Makalah Penjatuhan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Makalah Penjatuhan Pidana Mati  Bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika. Semoga makalah berikut ini dapat bermanfaat untuk anda semua.

A.   Tujuan Penjatuhan Pidana

Dalam penjatuhan pidana, yang selalu menjadi pertanyaan adalah apakah sebenarnya tujuan penjatuhan pidana itu. Dari sekian banyak jawaban, belum begitu memuaskan semua pihak. Ada yang memberikan jawaban "untuk memperbaiki penjahat/pelaku pidana". Kalau itu hanya memang untuk memperbaiki penjahat, tentulah tidak ada lagi bagi pidana mati dan pidana seumur hidup.

Dalam rancangan KUHP Baru disebutkan dalam Pasal 50 bahwa pemidanaan bertujuan :

1.      Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

2.      Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

3.      Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keeimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

4.      Membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan

5.      Memaafkan terpidana[1].

Dalam  penjelasan  Pasal  50  Rancangan KUHP disebutkan bahwa pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan dari pemidanaan, yaitu sebagai sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana pada dasarnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia[2].

Tujuan pidana yang berkembang dari dahulu sampai kini telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Yang paling tua ialah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini, seperti akan disebutkan di belakang, unsur-unsur primitif dari hukum pidana paling sukar dihilangkan, berbeda dengan cabang hukum yang lain. Tujuan yang juga dipandang kuno ialah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan balas antara yang hak dan batil[3].

Menurut pendapat penulis, tujuan untuk memperbaiki penjahat sehingga menjadi warga negara yang baik, sesuai jika terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama bagi delik-delik tanpa korban (victimless crime) seperti homoseks, mucikari dan sejenisnya.

Tujuan pemidanaan yang berlaku sekarang ialah variasi dari bentuk-bentuk : penjeraan (deterrent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat: perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat. Yang tersebut terakhir yang paling modern dan popular dewasa ini. Bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum[4].

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan ini Romli Atmasasmita berpendapat :

Masalah tujuan pemidanaan merupakan bagian yang sangat mendasar dan penting dalam kehidupan hukum pidana di Indonesia bahkan di seluruh negara. Hal ini disebabkan karena perkembangan peradaban suatu bangsa antara lain juga ditentukan oleh sejauh manakah perlakuan bangsa yang bersangkutan terhadap terpidananya. Tujuan pemidanaan merupakan pencerminan dari falsafah suatu bangsa, dan tuua pemidaan akan menjiwai para pelaksana aparat penegak hukum terutama hakim, jaksa dan petugas Lembaga Pemasyarakatan.[5]

B.   Teori-Teori Pemidanaan

Teori-teori pemidanaan yang dikemukakan oleh para sarjana, mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam pengaturan pidana, dengan tidak terlepas dari nilai-nilai sosial budaya yang dihayati oleh para sarjana tersebut. Sejak dahulu Protagoras selalu mencari, mendalami tujuan pemidanaan dan pidana sebagai sarana pencegahan khusus maupun umum[6].

Menurut teori Kant, dasar pembenaran dari suatu pidana itu terdapat di dalam apa yang disebut Kategorischen Imperatif, yakni yang menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas. Keharusan menurut keadilan dan menurut hukum tersebut, merupakan suatu keharusan yang sifatnya mutlak, hingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan pada sesuatu tujuan itu harus dikesampingkan[7].

Ada tiga golongn utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :

1.    Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)

Menurut teori-teori ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana -tidak boleh tidak- tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apa pun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apakah dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan. Hutang pati, nyaur pati; hutang lara, nyaur lara yang berarti : si pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya. Demikianlah terdengar semboyan Indonesia. Oog om oog, tand om  tand (mata sama mata, gigi sama gigi) dari Kitab Injil Perjanjian Lama bermakna sama[8]. Nada yang sekiranya terlihat juga dalam Kitab Al-Qur’an surat An Nisaa ayat 93 yang berbunyi :

"Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam; kekal ia di dalamnya, dan Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab dan besar baginya."

2.    Teori relatif atau tujuan (doeltheohen)

Menurut teori-teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat ataubagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan. Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada upaya agar di kemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi). Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan bahwa mulai dengan ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana orang akan takut menjalankan kejahatan[9].

3.    Teori Gabungan (verenigings theorien)

Kemudian teori gabungan antara pembalasan dan prevensi bervariasi pula. Ada yang menitikberatkan pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan seimbang.

Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat[10].

Teori yang dikemukakan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi da kemudian Zevenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah[11].

Dasar penjatuhan hukuman mati di Indonesia adalah berdasarkan teori pembalasan atau absolute yang merupakan teori tertua dibanding dengan teori-teori pemidanaan lainnya. Menurut teori pembalasan pidana harus diberikan terhadap masyarakat merupakan suatu pelanggaran atau penodaan terhadap konsesus yang terjadi dalam masyarakat untuk hidup tenteram secara berdampingan. Teori pembalasan hanya melihat perbuatan dan pidana yang diberikan harus setimpal dengan perbuatan. Menurut Hegel, makin besar kejahatan, maka makin berat pula pidananya[12].

C.   Tinjauan Umum Pidana Mati

Pidana mati merupakan pidana pokok yang paling berat dari susunan saksi pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Pidana mati merupakan salah satu bentuk pidana yang paling tua, sehingga dapat juga dikatakan bahwa pidana mati sudah tidak sesuai dengan kehendak jaman, namun di Indonesia sampai dengan saat ini masih dipertahankan eksistensinya. Pidana mati ini dipertahankan untuk melindungi kepentingan umum dari bahaya kejahatan oleh tindakan penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi, dan juga mengingat wilayah Indonesia yang luas, penduduknya yang bermacam-macam golongan, suku dan agama yang mudah bentrok, sehingga alat-alat kepolisian yang dimiliki belum memadai.

Dalam perspektif global, permasalahan pidana mati seakan-akan tidak pernah habis untuk dibicarakan karena selalu mengundang pendapat yang setuju dan tidak setuju dan tidak setuju, dengan berbagai alasan yang menjadi dasarnya, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Pidana mati, memang merupakan jenis pidana yang terberat dibandingkan dengan pidana jenis lainnya, karena dengan pidana mati terenggut nyawa manusia untuk mempertahankan hidupnya.[13]

1.    Sejarah Pidana Mati

Pada awal kelahirannya pidana mati dijatuhkan tanpa pernah dipikirkan dasar pembenarannya. Pidana mati pada waktu itu diterapkan karena merupakan pidana yang efisien untuk menyelesaikan masalah-masalah pelik. Dalam perkembangan selanjutnya diperlukan dasar pembenaran yang tepat dalam penerapan pidana mati. Sehubungan dengan ini negara yang berhak melakukan pidana mati juga berkewajiban melindungi kehidupan masyarakat.

Dalam sejarahnya pidana mati dilaksanakan sangat berbeda-beda di setiap negara. Cara mematikan dengan dibakar, dijatuhkan dalam minyak yang mendidih, digilas dengan roda atau dimasukkan peti besi, ditenggelamkan atau ditusuk dengan tombak, seringkah terjadi di abad pertengahan. Pengurungan dan penusukan dengan tombak dipakai di Swiss sampai kurang lebih tahun 1400 dan dibunuh dengan ditenggelamkan sampai kurang lebih tahun 1600. Cara pembakaran di tiang maut yang terakhir dilaksanakan di Berlin tahun 1786.[14]

Pelaksanaan pidana mati di beberapa negara dapat terlihat seperti di Pakistan dan Malaysia dilaksanakan dengan cara digantung. Di Perancis pidana mati dilaksanakan dengan cara guillotine, demikian juga di Amerika Serikat dilaksanakan dengan menggunakan kursi listrik, ruang gas dan dengan cara disuntik mati. Pada abad ketujuh belas pidana mati dilaksanakan dengan cara lebih sadis dan tidak manusiawi misalnya dengan cara potong leher, menggantung, memukul sampai mati, mematahkan tulang iga, dibakar, dikubur hidup-hidup, ditenggelamkan serta dengan cara-cara lainnya.[15]

Di Indonesia pelaksanaan pidana mati dahulu dilakukan dengan cara menggantung sampai mati. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 KUHP yang menyebutkan bahwa “pidana mati dijalankan oleh algojo di lempar gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.[16]

Pada waktu Wetboek van Strafrecht itu sendiri terbentuk pada tahun 1881, orang di Negeri Belanda sudah tidak mengenal pidana mati, karena lembaga pidana mati telah dihapuskan dengan Undang-Undang tanggal 17 September 1870 melalui Staatblad tahun 1870 Nomor 182 dengan alasan bahwa pelaksanaan pidana mati di negeri Belanda sudah jarang dilakukan, karena terpidana mati hampir selalu mendapat pengampunan atau grasi dari Raja. Di negeri Belanda pidana mati tetap dipertahankan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer.[17]

2.    Pidana Mati dalam Perundang-Undangan Indonesia

Pidana mati tercantum dalam KUHP yang merupakan warisan dari pemerintahan kolonial yang telah dinasionalisasikan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Namun sesudah Indonesia merdeka beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan kemudian, ternyata tercantum juga ancaman pidana mati di dalamnya.

Dengan demikian, alasan bahwa pidana mati itu tercantum dalam W.v. S (KUHP) pada waktu itu diberlakukan oleh pemerintah kolonial didasarkan pada antara lain "alasan berdasarkan faktor rasial", mungkin hanya berlaku dahulu saja, dan tidak lagi sekarang, karena Pemerintah Republik Indonesia juga ternyata mengeluarkan Undang-Undang selain KUHP, yang mencantumkan ancaman pidana mati.[18]

a.    Pidana Mati di dalam KUHP

Di dalam KUHP tercantum pasal - pasal yang mengandung ancaman hukuman mati antara lain sebagai berikut:

1.    Makar, membunuh Kepala Negara (Pasal 104 KUHP).

2.    Membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang (Pasal 111 ayat (2) KUHP).

3.    Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam keadaan perang (Pasal 124 ayat (1) KUHP)

4.    Membunuh Kepala Negara Sahabat (Pasal 140 ayat (3) KUHP)

5.    Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu (Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP).

6.    Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang yang terluka berat atau mati (Pasal 365 ayat (4) KUHP).

7.    Pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai sehingga ada orang mati (Pasal 444 KUHP).

8.    Pada waktu perang menganjurkan hura-hura, pemberontakan dan sebagainya (Pasal 124 bis KUHP).

9.    Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (Pasal 127 dan Pasal 129 KUHP)

10. Pemerasan dengan pemberantasan (Pasal 368 ayat (2) KUHP).

b.    Pidana Mati Dalam Perundang-Undangan di luar KUHP

1.    Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Pasal 80 ayat (1), Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, Pasal 82 ayat (3) huruf a.

2.    Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Ancaman Pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika diatur dalam pasal 59 ayat (2)

3.    Dalam Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman pidana mati dalam Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat terlihat dalam Pasal 2 ayat (2).

4.    Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidana mati dalam ketentuan undang-undang ini adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 89 ayat (1).

5.    Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Adapun ancaman pidana mati dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 36 dan Pasal 37.

6.    Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ancaman pidana mati dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak pidana Terorisme tercantum dalam beberapa pasal, antara lain Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 14.

3.    Sikap Pro dan Kontra Pidana Mati

Penjatuhan pidana sebagai suatu nestapa kepada pelaku tindak pidana merupakan obat terakhir (ultimum remedium), yang hanya dijalankan apabila upaya-upaya lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk sanksi yang paling berat adalah pidana mati yang selalu diperdebatkan keberadaan dan urgensinya selama ratusan tahun oleh para sarjana hukum pidana dan kriminologi.

Pro dan kontra pidana mati ini memberikan pendapat yang berbeda-beda. Ada pembela pidana mati yang mengatakan pidana mati itu perlu untuk menjerakan dan menakutkan penjahat. Yang menentang pidana mati antara lain mengatakan bahwa pidana mati dapat menyebabkan ketidakadilan, tidak efektif sebagai penjera, karena sering kejahatan dilakukan karena panas hati dan emosi yang diluar jangkauan kontrol manusia.

Menurut B. Bawazirj wartawan Kantor Berita Antara di Kairo Mesir dalam tulisannya mengenai sikap pro dan kontra penjatuhan pidana mati di Mesir dan Lebanon antara lain mengatakan "bahwa pidana penjara seumur hidup adalah lebih kejam, karena penderitaan yang dijatuhi pidana ini adalah lebih hebat daripada penderitaan orang yang dalam sekejap mata pindah ke alam baqa". Selain itu pidana penjara seumur hidup dianggap tidak cukup menakutkan, sehingga pengaruhnya untuk mencegah kejahatan kurang efektif. Dalam hubungan ini mereka menunjukkan kejahatan, bahwa diberbagai negara yang sudah terlanjur menghapuskan pidana mati dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya, terpaksa akhirnya memberlakukan, kembali.[19]

Ada negara negara yang belum menghapuskan pidana mati, tetapi pelaksanaannya dipersukar sehingga menurun seperti Amerika Serikat antara lain tahun 1930-1934 sebanyak 155 eksekusi. Antara tahun 1961-1965 sebanyak 26 eksekusi. Ada pula negara yang menghapuskan pidana mati seperti Belanda, Jerman, Italia, Portugal, Austria, Swiss, dan negara-negara Skandinavia lainnya. Ada pula negara yang menghapuskannya pidana mati tetapi kemudian mengadakannya lagi, seperti Rusia.[20]

Baru-baru ini Cile menghapuskan pidana mati. Hal ini terlihat dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang yang berisi penghapusan pidana mati di negara tersebut yang sudah ditandatangani Presiden Cile Ricardo Lagos. Sejak ketentuan pidana mati pertama kali dijalankan tahun 1890, sudah sebanyak 37 warga negara Cile yang secara resmi terkena pidana mati. Pidana mati diterapkan terakhir kali pada tahun 1985 saat pemerintahan Presiden Augusto Pinochet berkuasa.[21]

Republik Rakyat Cina termasuk negara yang masih menerapkan pidana mati. Hal ini bisa terlihat di mana Cina telah mengeksekusi 28 orang yang terlibat kejahatan, yakni para perampok bersenjata, pembunuh maupun para pemerkosa. Pelaksanaan hukuman mati itu sebagai kampanye tindakan sangat keras untuk memberantas kejahatan dan kekerasan yang terorganisasi di negara berpenduduk 1,3 Milyar itu.[22]

Alasan yang pro terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh De Bussy yang membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar. Hazewinkel Suringa berpendapat bahwa pidana adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner dapat dipergunakan. Van Veen menganggap pidana mati sebagai alat pertahanan bagi masyarakat yang sangat berbahaya dan juga pidana mati dapat dan boleh dipergunakan sebagai alat demikian.[23]

Barda Nawawi Arief termasuk salah satu pakar hukum yang masih mentolerir penerapan pidana mati sebagaimana dikemukakannya dalam debat publik RUU tentang KUHP sebagai berikut:

Dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakekatnya bukan sarana utama/ pokok untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki individu/ masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana perkecualian. Hal ini dapat diidentikkan dengan sarana amputasi/ operasi di bidang kedokteran, yang pada hakekatnya juga bukan sarana/ obat utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/ obat terakhir. Oleh karena itu ditegaskan dalam konsep (Pasal 80), bahwa pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat."[24]

Adapun yang kontra terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh Beccaria yang mengatakan bahwa hidup adalah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh adalah tercela. Oleh karena itu pidana mati adalah immoral dan makanya tidak sah.[25]  Sebenarnya pada tahun 1964 seorang guru besar Austria Joseph von Sonnefels sudah menentang pidana mati yang dipandangnya bertentangan dengan tujuan pidana.[26]

Protokol Opsional Kedua Konvenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang ditujukan untuk menghapuskan pidana mati menyebutkan di dalam Pasal 1 sebagai berikut:

1.    Tidak seorangpun dalam wilayah hukum dari negara yang mengadopsi protokol ini dapat dihukum mati.

2.    Setiap negara tidak wajib mengambil langkah-langkah yang dipergunakan untuk menghapuskan hukuman mati di dalam wilayah hukumnya.[27]

4.    Tata cara Pelaksanaan Pidana Mati

Sebagaimana diketahui bahwa dalam pelaksanaan pidana mati tiap negara yang menganut pidana mati mempunyai tata cara berbeda dalam pelaksanaan pidana mati.

Pidana mati merupakan sesuatu yang sangat menakutkan dan merupakan shock therapy yang sangat tepat bagi mereka yang melakukan tindak pidana narkotika dengan akibat yang begitu besar terhadap tatanan kehidupan, baik berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yaitu dilakukan dengan ditembak sampai mati (Pasal 1) yang pelaksanaannya dilakukan di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan yang menjatuhkan putusan pada tingkat pertama (Pasal 2). Sedangkan yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pidana mati tersebut adalah Jaksa, dimana Jaksa menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati, sedangkan Kepala Kepolisian setempat bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban pada waktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu (Pasal 3). Adapun pelaksanaan pidana mati dilakukan tidak dimuka umum dan dengan cara sesederhana mungkin kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. Pelaksanaannya yaitu Kepala Kepolisian setempat membentuk regu tembak terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama dibawah pimpinan seorang perwira yang semuanya dari Brigade Mobil, dimana regu tembak tersebut berada dibawah perintah Jaksa sampai selesai Pelaksanaan Pidana Mati.[28]

Apabila melihat tata cara pelaksanaan pidana mati tersebut ternyata pelaksanaannya memerlukan tenaga yang cukup banyak, menurut pendapat penulis apakah tidak sebaiknya pelaksanaan pidana mati tersebut diganti dengan cara disuntik sampai mati seperti halnya pelaksanaan pidana mati yang dilaksanakan di Amerika Serikat, sebab di samping tidak memerlukan tenaga yang banyak dan biayanya relatif sedikit dan pelaksanaannya tidak harus mencari-cari tempat yang tidak dilihat orang banyak/umum yang saat ini dengan perkembangan perkotaan sudah jarang tempat-tempat yang tidak ditempati orang. Selain itu pelaksanaan hukuman mati tersebut cukup dilaksanakan dalam satu kamar, dan menurut pendapat penulis pelaksanaan pidana mati tersebut sebaiknya dilaksanakan di tempat khusus pada Lembaga Pemasyarakatan karena Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pidana

D.   Tinjauan Umum Pidana Denda

Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana penjara. Mungkin setua dengan pidana mati.[29]

Pidana denda adalah suatu hukuman yang mengimplikasikan bahwa terpidana wajib membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan pengadilan kepada negara. Dalam hal ini terpidana tidak dapat mendayagunakan keberatan atau perlawanan dalam konteks hukum keperdataaan terhadap negara.[30]

Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitif, walaupun bentuknya bersifat primitif pula. Pada zaman Majapahit telah dikenal adanya pidana denda. Begitu pula pada pelbagai masyarakat primitif dan tradisional di Indonesia.

Kadang-kadang berupa ganti kerugian, kadang-kadang berupa denda adat, misalnya penyerahan hewan ternak seperti babi, kerbau dan lain-lain. Di Irian Jaya (Teluk Sudarso) pun terdapat denda semacam itu. Kadang-kadang

A.   Pengertian Narkotika

Kata narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu "Narke" atau "Narkan" yang memiliki arti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.[31]  Istilah Narkotika sendiri di Indonesia mempunyai beberapa definisi, dimana antara definisi yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan. Di antara definisi narkotika adalah yang terdapat dalam Kamus Umum Hukum yang menyatakan,

'"Narkotika merupakan zat yang membiuskan, menghilangkan rasa atau menyebabkan tidak dapat berpikir atau tidak sadar yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia dapat menekan fungsi-fungsi kegiatan dari otak dan persyaratan. Pada mulanya zat-zat ini dimaksudkan untuk tujuan medis, bermanfaat untuk dunia kedokteran, tetapi kemudian diselewengkan serta disalahgunakan, sehingga menimbulkan bahaya ketagihan dan ketergantungan”[32]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Narkotika adalah "obat untuk menenangkan saraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang".[33] Sementara menurut istilah medis narkotika adalah "obat yang dapat menghilangkan terutama rasa sakit atau nyeri yang berasal dari daerah viseral atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan adiksi atau kecanduan".[34]

Sedangkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika menyatakan :

"Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan."[35]

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam Undang-Undang ini memberikan keterangan lebih lanjut mengenai golongan-golongan narkotika yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, yaitu :

a.              Narkotika golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b.              Narkotika golongan II, adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi  dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkah ketergantungan,

c.              Narkotika Golongan III, adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengambangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.[36]

Dalam dunia medis, semula istilah narkotika itu hanya ditujukan untuk opium dari tanaman papaver atau zat-zat sintetis pengganti opium saja. Namun cakupan dari narkotika tersebut menjadi luas dalam dunia ilmu pengetahuan dan ilmu hukum, karena termasuk pula kokain dari tanaman koka dan bahan yang berasal dari ganja.[37]

Berikut ini adalah uraian mengenai beberapa jenis narkotika yang terpenting, yaitu :

Tanaman Candu (Papaver Somniferum L), tanaman ini sudah dikenal lama menghasilkan narkotika alami, yakni sekitar abad IV Sebelum Masehi, di wilayah sekitar Mediterania. Semua bagian tanaman ini termasuk buah dan jeraminya kecuali biji dapat menghasilkan narkotika alami.

Opium mentah, diperoleh dari getah yang keluar dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang kemudian membeku sendiri. Cara modern untuk memprosesnya pada saat ini adalah dengan jalan mengolah jeraminnya secara besar-besaran. Jerami candu yang matang setelah diproses akan menghasilkan alkoloida dalam bentuk cairan, padat, ataupun bubuk. Sedangkan yang biasa dijual dalam bentuk bubuk berwarna coklat serta berbau yang khas.

Opium masak terdiri atas : [38]

a.    Candu, merupakan hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui   rentetan   pengolahan   khususnya   dengan pelarutan, pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan

b.    Jicing. yakni sisa-sisa dari candu yang telah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.

c.    Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

Morfina adalah alkaloida utama dari opium, yang merupakan obat ampuh penghilang rasa nyeri, berbentuk tablet maupun cairan, dan dikonsumsi dengan cara disuntik atau disedot.

Tanaman Koka (Erythroxylon coca), yang hanya bagian daunnya saja yang merupakan bahan utama alkaloida kokain. Tanaman ini tumbuh subur di Pegunungan Andes, Amerika Serikat, dan sudah sejak zaman prasejarah diketahui bahwa orang-orang Indian Inca yang menghuni kawasan tersebut senang mengunyah daun-daun koka itu. Biasanya dikonsumsi dengan dihirup lewat hidung. Pada waktu menggunakannya tampak lebih percaya diri, dan tampak gembira, wajah kelihatan ceria serta banyak gairah dalam percakapan.

Heroin atau disebut juga dengan putaw adalah zat semisintetis yang diperoleh dari morfin dengan jalan mengubah susunan kimia opium. Heroin murni berwarna putih bersih dan rasanya pahit. Khasiatnya lebih kuat dari morfin, berakibat menimbulkan ketergantungan dan toleransinya melebihi morfin. Cara menkonsumsinya yang paling populer adalah dengan disedot atau disuntikkan.

Tanaman Ganja (Cannabis Sativa), dammar, biji, dan buahnya telah dipergunakan sejak lama. Daunnya mengandung zat THC (Tethrahydrocannabinol), yakni suatu zat sebagai elemen aktif yang oleh para ahli kesehatan dianggap sebagai "hallucinogenio substance'", demikian juga damarnya yang banyak terdapat dalam bunga bagian atasnya. Cara mengkonsumsinya dengan dihisap seperti rokok, dalam jumlah yang besar dan jangka waktu yang lama dapat menimbulkan ketergantungan.[39] Bentuk-bentuk ganja yang beredar dikenal dalam wujud,

·         seperti tembakau atau rumput-rumputan

·         getah ganja atau Hasish

Melalui proses tertentu atau penyulingan menghasilkan adonan kental berwarna cokelat dan hijau atau coklat kehitam-hitaman. Zat yang terkandung dalam hasis jauh lebih kuat dibandingkan ganja dalam bentuk tembakau.

Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah narcose dan narcosis untuk nerkotka yang berarti pembiusan, dipergunakan terutama pada saat dilakukan pembedahan atau operasi. Istilah inilah yang mungkin dimaksudkan dalam istilah lain dari narkotika yang berasal dari bahasa latin, yakni Narkotikum, yang memiliki pengertian obat bius, dimana pengertian dari narkotika itu menjadi lebih luas, sehingga memiliki arti yang sama dengan drug di Inggris dan Amerika Serikat, atau Krengien di Kamboja, atau di Malaysia dan Brunei Darussalam dikenal dengan istilah dadah, yang berarti "obat bius".[40]

Dari beberapa uraian mengenai definisi narkotika yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa narkotika itu merupakan zat-zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh manusia akan memberi pengaruh kepada saraf, baik itu bersifat stimultan ataupun halusinogen, mengakibatkan adiksi atau kecanduan, sehingga bagi para penggunanya akan merasa ketagihan terus-menerus, namun hanya terbatas pada zat-zat yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.

B.   Sejarah Tentang Narkotika

Narkotika digunakan sebagai alat dalam upacara-upacara ritual dan pengobatan sejak 2000 tahun Sebelum Masehi. Pada masa itu jenis narkotika yang dipergunakan adalah candu atau lazimnya disebut sebagai madat atau opium. Hal ini menyebabkan candu menjadi komoditas yang cukup penting.

Akibatnya, perdagangan candu berkembang dengan pesat di Mesir, Yunani dan di beberapa wilayah Timur Tengah, Asia Afrika Selatan. Sejalan dengan perkembangan kolonisasi maka perdagangan candu semakin tumbuh subur dan pemakaian candu secara besar-besaran dilakukan di kalangan etnis China, terutama di Negara-Negara jajahan ketika itu, termasuk Indonesia yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.[41]

Dewasa ini narkotika tidak hanya digunakan untuk tujuan-tujuan positif seperti tersebut di atas, tetapi juga untuk tujuan lain. Tujuan tersebut diantaranya adalah lalu lintas perdagangan narkotika illegal, baik transaksi yang bersifat transnasional maupun internasional. Transaksi lintas batas di antara dua atau lebih Negara adalah transaksi transnasional sedangkan transaksi internasional ialah bentuk transaksi yang sudah bersifat global baik lingkup maupun jaringannya. Transaksi narkotika illegal terjadi dalam rangka memenuhi kebutuhan narkotika. Sejarah menyimpulkan bahwa narkotika juga digunakan agar kesedihan dan kesepiannya terlupakan. Jalan pintasnya adalah mabuk-mabukan, atau mengisap zat yang memberi kenikmatan, atau menelan obat yang melegakan, walaupun hanya sesaat.

Dalam Zaman Yunani purba misalnya, melalui epik illiad dikisahkan sebuah piala yang dapat mendatangkan kejahatan kepunyaan Helen. Piala tersebut ditafsirkan orang untuk meminum Opium. Kata "Opium" itu sendiri dalam bahasa Yunani berarti sari buah candu (poppy juice). Kemungkinan besar memang opiumlah zat yang dari mulanya benar-benar untuk disalahgunakan orang.[42]

Di Peru telah tergali kendi berumur lebih dari 4000 tahun terbuat dari kulit labu. Dari dalamnya ditemukan daun koka dan sugi koka sisa kunyahan.

Di zaman yang lebih kemudian, menurut peradaban Inca, rumpun koka dianggap suci, karena dibawa dari kayangan oleh Kaisar Manco Capac sebagai anugrah dewa. Itulah sebabnya rumpun koka sangat penting dalam keagamaan dan dalam sistem sosial peradaban itu.

Di India gania sudah dikenal dan digunakan orang sejak jaman prasejarah pada mulanya para penganut agama Hindu pun tidak dilarang menggunakannya, bahkan satu dua sekte mengaitkannya dengan keagamaan pada upacara-upacara tertentu.

C.   Sebab-Sebab Penyalahgunaan Narkotika

Sampai saat ini belum ada satu sebab penyalahgunaan obat-obat yang tergolong narkotika. Tiap-tiap orang yang menyalahgunakan narkotika didorong oleh alasan masing-masing yang berbeda, ada yang didasari merusak dirinya atau orang lain. Keadaan ini terjadi di mana rasa ingin tahu atau mencoba-coba dan sebagainya, tetapi pada kesempatan lain karena didorong oleh alasan teringat akan menggunakan narkotika kembali, pada kesempatan selanjutnya akan terjadi ketagihan dan akibatnya menjadi ketergantungan narkotika.

Berbagai ahli mengemukakan sejumlah alasan mengapa seseorang menyalahgunakan narkotika.

Romlah Mondang misalnya menyatakan bahwa seseorang menyalahgunakan narkotika diantaranya karena : [43]

1.      Mencoba ingin tahu rasa mengisap ganja.

2.      Pelarian seorang tidak sanggup mengatasi sesuatu problema yang timbul frustasi, kebingungan dan mulai berkenalan dengan narkotika.

3.      Ingin kebebasan, lebih cerdas, orang tua kolot.

4.      Peran orang tua, kedudukan orang tua penting, sibuk, amat cukup diberi uang saku yang banyak.

5.      Gank-gank merupakan kumpulan anak-anak nakal satu orang menghisap, satu gank ikut.

6.      Drop Out, tidak sanggup mengikuti pelajaran, malu terhadap teman, tergabung dengan teman senasib.

Selanjutnya, menurut Graham Blania faktor-faktor yang mendorong penyalahgunaan narkotika terdiri atas dua faktor, yaitu :[44]

1.      Faktor Intern (dari dalam diri)

a.       Sebagai protes untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum dan instansi yang berwenang.

b.      Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual.

c.       Membuktikan keberanian dalam melaksanakan tindakan berbahaya dan penuh resiko.

d.      Berusaha mendapatkan dan mencari arti daripada hidup yaitu/identitas diri.

e.       Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh suatu pengalaman sensasional dan emosional.

f.       Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, disebabkan kurang kesibukan.

g.      Didorong rasa ingin tahu dan karena iseng.

2.      Faktor Ekstern (dari luar diri): [45]

a.       Adanya usaha-usaha subulasi untuk menyeret generasi muda ke lembah narkotika.

b.       Adanya situasi yang kurang harmonis dalam keluarga, tidak ada rasa kasih sayang, renggangnya hubungan ayah dan ibu, orang tua dan anak, serta anak dan anak itu sendiri.

c.       Karena politik yang ingin mendiskriditkan lawannya dengan menjerumuskan generasi muda / remaja.

Apabila penyalahgunaan narkotika berangsur-angsur digunakan, maka akan terjadi ketergantungan atau kecanduan. Mereka yang kecanduan narkotika antara lain terdorong oleh berbagai faktor yaitu :

1.    Faktor fisik antara lain :

a.      Rasa setia kawan.

b.      Upacara-upacara kepercayaan adat.

c.      Tersedia dan mudah diperoleh

2.    Faktor medis antara lain :

Seseorang yang dalam perkembangan jiwanya mengalami gangguan, lebih cenderung, untuk menyalahgunakan narkotika. Misalnya menghilangkan rasa malu, serta segan diri dan kelemahan.[46]

Dari beberapa pendapat dan penjelasan di muka, maka dapat disimpulkan sebab-sebab penyalahgunaan narkotika berasal dari individu yang lemah mental dalam menghadapi kenyataan hidup, ikut-ikutan dan ingin mencoba-coba serta ingin tahu. Kemudian dari sudut sosial (lingkungan), di mana norma-norma kehidupan masih kabur atau sedang mengalami perubahan zaman, membentuk gerak-gerik yang menuju ke arah kenakalan yang berakibat negatif. Mereka seperti kehilangan arah pegangan atau patokan di dalam bersikap tindak, seakan-akan selalu bertentangan dengan norma-norma yang sudah ada dan diakui kebenarannya.

D.   Penyalahgunaan Narkotika Dan Tindak Pidana Narkotika.

Mengingat cepat menjalarnya penyalahgunaan narkotika di dalam masyarakat Indonesia di berbagai tempat dan banyaknya korban narkotika di kalangan generasi muda, maka Menteri Kesejahteraan Rakyat sebagai pimpinan BAKOLAK berpendapat untuk mencapai efisien dan hasil yang menyeluruh dalam usaha penanggulangan baik usaha preventif dan usaha represif maka sudah waktunya dikoordinasikan secara luas bersama-sama program pembinaan bidang kesejahteraan rakyat dan berbagai departemen ataupun partisipasi potensi masyarakat sendiri.[47]

Hukum yang mengatur mengendalikan penggunaan narkoba dan menanggulangi penyalahgunaan narkotika serta perawatan para korbannya di Indonesia adalah hukum narkotika. Hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan manusia, ia lahir dalam pergaulan dan perkembangan ditengah masyarakat serta berperan di dalam hubungan antara individu dan antar kelompok.[48]

Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana adalah pelanggaran atas norma-norma hukum.[49] Seseorang melakukan tindak pidana dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya saja dapat terjadi karena faktor tekanan ekonomi, lingkungan di mana orang itu berada. Faktor hubungan orang tersebut dengan keluarganya (misalnya tidak ada keharmonisan dalam keluarga tersebut terutama menyangkut masalah arah remaja) dan masih banyak lagi yang kesemuanya itu dapatlah mengganggu kehidupan masyarakat walaupun hal tersebut dilakukan demi kelangsungan hidupnya. Pidana itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud-maksud lainnya itu tak boleh diabaikan.[50] Hal ini dimaksud untuk menghindari kesewenangan pengadilan dalam penjatuhan hukuman, serta untuk menjamin kepastian hukum di dalam masyarakat.

Dari tindak pidana yang dilakukan seseorang, baik itu kejahatan atau pelanggaran, sangat disayangkan apabila tindak pidana ini dilakukan oleh orang-orang yang masih muda usianya atau remaja, dimana dari mereka ini diharapkan sebagai generasi penerus bangsa untuk pembangunan negara di masa yang akan datang.

Salah satu bahaya terbesar yang dapat mengecoh dunia remaja adalah narkotika, masalah narkotika dengan segala akibat buruknya saat ini juga melanda banyak negara di dunia. Penyalahgunaan narkotika bukanlah merupakan suatu problem yang sederhana dan mudah diatasi, lebih-lebih pengaruhnya terhadap anak muda menimbulkan problem tersebut menjadi semakin rumit. Ia dapat merusak bukan saja bagi orang yang dihinggapi "penyakit", tetapi juga orang sekitar dalam masyarakat.

Akibat yang fatal dapat mempengaruhi kehidupan sosial budaya, agama, ekonomi, dan bahkan dapat pula menjadi penyebab kejahatan dan penyakit sosial yang lain.

Mulai dari bahasa dan pemberian (deskripsi) dari segi historis dengan meninjau perundangan narkotika di zaman Hindia Belanda yang berlaku terus sampai setelah kemerdekaan, yang tepatnya sampai tahun 1976. Kemudian usaha-usaha untuk menghadirkan hukum narkotika nasional yang diawali dengan Instruksi Presiden tahun 1971. Hukum narkotika nasional yang mulai berlaku sejak tahun 1976 beserta pengaturannya dalam rangka kerja sama Internasional merupakan sarana   mutlak   bagi   upaya   penanggulangan   narkotika yang berkesinambungan.

Negara Indonesia, cukup rawan terhadap ancaman bahaya peredaran narkotika dan penyalahgunaan narkotika. Dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi :

1.      Salah satu penghasil utama narkotika terletak di benua Asia yang relatif berdekatan dengan Indonesia.

2.      Konfigurasi dan letak geografis negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak pada persimpangan jalan antara dua benua dan dua samudera.

3.      Hukum sebagai perangkat ketentuan, maupun alat atau pun pelaksanaannya sebagai alat pencegahan masih banyak kelemahannya.

4.      Negara Indonesia merupakan sasaran pelbagai kegiatan subversi dan tidak mustahil bahwa dalam rangka kegiatan itu menggunakan narkotika sebagai sarananya.

5.      Terbatasnya fasilitas peralatan dan dana serta masih belum mantapnya aparat penanggulangannya.

Kesemuanya itu tercermin dengan jelas dari keterangan Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara, kepada komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai berikut:

Karena letak geografisnya Indonesia, merupakan tempat dari pada penyaluran bahan-bahan narkotika dari daerah segi tiga emas (Laos-Muangthai-Birma).[51] Dan daerah tempat penyaluran biasanya juga tempat konsumsi. Di samping itu bahan narkotika jga merupakan sumber dana (keuangan) bagi berbagai kegiatan subversi. Sehingga bagaimanapun juga masalah penyalahgunaan narkotika tidak terlepas juga masalah-masalah "Security". Soal meningkat atau menurunnya bahan narkotika gelap tidak begitu relevan karena hingga saat ini kita bisa memperoleh data-data yang lengkap. Yang jelas angka-angka pemasukan bahan narkotika ke Amerika Serikat menurun sehingga yang mengalir ke wilayah Asia meningkat.

Dengan demikian kemungkinan besar bahan-bahan narkotika ke wilayah Asia dimana negara Indonesia berada di wilayah Asia. Kesimpulan hasil seminar kriminologi II di Semarang tahun 1972 menyatakan bahwa : Tentang Undang-Undang obat bius tahun 1927 terdapat kekurangan-kekurangan dan ketidakserasian, adalah [52]:

1.     Tidak ada keseragaman dalam pengertian tentang narkotika.

2.     Belum ada penyatuan pensistematisan dalam ketentuan hukum.

3.      Sanksi   terlalu  ringan   dibandingkan  dengan   akibat   yang dari penyalahgunaan narkotika.

4.      Ketidakserasian antara ketentuan hukum pidana mengenal narkotika dan caranya.

5.      Ketidaktegasan pembatasan pertanggungjawaban pidana terhadap penjual, pemilik, pengedar dan penyimpan daripada narkotika.

6.      Belum ada bahan yang bertingkat nasional dan tetap berwenang manangani masalah penyalahgunaan narkotika.

7.      Belum adanya ketentuan khusus mengenai wajib lapor apabila ada penyalahgunaan narkotika.

8.      Belum adanya ketentuan khusus tentang premi bagi yang bekerja dalam penyelidik perkara penyalahgunaan daripada narkotika.

Masalah narkotika bukan saja masalah nasional tetapi juga masalah Internasional. Keikutsertaan negara Republik Indonesia sebagai salah satu penanda-tangan konvensi tunggal narkotika tahun 1961, telah memberikan perubahan - perubahan peraturan yang mengatur tentang narkotika yang lama.[53] Karena sudah tidak mengikuti zaman lagi, kemudian dengan mencabut Undang-Undang obat bius tahun 1927 dan beserta seluruh peraturan pelaksanaannya, dewasa ini peraturan narkotika didasarkan pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika.

Dengan peraturan tersebut diharapkan dapat memenuhi dari segala kelemahan-kelemahan peraturan sebelumnya. Dalam mengawasi dan melaksanakan kegiatan-kegiatan :

1.      Pengawasan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan tujuan pengembangan ilmu pengetahuan.

2.      Penanggulangan terhadap bahaya peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika meliputi :

2.1  Penegakan Hukum

2.2   Pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi.

Disamping itu juga dimaksud agar dipenuhi, tuntutan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kewajiban-kewajiban Internasional.

[1] Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 1999 - 2000.

[2] Ibid, hlm. 32-33

[3] Andi Hamzah, Hukum Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT. Pradya Paramitha, 1986

[4] Ibid, hlm. 218

[5] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1955), hlm. 90.

[6] Syaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, (Yogyakarta : Total Media, 2009)

[7] P.A. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung : PT. Armico, 1984)

[8] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta : Refika Aditama, 2003)

[9] Ibid, hlm. 25-26

[10] E. Utrech, op.cit, hlm. 186

[11] P.A. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung : PT. Armico Bandung, 1984)

[12] Syaiful Bakhri, “Sekali Lagi Tentang Pidana Mati”, “Mahkamah”, edisi 1 September 2008

[13] Ibid, hlm. 82

[14] Soedjono Dirdjosisworo, Pungli : Analisa Hukum dan Kriminologi, Cet. Ke-II (Bandung : Sinar Baru, 1983), hlm. 46

[15] Andi Hamzah dan Sumangelipu, KUHP dan KUHAP, hlm. 79

[16] R. Soesilo, KUHP beserta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor, Penerbit Politeia, 1974), hlm. 15

[17] P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hlm. 62

[18] J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Bandung, 1979, hlm. 29

[19] Andi Hamzah dan Sumangilepu, Ancaman Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu dan Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta

[20] Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Op.Cit. hlm. 12

[21] Iwan Darmawan, Op.Cit, hlm. 82

[22] Ibid, hlm. 83

[23] Andi Hamzah dan Sumangelipu, Op.Cit, hlm. 24-30

[24] Barda Nawawi Arief, Masalah Pidana Mati dan Pidana Anak Dalam RUU KUHP, makalah disampaikan pada Forum Debat Publik RUU tentang KUHP yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman Dan HAM, Jakarta, 27-28 November 2000, hlm. 2.

[25] Andi Hamzah dan Sumangelipu, Op.Cit, hlm. 36

[26] A. Karim Nasution, Hukuman Mati Ditinjau Dari Penegak Hukum, makalah disampaikan pada Simposium Hukuman Mati sebagai Sanksi Pidana, Puslitbang Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 1980, hlm. 210.

[27] Kantor Menteri Negara Urusan HAM RI, Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Yang Ditujukan Untuk Menghapuskan Hukuman Mati, Kantor Menteri Negara Urusan HAM RI, Jakarta 2000, hlm. 7

[28] Ibid, hlm. 3

[29] Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, 1993).

[30] Syaiful Bakhri, “Primadona Pidana Denda”, “Mahkamah”, edisi 3 November 2008.

[31] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1986), cet. Ke-2, hlm. 36

[32] Zainal Bachri, Kamus Umum Khusus Bidang Hukum dan Politik, (Bandung : Angkasa, 1996), cet. Ke-1, hlm 188-189.

[33] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), cet. Ke-3, hlm 609.

[34] Hasan Shadly, Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta : Ictiar Baru-Van Hoeve, 1993), Jilid 4, hlm 2336.

[35] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), cet. Ke-3, hlm. 3.

[36] Ibid, hlm. 25

[37] Andi Hamzah & RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), cet. Ke-1, hlm. 16.

[38] Ibid, hlm. 16

[39] Ibid, hlm. 19

[40] Soedjono, D, Narkotika dan Remaja, (Bandung : Alumni, 1985) cet. Ke-5, hlm 125.

[41] M. Ridha, Ma’roef, Narkotika Masalah dan Bahayanya, (Jakarta : CV. Marga Jaya, 1976), hlm. 5.

[42] Ibid, hlm. 5-6

[43] Romlah Mondang, Narkotika Dalam Hubungannya Dengan Kenakalan Remaja, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 7

[44] A.W. Widjaya, Mengutip Gerakan Blamia Dalam Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung : Armico, 1985), hlm. 25.

[45] Ibid, hlm. 26

[46] Dirdjosisworo (2), Op.Cit, hlm. 25

[47] M. Ridha, Ma’roef, Narkotika Masalah dan Bahayanya, (Jakarta : CV. Marga Jaya, 1976), hlm. 58

[48] Wiryono, Prodjodikoro, Tindak Pidana Tertentu, (Bandung : PT. Eresco, 1986), hlm. 1

[49] Ibid,  hlm. 1

[50] R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, (Bogor : Politea, 1984, hlm. 8)

[51] M. Ridha, Ma’roef, Narkotika Masalah dan Bahayanya, (Jakarta : CV. Marga Jaya, 1976), hlm. 59

[52] Soedjono Dirdjosisworo, Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1990, hlm 3.

[53] Ibid, hlm. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar