruh bangsa Barat dan diklaim sebagai kebudayaannya dan harus diadopsi seluruh bangsa di dunia jika ingin meninggalkan fase imitasi dan mencapai kemodernan. Sesungguhnya kebudayaan bermacam-macam, bahwa kebudayaan Barat bukan tradisi universal yang mencakup seluruh model-model eksperimentasi manusia dan bukan pula warisan pengalaman panjang eksperimentasi manusia yang berhasil mengakumulasi pengetahuan mulai dari Timur sampai ke Barat, melainkan sebuah pemikiran yang lahir dari lingkungan dan situasi tertentu. Dengan kata lain, tradisi Barat adalah pemikiran yang merefleksikan lingkungan partikular peradabannya.

Tugas lain oksidentalisme adalah menghapus dikotomi sentrisme dan ekstremisme pada tingkat kebudayaan dan peradaban,  karena selama kebudayaan Barat menjadi sentris dan kebudayaan non-Barat menjadi ekstremis maka hubungan keduanya akan tetap merupakan hubungan monolitik. Hal ini megakibatkan terabaikannya karakteristik bangsa lain dan eksperimentasi independennya, serta bermuara pada monopoli Barat atas hak inovasi eksperimentasi baru dan hak sebagai contoh kemajuan. Akulturasi dianggap Barat sebagai dialog dan pertukaran kebudayaan atau pencerahan, padahal sebenarnyaakulturasi dimaksudkan untuk membunuh peradaban lokal, menyebarkan kebudayaan Barat ke batas alaminya, mengontrol kebudayaan lain, serta membangun citra bahwa Barat satu-satunya contoh kemajuan peradaban.

Hanafi dalam bukunya Muqaddimah Fi ‘Ilm al-Istigrab menyatakan bahwa kesadaran peradaban dan kebudayaan personal terkadang mempunyai posisi yang menafikan tradisi lama, sehingga memaksa seseorang berpaling kepada tradisi Barat dan menemukan dirinya di dalam tradisi tersebut. Setiap kali keterputusasaan pada tradisi lama meningkat, maka akan semakin kuat seseorang “terbaratkan”. Kondisi semacam ini akan melahirkan keterikatan terhadap kebudayaan Barat dan terasing dengan kebudayaannya sendiri.

Kemudian akan timbul kesadaran berbalik dengan sikap diatas, sebagai reaksi atas kesadaran peradaban yang berpegang pada tradisi lama seluruhnya dan menolak tradisi kontemporer. Hal ini akan menciptakan keterasingan diri dari kebudayaan lain. Dalam pengertian tersebut, kesadaran peradaban personal dapat dikatakan memiliki sikap positif terhadap tradisi lama, tetapi akan menimbulkan sikap negatif terhadap tradisi Barat atau sebaliknya memiliki sikap positif terhadap tradisi Barat dan menimbulkan sikap negatif terhadap tradisi lama.

Dengan proyek oksidentalisme, Hanafi berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi -kekuatan dunia, di mana selama ini telah menghipnotis Timur -Islam dengan pemahaman semu bahwa Barat adalah pusat kekuatan dunia, pusat ilmu pengetahuan, pusat gaya hidup, pusat ekonomi, pusat peradaban, dan karenanya menjadi sandaran peradaban lain.

Sikap masyarakat dunia ketiga terhadap Barat sebenarnya beragam. Ada yang menghadapi Barat dengan penolakan dan keterputusan -diskontinuitas. Gerakan Islam kontemporer berada di garda depan dalam sikap semacam ini. Mereka memutuskan hubungan dengan tradisi Barat dan mengaitkan hubungan dengan tradisi Arab-Islam. Identitas memang berhasil mereka selamatkan dari westernisasi, namun ketertutupan terhadap the other menjadi ongkos penolakan mereka dan yang tersisa pada mereka hanya solipsisme  yang tidak teruji dan ekslusivisme.

Sebaliknya ada pula yang menyikapi Barat dengan penerimaan mutlak dan keterkaitan -kontinuitas. Pihak-pihak yang menganut paham sekulerisme ilmiah memilih sikap ini. Bagi mereka, Barat adalah prototype pembaharu dan sumber pengetahuan. Semua yang berasal dari Barat diterima, sementara produk-produk tradisi cenderung ditinggalkan. Di satu sisi mereka unggul dalam keterbukaan pada al akhar–the other- namun di sisi lain mereka cenderung mengorbankan identitas dan tergerus dalam westernisasi serta eropasentrisme.

Karya sastra adalah cermin kehidupan sosial. Hal ini perlu disadari bahwa sastra tidak terlepas dari kondisi sosial dan politik dimana ia lahir, bahkan sastra juga sebagai arena untuk merefleksikan keadaan sosial politiknya. Membaca sastra dalam konteks seperti ini, berarti mensituasikan karya sastra tersebut dalam relasi-relasi sosial-ekonomi-politik pada zamannya. Dengan menempatkan sastra pada posisi seperti ini, penganalisaan tentang kuasa yang ada dibalik sastra akan terungkap, karena sastra selalu mengajak untuk mempertanyakan segala ketetapan, norma-norma yang baku, dan tatanan kekuasaan.

Terlepas dari itu, bahwa karya sastra adalah kenyataan artistik yang diciptakan melalui proses kreatif, karena karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya yang melingkupinya. Kenyataan dalam karya sastra bersumber dari kenyataan dalam dunia sesungguhnya, tetapi kenyataan dalam karya sastra telah menampilkan dan menciptakan kenyataan baru berdasarkan kemampuan pengarang dalam mengolah dan memadukan imajinasi-kenyataan.

Sebuah karya dapat menyampaikan ideologinya dengan cara yang khas secara implisit dan imajinatif, bahkan sebuah karya dapat dikatakan sebagai refleksi budaya dan representasi ideologi pengarang. Setiap pengarang memiliki pretensi bahkan harapan atas sesuatu yang terkandung di dalam karyanya. Pretensi tersebut tergantung pada latar belakang budaya, keadaan sosial-politik, dan ideologi yang dianutnya. Karya sastra mengurai hubungan-hubungan yang rumit antara ideologi dan cara reproduksi dimana sastra pada masa tertentu tidak bisa dipisahkan dari cara hidup yang berlangsung dan menandai adanya kaitan-kaitan yang terjalin antara penilaian estetis, moral, maupun sosial yang mencerminkan posisi tertentu.

Keterkaitan antara sastra, politik, dan ideologi bukan hal yang sederhana, karena medan sastra selalu menarik bahkan meriah jika dikaitkan dengan politik dan ideologi. Kejadian politik akan meninggalkan kesan bagi para pelakunya, karena hakikat berpolitik adalah bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan. Politik diartikan sebagai tindakan atau kegiatan yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dalam  negara, masyarakat, atau lembaga bahkan juga berarti tindakan yang dianggap dapat menjamin kekuasaan dilaksanakan dengan cara tertentu. Sedangkan ideologi diartikan sebagai seperangkat keyakinan yang menjadi landasan bagi orang, masyarakat, atau negara dalam bertindak. Dengan demikian, pandangan ini juga menyatakan bahwa sastra tidak dapat dipisahkan dari sikap politik dan ideologi pencipta, penerbit, dan pembacanya.

Sesungguhnya ruang sastra bukanlah alat, tetapi akan berubah menjadi alat ketika sastra dipahami sebagai praksis politik. Dalam pengertian ini, sastra digunakan untuk mendapatkan, bahkan mempertahankan kekuasaan yang mencerminkan sikap politik pengarangnya. Yang menarik dan kemudian menjadi penting adalah bagaimana jika seorang pengarang adalah ia yang berkuasa, dimana ia  menggunakan ruang sastra sebagai alat ekspresinya.

Hal ini pula yang terlihat dalam salah satu novel Arab yang berjudul Ukhruj Minha Ya Mal’un karya seorang mantan presiden Irak, Saddam Hussein. Ukhruj Minha Ya Mal’un dalam bahasa Indonesia memiliki makna “Enyahlah kalian yang terkutuk atau Enyahlah wahai yang dilaknat”. Melalui karyanya, Hussein tampil lebih sebagai sosok pahlawan politik –penguasa- sehingga tersirat bahwa sesungguhnya Hussein menganggap sastra hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dia ingin pesannya cepat diterima dan bisa berpengaruh menuju perubahan yang diharapkannya. Cita-cita Hussein melalui novel-novelnya adalah perubahan bagi negerinya, ia mengisahkan bentuk perlawanan dengan meniupkan ruh keagamaan dan nasionalisme sebagai lokomotif pencapaian tujuan. Semangat keagamaan dan nasionalisme mengindikasikan adanya harapan untuk menumbuhkan, bahkan memperkuat identitas ketimur-tengahan sebagai bentuk perlawanan terhadap musuh yang menggerogoti kekuasaannya –Amerika.

Dalam konteks tersebut, Hussein menggunakan pendekatan keagamaan dan nasionalisme yang merupakan isu sensitif untuk membangkitkan semangat kebersamaan -persatuan. Di dalamnya terdapat sebuah solidaritas kuat dari susunan solidaritas suku bangsa –ethnic, keagamaan, dan nilai-nilai sosial. Ikatan tersebut menjadi penting, karena rasa kebanggaan yang berlandas pada semangat kebersamaan berhasil disatukan. Komitmen dan keinginan untuk mengikatkan diri dalam isu sensitif ini dapat melahirkan kesetiaan yang tinggi, bahkan kerelaan mengorbankan jiwa raga untuk membela bangsa, negara, dan agama.

Nasionalisme dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang mencakup komitmen, kesetiaan, emosi, perasaan, dan rasa memiliki terhadap bangsa dan negara, bahkan nasionalisme seringkali dijadikan strategi sosial-politik-budaya yang digunakan sebagai kendaraan untuk berbagai kepentingan. Dalam hal ini, Anderson mengatakan bahwa bangsa (nation) adalah suatu komunitas politik yang dibayangkan (imagined communities). Komunitas politik itu dikatakan sebagai imagined communities, karena suatu komunitas tidak mungkin mengenal seluruh warganya, tidak mungkin saling bertemu, atau saling mendengar. Akan tetapi, mereka memiliki gambaran atau bayangan yang sama tentang komunitas mereka. Suatu bangsa dapat terbentuk, jika sejumlah warga dalam suatu komunitas mau menetapkan diri sebagai suatu bangsa yang mereka angankan atau bayangkan.

Sebuah bangsa merupakan sebuah komunitas individu yang mempersatukan diri dalam angan dan citraan. Berangkat dari gagasan ini, Hussein menggunakan bahasa tentang nasionalisme dan keagamaan dengan dengan kata-kata ‘Hidup Bangsa Arab! Allahu Akbar!’  (عاش العرب...    الله اكبر...). Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un, Hussein bertutur tentang perjuangan melawan dominasi kultural, dimana terjadi persinggungan antar kebudayaan yang berbeda. Cerita dengan latar dunia Arab ini merupakan sebuah metafora perlawanan terhadap Barat –khususnya Amerika. Hussein melukiskan sebuah suku yang berada di bawah pengaruh dan kekuatan asing. Berdasarkan hal itu dan dengan mempertimbangkan bahwa novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini dapat dilihat dari kacamata oksidentalisme.

Dalam perspektif ini, Ukhruj Minha Ya Mal’un dapat dilihat sebagai karya yang mencoba mengingatkan dan membangun identitas kolektif Timur Tengah dalam hal sebagai upaya untuk memerdekakan diri dari segala bentuk kolonialisme baik secara fisik maupun mental-intelektual-moral. Identitas kolektif yang dimaksud adalah menciptakan rasa ke-kita-an berdasarkan kemiripan ciri dan atribut tertentu yang dimiliki oleh masyarakat Timur Tengah.

Berdasarkan hal tersebut, novel ini mencoba menghadirkan Timur Tengah dengan ciri dan identitas budayanya yang berbeda dengan budaya lain (Barat), membangkitkan ingatan kolektif bahwa Timur Tengah tetaplah Timur Tengah, serta menekankan adanya persatuan dalam diri seorang Timur Tengah yang menjadikan Islam sebagai ideologi dan pandangan hidup yang tercermin dalam cara berfikir, sikap, dan tindakan.

Selain itu, novel Ukhruj Minha Ya Mal’un menyiratkan adanya konflik kepentingan, keteguhan dalam menjaga identitas, perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, dan berbagai bentuk perlawanan dalam upaya membebaskan diri dari cengkeraman budaya dominan. Budaya dominan merujuk pada keunggulan superiority. Barat sebagai ikon negara penjajah - kolonial, sedangkan Timur sebagai negara yang dijajah -dikolonisasi. Kecenderungan tersebut diperkuat oleh pendapat Hanafi (Shimogaki, 1993: 35) yang mengatakan bahwa kolonialisme merupakan kejahatan terbesar dalam sejarah kemanusiaan yang dilakukan Barat atas bangsa-bangsa non-Barat.

Berdasarkan hal itu, kesadaran akan  identitas diri memicu lahirnya kesadaran untuk tidak dijajah, maka munculah kesadaran lanjutan seperti konflik sebenarnya adalah siasat penjajah dalam upaya memicu lahirnya penjajahan, penjajahan ekonomi dengan cara memonopoli dan memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman yang akhirnya hanya akan membuat semakin lemah, serta keterbukaan terhadap intervensi asing melahirkan kehancuran bagi yang diintervensi. Kesadaran-kesadaran itu timbul karena adanya upaya untuk melihat kembali identitas budayanya dan kemudian disikapi dengan menjalankan dan menjaga nilai-nilai yang ada didalamnya.

Konsep kebudayaan lahir dari proses penciptaan karena makna yang terbentuk sangat tergantung dari cara merepresentasikannya. Kebudayaan tidak bersifat statis artinya kebudayaan selalu berproses, tradisi lama dalam suatu kebudayaan akan memicu lahirnya reaksi yang berbeda, salah satunya adalah memicu lahirnya tradisi baru. Dalam praktiknya, reaksi terhadap kebudayaan yang terwujud dalam bentuk representasi tidak dengan serta merta berjalan tanpa hambatan, ini dapat diartikan bahwa selalu ada perbedaan dalam menyikapi sebuah kebudayaan.

Kesimpulan

Bagaimanapun selayaknya kita memberikan apresiasi terhadap kehadiran presence para pengkaji Timur, karena atas dasar upayanyalah tidak sedikit orang-orang non-Timur yang memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap kajian ketimuran dibanding orang Timur sendiri. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Hanafi adalah upaya yang patut diacungi jempol –walaupun hadirnya oksidentalisme lebih kepada antitesa dari orientalisme- setidaknya ada upaya konkret dengan dasar axiologis yang tidak bisa dipandang remeh.

Pendalaman pemahaman dalam mengkaji kebudayaan –termasuk didalamnya karya sastra- menjadi hal penting dalam menampilkan unsur-unsur keindahannya karena bagi seorang aesthete, ia akan menampakkan wajahnya pada setiap orang dalam bentuk yang berbeda. Tolak ukur kecantikan sastra tentu akan berbeda bagi seorang aesthete karena latar kulturalnya, terlepas dari itu sastra akan tetap dan selalu menampilkan keindahannya. Hal ini terjadi karena semakin tersembunyi pandangan pengarang dalam karyanya maka semakin bermutulah karya sastra yang ditulis. Sastra pada dasarnya mengungkapkan kejadian akan tetapi kejadian tersebut bukanlah fakta sesungguhnya, merupakan sebuah fakta mental pengarang. Pengarang telah mengolah halus fakta objektif dengan menggunanakan daya imajinasi sehingga tercipta fakta mental imajinatf dan disinilah kejelian pengkaji sastra dituntut selain itu pengkaji sastra harus tepat dalam menarpkan metode –yang dimiliki masing-masing pendekatan-, yang digunakan dalam mendekati karya.

Munculnya berbagai pendekatan dalam kajian sastra yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh kesusastraaan ataupun tokoh-tokoh dalam bidang lain, meramaikan bahkan memberi kontribusi bagi dunia kesusastraan. Berbagai pendekatan yang mereka tawarkan, tentunya memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, tetapi disinilah yang menarik bahwa metode penelitian dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut tentu akan mempertimbangan bentuk, isi, dan sifat karya sebagai subjek yang akan dikaji. Hal ini tentunya tidak menjadikan sastra sebagai objek yang harus dibredel untuk mengeluarkan isinya dan tentu saja tidak memperkosa hakikat karya sastra itu sendiri –dengan tidak  membiarkannya telanjang dalam kerumunan setelah puas merenggut mahkota yang terdapat dalam sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict. (2008).  Imagined Communities; Komunitas-komunitas Terbayang Jogjakarta: INSIST

Arivia, Gadis. (2006). Feminisme: Sebuah Kata Hati, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Bhasin, Kamla dan Nighat Said Khan. (1994). Persoalan-persoalan Pokok mengenai Feminisme dan Relevansinya. Jakarta: Gramedia dan Yayasan Kalyanawiyata

Brook, Ann. (1997). Posfeminisme dan Cultural Studies sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Damono, Sapardi Djoko. (1978). Sosiologi Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

(1994). Sastra, Politik, dan Ideologi, Pidato disampaikan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia Depok.

Eagleton, Terry. (2006). Teori Sastra; Sebuah Pengantar Komprehensif, terjemahan dari judul Literary Theory: An Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini, Jogjakarta: Jalasutra.

Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, Jogjakarta: FBS Universitas Negeri Jogjakarta.

Hargitai, Peter. (1997). Lukács And Limbo: The Legacy Of Marxist Literary Criticism. Florida: Florida International University

Hall. Stuart. (1990). Cultural Identity and Diaspora dalam J. Rutherford (ed.), Identity, Community,Culture, Difference. London: Lawrence and Wishart.

(1997). Representation; Cultural Representation and Signifying Practices, New Delhi; Sage Publication.

Hanafi, Hasan. (1991). Muqaddimah Fi Ilm al Istigrab, Mesir: Dar al Faniyah

(2000). Oksidentalisme; Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Paramadina.

(1998). Humum al Fikr wa al Wathan, vol. II, Kairo: Dar Kebaa Bookshop

Luxemburg, Jan Van, (1992). Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mohamad, Gunawan. (1993). Kesusastraan dan Kekuasaaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ratna, Nyoman Kutha. (2007). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(2007). Estetika Sastra dan Budaya, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Rutherford, Jonathan. (1990). Identity; Community, Culture, Difference, London: Lawrence and Wishart.

Said, Edward W. (1995). Kebudayaan dan Kekuasaan; Membongkar Mitos Hegemoni Barat, terjemahan dari judul Culture and Imperialism oleh Rahmani Astuti, Bandung: Mizan.

(1991). Orientalism, England: Penguin Books.

(1986). Penjungkirbalikan Dunia Islam, terjemahan dari judul Covering Islam oleh Asep Hikmat, Bandung: Pustaka.

Shimogaki, Kazuo. (1993). Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, Yogyakarta: LKis.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. (2004). Hermeneutika Pascakolonial; Soal Identitas, Jakarta: Kanisius.

Sen, Amartya. (2006). Kekerasan dan Ilusi tentang Kekerasan, terjemahan dari Identity and Violence; The Illusion of Destiny oleh Arif Susanto, Jakarta: Margin Kiri.

Turner, Bryan S. (2008). Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat; Bongkar Wacana atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Posmodernisme, dan Globalisme (Sirojuddin Arief, M. Syukri, dan Inyiak Ridwan Muzir, penerjemah), Jogjakarta: Ar Ruzz.

REFERENSI LAIN:

Adji, Muhamad.  (2009). Perempuan dalam Kuasa Patriarki, Bandung: Fakultas Sastra Univeritas Padjajaran.

Awuy, Tommy F. (2002). Feminisme; Di Persimpangan jalan?. PPKB-LPUI Disampaikan pada Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Universitas Indonesia Depok.

Budianta, Melani. (2002). Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial. PPKB-LPUI Disampaikan pada Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Universitas Indonesia Depok.

Damono, Sapardi Djoko. “Beberapa Catatan tentang New Criticsm” PPKB-LPUI Disampaikan pada Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Universitas Indonesia Depok

Kamil, Sukron. “Sastra, Islam, dan Politik: Studi Semiotik terhadap Novel Aulad Haratina Najib Mahfuz”

Lune, Eugene. “Marxism and Art In The Era Stalin and Hitler: A Comparison of Brecht and Lukacs” JSTOR New German Critique, No 3 (Autumn, 1974), 12-44

Milligan, Martin. “Economic & Philosophic Manuscripts of 1844”. dalam  Umrisse zu einer Kritik der Nationalökonomie. Progress Publishers, Moscow 1959

Reuten, Geert. “Karl Marx: His Work and The Major Changes In Its Interpretation”. dalam Warren Samuels, Jeff Biddle & John Davis (eds), The Blackwell Companion to the History of Economic Thought, Oxford etc: Blackwell, 2003, pp 148-166

Simon Clarke. “Was Lenin a Marxist? The Populist Roots of Marxism-Leninism”

Upward, Edward. “Sketch For A Marxist Intreprettation of Literature”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar