Makalah Fundamentalisme Modernisme dan Moderatisme

Makalah Fundamentalisme Modernisme dan Moderatisme. Semoga makalah berikut ini dapat menambah wawasan anda dalam mengerjakan tugas makalah anda.

A. Pengantar 
Pada masa orde baru di bawah rezim Soeharto, pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama kerapkali mendapat label sebagai lembaga pendidikan Islam yang cinta damai dan penyemai sikap toleran, dan sama sekali jauh dari watak dan karakter kekerasan, apalagi terorisme. Hal ini dikuatkan hasil kajian sosiologis- antropologis yang dilakukan oleh Zamakhsyari Dhofier. Zamakhsari mengilustrasikan, pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif, sejak kelahiran hingga menjelang 1970-an, merupakan lembaga pendidikan yang unik dan khas, termasuk komunitas di dalamnya yang terdiri dari kyai, santri, masjid, pondok dan kitab kuning. Pada fase ini, pesantren lebih sebagai gerakan kultural yang “berjarak” dengan gerakan politik Islam di tanah air. Hal ini tentu sangat berbeda dengan image pesantren di masa Orde Reformasi, pesantren mengalami banyak dinamika dan perubahan dari yang semula sebagai lembaga pendidikan masyarakat Islam menengah ke bawah berubah menjadi trend pendidikan Islam dengan corak sangat beragam, dan lebih banyak bersinggungan dengan gerakan politik islam nasional dan internasional. Pada fase ini, pesantren lalu memproduksi beragam makna, fungsi serta image yang tak-terpikirkan (unthinkable), sebab di era reformasi, segala sesuatu atas nama kebebasan bisa dimunculkan, tak terkecuali dunia pesantren yang sempat menjadi lembaga pendidikan keagamaan yang unik di Indonesia.  Merebaknya pesantren-pesantren baru, termasuk pesantren salafi yang dikembangkan Ja'far Umar Thalib,  international Islamic boarding school, dan Ma‛had az-Zaitun misalnya menjadikan lembaga ini telah mengalami perkembangan yang pesat dan mengarah pada trend pendidikan islam yang massal. Hal ini tentunya memberikan wajah dan corak baru tentang varian pesantren yang sebelumnya telah menjadi bahan penelitian sosial antropologis para pemerhati pesantren. Bahkan, paska peristiwa 11 September 2001 dan Bom Bali I dan II serta penangkapan Abu Bakar Ba'ayir yang dianggap terlibat dalam kegiatan terorisme di Indonesia menciptakan stigma negatif yang sampai hari ini terus menghantui lembaga keagamaan ini.  Terlebih, media Barat menyuguhkan bebrbagai narasi bahwa pesantren di Indonesia memiliki andil dalam gerakan radikalisme keagamaan. Termasuk fakta- fakta yang membuktikan tentang relasi gerakan radikalisme dengan pendidikan di pesantren, khususnya paska terungkapnya beberapa alumni Jamaah Islamiyah (JI) dengan pesantren al-Mukmin Ngruki di Solo pimpinan Abu Bakar Ba'asyir yang saat ini sedang menjalani vonis hukuman di penjara Nusakambangan karena terbukti terlibat dalam kegiatan terrorisme di Aceh. Pertanyaannya yang muncul adalah apakah memang pesantren akhir-akhir ini telah merubah fungsi dirinya dari institusi pendidikan keagamaan menjadi lembaga yang mentolelir dan bahkan menopang tindak kekerasan atas nama agama? Ataukah, justru persepsi banyak orang termasuk kalangan media terhadap institusi ini yang keliru. Sebab itu, makalah ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan tersebut, khususnya sejauhmana gerakan politik islam global memiliki andil dalam perubahan karakter orisinal pesantren dan perkembangannya termutakhir. 

B. Kebangkitan Fundamentalisme Global 
Secara umum, berdasarkan kajian kesarjanaan barat dan muslim, menguatnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme agama, baik dalam agama dan lembaga Kristen, Islam dan Yahudi yang berkembang di beberapa Negara muslim maupun non-muslim dapat dipahami dalam beberapa kerangka hipotetik berikut: Pertama, gerakan fundamentalisme atau radikalisme agama tidak lebih sebagai gerakan politik (political movement) yang berbalut dengan doktrin keagamaan. Hal ini misalnya tampak dalam fenemona gerakan politik di Negara Yahudi-Israel, Negara Islam- Pakistan, atau Negara Islam-Iran. Dalam konteks ini, persilangan politik dan agama hampir tidak bisa dipisahkan. Masing-masing elemen saling menguatkan, sehingga batas antara yang profan dan transenden hampir tidak bisa dipisahkan. Dalam konstitusi pendirian Negara Israel misalnya, jelas tertulis nomenklatur The Establishment of Jewish State (pendirian Negara Yahudi). Terlebih konstitusi ini kemudian dikukuhkan dengan dua doktrin teologi bangsa Israel yang cukup masyhur, the promised land (tanah yang dijanjikan) dan the chosen people (bangsa terpilih), sebagaimana tersurat dalam kitab suci mereka, Torah. Selain kemerdekaan, berdirinya Negara ini juga tidak terlepas dari sekte radikal Yahudi di bawah komando Baruch Goldstein dan Yigal Amir.  Fenomena ini nampaknya juga terjadi di Iran dan Pakistan. Sejarah radikalisme Iran cukup panjang lebar diurai Bernard Luwis dalam The Assassins. Persilangan antara unsur agama dan politik kekuasaan menjadi contoh paling ultimate dalam kasus ini. Sebaliknya, lahirnya Negara Yahudi ini juga telah memunculkan anti-tesa, yakni Harakat al-Muqawwama al-Islamiyyah (Hamas) Palestina. Hamas dianggap sebagai gerakan paling radikal di bumi Palestina, dan seringkali abai terhadap upaya diplomasi dalam perjuangan kemerdekaan Palestina. Kedua, gerakan fundamentalisme agama juga bisa dilihat sebagai upaya penegasan identitas (reassertion of religious identity) kaum agamawan di penjuru dunia sebagai konsekuensi-dialektis terhadap gelombang modernisme, sekularisme dan globalisme yang dianggap meruntuhkan sekat-sekat lokalitas dan tradisi suatu bangsa. Penegasan ini semakin menguat tatkala modernisme dikukuhkan sebagai ancaman terhadap narasi-narasi agama, baik pada tingkat lokal maupun nasional. 
Secara empiris, tipologi gerakan ini dapat kita simak perkembangannya di Negara Turki, Thailand, Mesir, dan Malaysia.  Kasus Turki memberi gambaran yang cukup jelas, bahwa sekularisme dan modernisme yang diprakarsai Barat di bawah arahan Kemal At-Tatruk dianggap menghancurkan sendi-sendi peradaban dan bangsa Turki. Tak ayal, gelombang islamisme mencuat seiring dengan melemahnya dukungan publik terhadap rezim yang dianggap menjadi ancaman keberlangsungan sebuah Negara. Pergantian rezim sekular di Turki menjadi rezim islamis secara mendadak dalam beberapa hal sebenarnya juga telah diprediksi banyak pengamat. Hal ini lebih karena sekularisme dan modernisme diadopsi secara arbitrer ke dalam jantung kebudayaan dan peradaban Turki, tanpa terlebih dulu melakukan proses pendidikan yang adaptif-rasional. Ketiga, menguatnya sekte fundamentalisme agama tidak bisa dilepaskan dari proses kolonialisasi dan imperialisme suatu bangsa atas yang lain. Kolonialisme ini kemudian melahirkan resistensi dan perlawanan absolute atas penjajahan dan represi yang dilakukan rezim tertentu. Kasus yang paling banyak dirujuk karya-karya kesarjanaan barat dan Islam adalah Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina. Dalam kasus Filipina, khususnya bagi gerakan MILF atau MNLF, doktrin ancestral domain (tanah para leluhur kerajaan Sulu) adalah harga mati dan tidak dapat dinegosiasikan, sekaligus menjadi bukti otentik klaim ini. Tanah ini membentang dari Luzon hingga Mindanao. Sejak 1960, tak terhitung jumlah korban jiwa yang meninggal akibat pecah perang antara MILF dengan pemerintah Filipina. Konflik yang terus berlangsung hingga saat ini, minimal telah mengakibatkan 120.000 orang tewas, dan 700.000 orang kehilangan tempat tinggal. Hal ini semakin membuat kita mengerti bahwa konflik tanah dan peneguhan identitas sering melahirkan perang, sebuah bencana kemanusiaan.  Sarjana Philipina, Carmen Abubakar, menyatakan bahwa gerakan Moro National Liberation Front yang seringkali dihubung-hubungkan dengan Abu Sayyaf dipimpin oleh mereka-mereka yang justru tidak mengenyam pendidikan madrasah (pesantren dalam perbincangan di Indonesia). Mereka justru terdidik di lembaga- lembaga pendidikan sekuler. Demikian juga para pemimpin MILF, dengan satu pengecualian, yakni Hasyim Salamat. Perjuangan kaum Muslim Moro, tidak bisa dihindarkan mempergunakan cara berjuang, sebagaimana bangsa yang terjajah.  Ihwal inilah yang membuat sarjana muslim liberal pada era 1990-an mengalami dilema pembacaan dan ketebelahan sikap. Di satu sisi, mereka menolak paham absolutisme dan esktremisme yang disponsori gerakan fundamentalisme Islam, namun di sisi lain, propaganda konflik-Israel dan kebijakan double-standard dunia barat terhadap dunia Islam, khususnya di Timur tengah, membuat para intelektual muslim liberal berada di posisi yang cukup dilematis, khususnya dalam kaitannya dengan konflik arab-Israel dan Perang Teluk 1 (Gulf War). Dari dilema ini, di samping tiga hal di atas, gerakan radikalisme dan fundamentalisme di dunia Islam mendapatkan momentumnya. Karena itu, kita tidak hanya perlu melakukan kritik-teoritis atas fundamentalisme Islam, namun juga perlu menganalisa dimensi historis-sosiologis fenomena kebangkitan fundamentalisme, khususnya fenomena yang terjadi di timur tengah saat ini. Dalam konteks ini, arus fundamentalisme Islam cenderung pada sebuah pilihan sikap totalitarianisme yang cukup mengkhawatirkan. Namun, sebagai seorang sarjana yang cukup obyektif, ia juga tidak serta merta mengamini klaim bahwa peradaban islam adalah musuh baru (new enemy) terhadap Barat, seperti ramalan Samuel Huntington dalam The Class of Civilization. Tesis benturan peradaban ini bagi beberapa kalangan pemikir Islam sangat tidak tepat, mengingat hampir dua pertiga umat Islam masih terus bahu-membahu mewujudkan perdamaian dan dialog antara dunia Islam dan Barat, meski dalam beberapa sisi harus berhadapan dengan dua tantangan sekaligus, yakni despotisme dalam negeri di satu sisi dan hegemoni Barat di sisi lain. Hal senada juga pernah disampaikan Abdurrahman Wahid dalam satu Ceramah di PBB, ketika seorang audien bertanya: Bagaimana pendapat anda tentang ramalan Huntington yang menyebut Benturan Peradaban (The Clash of Civilization)? Wahid menjawab: Huntington telah gagal memahami “Hutan Belantara Islam”, khususnya Islam Indonesia. Ia mencontohkan masih begitu banyak kerjasama antara dunia Barat-Islam yang telah terjalin selama ratusan tahun dan hampir merambah berbagai bidang, pendidikan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan, khususnya hubungan Amerika-Indonesia. Hal ini secara jelas menyiratkan bahwa benturan peradaban adalah sebuah ilusi belaka yang tidak memiliki pendasaran empiris. Dalam banyak hal, Islam sebagai keyakinan agama (religious belief) dengan proyek fundamentalisme Islam sebagai ideologi politik (political ideology) perlu dibedakan. Fundamentalisme Islam, dalam berbagai bentuknya, bukan sebuah ekspresi atau manifestasi pencerahan agama (renaissance of religion), namun malah sebaliknya, ia merefleksikan ideologi politik yang menggunakan baju agama sebagai justifikasi dogmatis, tentu dengan target politik-kekuasaan sebagai tujuan akhirnya.  Jika demikian, pada dasarnya seorang fundamentalis sejati tidak lebih dari sekedar aktor politik (a political man) yang memanfaatkan simbol politik (political outlook), dan dalam kasus yang lain, ia tidak lebih dari seorang aktifis politik (a political activist) yang sama sekali abai terhadap etika keagamamaan dan harga diri. Jika demikian, Islam politik justru malah bisa bersifat destruktif, bukan dalam konteks bahwa ia akan mampu mengalahkan Barat (demokrasi liberal/budaya modernitas), namun lebih karena bisa berpotensi menciptakan ketidakseimbangan dunia dengan skala yang sangat massif.  Dalam hal ini, penegasan sekaligus kecaman atas watak intoleran dan pemahaman yang tektual dan cenderung menyimpang dalam konsep teologi kaum fundamentalis harus dilakukan oleh kaum kelompok moderat atau liberal. Termasuk juga tindakan kekerasan dan penyerangan terhadap para intelektual arab yang dianggap sebagai kelompok liberal yang berusaha dengan santun mengkritik sikap ortodoksi kaum fundamentalis. Misalnya dalam kasus pembunuhan yang menimpa salah satu penulis Arab bernama Faraq Fuda, pemenang Noble Prize Naguib Mahfouz, serta tuduhan murtad yang dialamatkan kepada salah satu inteketual Mesir, Nasr Hamid Abu-Zaid. Hal ini merupakan taktik terror yang dilancarkan kaum fundamentalis dengan memanipulasi pemahaman atas ayat-ayat al-Quran. Pasalnya, tidak ada satupun wahyu (ayat) al-Quran yang menjelaskan secara tersurat bahwa sangsi orang murtad (keluar dari islam) adalah dengan membunuhnya atau mencabut nyawanya. Perintah itu jelas tafsir yang tidak islami, dan pasti disalahgunakan kaum fundamentalis. Selain itu, jargon anti-barat yang sering menjadi propaganda kelompok fundamentalisme adalah sekedar upaya manipulasi publik. Kaum fundamentalis terus menancapkan pengaruh anti-barat ke dalam jantung kesadaran umat Islam di dunia. Mereka menggunakan segala cara termasuk menafsikran tradisi Islam klasik sesuai dengan kepentingannya, sembari menyepuhnya modernisme dengan simbol-simbol ortodoksi mereka. Ideologi-kuasa semacam ini jauh lebih berbahaya daripada para ektremis yang membunuh. Pasalnya, demi tujuan politik kekuasaan ini, mereka tidak segan-segan mengeliminasi seluruh ideologi dan konsep Negara-bangsa (nations- state) yang masih berkembang di dunia saat ini untuk kemudian digantikan dengan sistem Negara-Islam (versi mereka), persis seperti pada tahun 1648 M (Ottoman Empire). Selain itu, kaum fundamentalis tidak akan pernah mampu mewujudkan agenda politik mereka, meskipun suatu saat mereka mampu menciptakan instabilitas dunia dalam skala yang besar. Terlepas dari perdebatan teologis dikalangan para sarjana muslim, fundamentalisme agama bukanlah sebuah ekspresi kebangkitan agama, namun lebih sebagai agenda politik demi mewujudkan rezim baru. Visi ini tidak lebih dari sekedar kehendak dari rezim totalitarianisme (totalitarianism rule).  Dalam banyak kasus, visi ini akan menjadi tantangan yang sangat serius bagi penerapan demokrasi di era kita saat ini. Alih-alih mengurai kebangkitan fundamentalisme dari perspektif ekonomi, Tibi lebih cenderung melihat ini sebagai problem identitas (identity problems) sebagai salah satu factor kunci kebangkitan fundamentalisme, yakni akibat dari sikap traumatik sebagian dunia Islam ketika dipaksa untuk berhadapan dengan modernisme dan globalisme. 
Tentu saja, sudah banyak pergeseran pola gerakan dan strategi kaum fundamentalisme dalam upaya propaganda mereka demi mewujudkan Negara Islam, termasuk diantaranya gerakan fundamentalisme trans-nasional yang bahkan sudah menjangkau bilik-bilik pesantren di Indonesia.  

C. Pesantren dan Daur Ulang Fundamentalisme di Indonesia 
Berbagai aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, yaitu sejak aksi Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 sampai dengan Bom Masjid Adz Dzikro di Cirebon pada tanggal 15 April 2011, ternyata banyak melibatkan alumni pesantren, baik itu pesantren yang terkait dengan Jemaah Islamiyah (JI) seperti Pondok Pesantren Al- Mukmin Ngruki, Al-Muttaqien dan Darusy Syahadah di Jawa Tengah maupun pesantren yang tidak terkait dengan Jamaah Islamiyah (JI), seperti  Pondok Pesantren Al-Manar (pesantrennya Abdullah Sunata) dan Pondok Pesantren Al Hikmah, yang salah satu pengajarnya adalah Aman Abdurrahman, seorang pemimpin Jamaah Tauhid wal Jihad. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauhmana pesantren-pesantren salafi itu mengakomodasi cara-cara kekerasan? Penelitian Setara Institute tentang Islam Militant di Indonesia menunjukkan, sebagian dari gerakan radikal yang melibatkan alumni pesantren sejatinya tidak bisa dipisahkan dari benih-benih kelompok formalis yang memperjuangkan negara Islam di Indonesia semenjak era kemerdekaan. Mata rantai keterkaitan ideologisasi ajaran keagamaan pada era kontemporer dengan masa-masa awal kemerdekaan. Dengan demikian, meski ada beberapa alumni pesantren yang terlibat dalam radikalisme agama, belum bisa dijadikan sebagai pijakan kesimpulan bahwa pesantren adalah lembaga yang mentolelir tindak kekerasan, apalagi sebagai produsen kelompok militan yang akrab dengan pelbagai tindak kekerasan. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa alumni pesantren tidak semuanya menjadi agamawan, melainkan juga melahirkan alumni yang beragam. Disparitas alumni tentunya tidak bisa menjadi indikator ataupun ukuran bahwa sebuah lembaga hanya akan melahirkan satu jenis output, sementara menafikan lulusan-lulusan lainnya yang tidak kalah pentingnya dalam kiprahnya di tengah-tengah masyarakat. Pesantren Ngruki yang menjadi sorotan pelbagai kalangan, karena faktor Ba'asyir, sejatinya sama dengan pesantren lainnya yang melahirkan variant alumni, tidak saja agamawan, tetapi juga birokrat, akademisi, aktivis LSM, politisi, bahkan ada yang menjadi koresponden the Washington Post wilayah Asia Tenggara. Munculnya radikalisme di sebagian alumni pesantren memang bisa dihubungkan dengan mata ajaran serta kurikulum pengajaran yang diberikan di pesantren. Faktor lain yang memungkinkan beberapa alumni pesantren terlibat dalam radikalisme agama adalah faktor sentimen sesama muslim akan pelbagai ketidakadilan yang menimpa muslim di pelbagai wilayah konflik, terutama di Timur Tengah serta Asia Tengah dan Selatan. Di samping itu, interaksi alumnus pesantren dengan organisasi-organisasi keislaman yang literalis menjadi salah satu faktor keterlibatan alumni pesantren dalam lingkaran radikalisme. Faktor lain yang juga signifikan adalah ketidak berdayaan, baik secara sosial, kultural dan mungkin yang paling penting adalah ekonomi. Kondisi umat Islam yang secara makro berada di bawah tekanan-tekanan ketidakberdayaan tersebut menjadikan sebagian alumni pesantren tertarik dengan interpretasi literal akan terma jihad sebagai perlawanan fisik. Kematian melalui jalur jihad ini dianggap sebagai way out dari himpitan ketidakberdayaan. Meski harus juga disadari bahwa secara kuantitatif, alumni yang terjebak dlis tersebut tidaklah signifikan jika harus dibandingkan dengan mayoritas alumni dunia pesantren secara keseluruhan.  Namun demikian, dalam beberapa literatur, potensi pesantren radikal di Indonesia memang cukup besar, termasuk salah satunya di Cirebon. Di kabupaten ini ada 2 pesantren yang selama ini menjadi perhatian para peneliti, antara lain Pesantren Al-Muttaqien, Beber Cirebon yang terletak di Desa Patapan Kecamatan Beber. Pesantren ini terletak sangat terisolasi, yakni di sebidang tanah sawah pinggir jalan utama Cirebon-Kuningan yang di sekitarnya tidak ada pemukiman. Salik Firdaus, salah satu dari tiga pelaku bom bunuh diri dalam tragedi Bom Bali II tahun 2005, pernah mengajar di pesantren ini. Sholahuddin al-Ayubi, yang ditahan dalam penggerebekan polisi di tempat persembunyian di Wonosobo pada bulan April 2006, juga pernah mengajar di sana.  Indikasi Pesantren Al-Muttaqien sebagai potensi Islam garis keras tersebut misalnya disebutkan oleh ICG (International Crisis Group). Dalam laporan tertanggal 27 Agustus 2009 yang berjudul Indonesia: Noordin Top‟s Support Base itu ICG  menjelaskan jaringan teroris kelompok Nordin M. Top. Selain Al Muttaqien Beber (Cirebon), ICG juga menyebutkan beberapa sekolah dan pondok pesantren sebagai jaringan JI. Pesantren-pesantren itu antara lain Al Muttaqien (Jepara), Darusy Syahadah (Boyolali), Darul Manar (Kediri), Ma’had Aly An-Nuur (Solo), dan Darul Fitrah (Sukoharjo). Pesantren Al-Muttaqien hanya mendidik santri setingkat SMP (sekarang berjumlah 50 orang), yang setingkat SMA dipindahkan ke Pesantren Husnul Hadi Desa Panawuan Cilimus Kuningan.  Setelah Pesantren Al-Muttaqien Beber, yang harus disebut adalah Pesantren Nurul Hadid yang terletak di Desa Winduhaji Kecamatan Sedong Kabupaten Cirebon. Dalam sebuah dokumen disebutkan bahwa Pesantren ini merupakan Amal Usaha dari Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Umat Nurul Hadid yang beralamat di Jalan Mayor Sangun Jatibarang Indramayu.  Di Yayasan Nurul Hadid Jatibarang ini akan terlihat jaringannya dengan pesantren Al-Muttaqien Beber, yaitu Yayasan Nurul Hadid, di antara penasehatnya adalah Prof. Dr. H. Salim Bajri yang memiliki peran dalam pendirian Al-Muttaqin. Ustadz Abdul Muid yang adalah Ketua Yayasan Nurul Hadid Jatibarang, juga memiliki peran penting dalam pendirian Al-Muttaqin, dan Muhammad Salik Firdaus, pelaku bom bunuh diri Bali II, tercatat sebagai seksi Humas Yayasan Nurul Hadid, pernah mengajar di Al-Muttaqin dan tercatat sebagai tenaga pengajar sekaligus bendahara (tahun 2003-3004) Pesantren Nurul Hadid Winduhaji Sedong Cirebon. 
Pada tahun 2003, Pesantren ini mengasuh 16 orang anak asuh/santri yang berasal dari kalangan miskin dan anak yatim, di samping ratusan santri lain. Di pesantren ini juga terdapat satuan pendidikan formal yaitu Madrasah Aliyah (MA) Nurul Hadid. Terdapat sekitar 60 santri Pesantren Nurul Hadid (semuanya laki-laki) yang bersekolah di Madrasah Aliyah Nurul Hadid. Sekilas, karya-karya ulama yang menjadi rujukan pesantren salafi seperti ini adalah Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Abdullah bin Baz, Abu Rabi al-Madhkahli, Abdullah Azzam, dan banyak ulama Salafi Wahabi yang lain.  

D. Fundamentalisme: Kritik atas Modernisme? 
Secara garis besar, berbagai pendekatan para sarjana baik Islam maupun barat dalam memahami pesantren fundamentalis, khususnya di Timur Tengah dan Negara dunia ketiga, memiliki dua (2) skema yang perlu dicermati, yakni: Pertama, kajian kesarjanan islam dan Barat memotret kelahiran dan perkembangan fundamentalisme melulu berdasarkan konteks sosial dan ekonomi semata. Kedua, tren sebagian besar sarjana Islam dan Barat yang selalu memposisikan pesantren ini sebagai sebuah reaksi irrasional terhadap modernisme ala Barat. Untuk mengungkap dua skema tersebut kita dapat menggunakan teori politik komparatif (comparative political theory) dan politik penamaan (the politic of naming) untuk melakukan rekonstruksi perspektif.  Teori ini bisa digunakan untuk melihat fenomena pesantren fundamentalis melalui lokus pada sistem keyakinan (belief system) mereka sendiri. Sistem keyakinan dalam hal ini bisa dipahami sebagai sebuah pendekatan-kritis, jika ia adalah sebuah perilaku politik kaum foundasionalist atas diskursus rasionalisme Barat, sekaligus sebagai bentuk anti tesis terhadap perilaku politik Barat, khususnya paska masa pencerahan (post-enlightment).  Hal ini penting dilakukan untuk mendudukkan gagasan Islam fundamentalisme dalam kerangka teori trans-kultural. Dengan begitu, akan terungkap dimensi-dimensi “tak-tergali” dari pesantren fundamentalis, sambil membandingkannya secara sejajar dengan kegelisahan-kegelisahan para penganut Kristen fundamentalis, penganut post-modernisme, konservatisme maupun komunitarianisme terhadap karakter/tabiat pemikiran politik dan keterbatasan rasionalisme barat modern.  Jika demikian, bisa jadi gambaran diskursif rasionalis barat selama ini bersifat bias (refraction of discourse). Kita perlu mengapresiasi Michel Foucault yang mengenalkan relasi kuasa/pengetahuan (power knowledge), bagaimana modus sebuah diskursus dianggap menjadi lebih ilmiah-rasional oleh penguasa yang kemudian berubah menjadi perangkat, prosedur, dan kriteria pemahaman yang mengontrol, memproduksi image, memerintahkan serta mengukuhkan satu klaim kebenaran tertentu, sembari di saat yang sama mendiskualifikasi prosedur liyan sebagai sebuah irrasionalitas dan non-ilmiah.  Begitu juga dengan anggitan orientalisme Edward Said yang menyatakan bahwa orientalisme adalah salah satu episode yang menggambarkan hegemoni budaya (cultural hegemony), di mana image budaya dunia timur justru lebih banyak diproduksi dunia-barat berdasarkan watak ekterioritas-nya, dan bukan dari watak interioritas-nya. Dan ketika aspek ekterioritas ini berkorelasi dengan dominasi-kuasa barat, maka yang terjadi adalah fakta sebenarnya (the real is) tentang kebenaran dunia timur malah justru di kontol, dikendalikan, diproduksi oleh paradigma barat yang rasionalis positivistik. Melalui Foucult dan Said ini tampak bahwa gerakan politik Islam selama ini bisa dilihat sebagai respon intelektual atau pemikir muslim terhadap pengalaman ketertindasan atas kuasa dan dominasi barat yang telah berlangsung kurang lebih 200 tahun. Reaksi ini dapat mengambil pola dan bentuk yang sangat beragam, baik dari bentuk penerimaan, hingga penolakan total terhadap modernisme dan peradaban barat. Akan tetapi, gagasan utama tentang pemikiran politik Islam, sebagai sebuah respon perlawanan atas pemikiran politik barat menghadirkan tantangan tersendiri bagi para sarjana barat yang mengkaji karya-karya para pemikir dan ideolog muslim.  Secara lebih khusus, pemikiran sebagai sebuah bentuk “reaksi-perlawanan” ini kemudian melahirkan pembedaan antara corak pemikiran ideologi barat yang berkarakter rasional-modern dengan corak pemikiran ideologis Islam yang “irrasional” dan “tradisional”. Karena itu, sangat mudah bagi kita untuk mengidentifikasi para pemikir Islam ideologis-reaksioner yang beralih pada rasionalisme dan modernisme. Model seperti ini salah satunya dikembangkan oleh Bernard Lewis yang mengurai bahwa gambaran buruk keterbelakangan Islam itu merujuk pada bentuk riil atau imajinasi sejarah keagungan Islam di masa lampau. Meskipun banyak pula para akademisi dan para sarjana barat yang juga kurang menyetujui dengan pembedaan model ini, karena tentu bersifat diametral dan positivistik. Poin penting lain yang harus dicermati adalah klaim sepihak para akademi barat yang memposisikan pemikiran Islam dengan tipologi irrasional, sehingga hal ini seakan memberi lampu hijau bagi pemikir barat untuk menerjemahkan dan menjelaskan pemikiran Islam berdasarkan perspektif rasionalisme-modern secara arbitrer, khususnya menyangkut bangkitnya gerakan fundamentalisme Islam. Pembacaan bias ini pada akhirnya membuat para akademisi barat mengambil kesimpulan apriorik bahwa gerakan fundamentalisme, sebagai sebuah mekanisme respon lahir karena desakan “problem struktural” semata termasuk faktor kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik yang selama ini dihadapi masyarakat timur tengah. Hal ini menurut Euben tidak benar, karena semangat yang menjadi kekuatan gerakan ini, bagi penganutnya, selalu dijadikan visi-politik etis alternatif bagi modernisme dan globalisme saat ini.  Jika kita mampu memahami pola dan model transendensi pemikiran yang melampaui paradigma kaum rasionalis, maka pemikiran politik Islam it-self harus ditempatkan dan dipahami berdasarkan konteks dan status keilmuannya sendiri, atau dengan kata lain, ia harus dipahami dengan kerangka berfikir para penganutnya sendiri. Jika tidak, kita akan terjebak pada pembacaan yang sangat bias terhadap makna dan nilai gerakan ini karena kita tidak akan memperoleh fakta sebenarnya, melainkan tidak lebih gambaran palsu yang lahir dari refleksi pra-konsepsi apriorik kita sebelumnya. Jika demikian, analisis sosial yang dikembangkan kaum rasionalis-barat tidak mencukupi, sebab model ini hanya menggiring setiap pengkaji fundamentalisme Islam dalam khazanah intelektual sebagai sebuah epifenomena yang tidak membuahkan pengetahuan tentang visi universalitas etika politik gerakan ini. Tugas penting dalam hal ini adalah justru mengungkap makna atau nilai instrinsik visi dan misi kelompok fundamentalis tersebut. Model pembacaan yang dikembangkan Euben ini kiranya mampu membantu setiap pengkaji yang concern terhadap fundamentalisme Islam tidak sekedar sebagai jelajah akademik, tetapi juga bisa dipakai dalam kerangka proses pembentukan sikap dialogis antara pihak-pihak yang bersitegang. Tentang sistem etika kaum fundamentalis ini juga diakui misalnya oleh Bassam Tibi. Ia ia mengulas bahwa dunia barat sebaiknya melihat Islam sebagai sebuah sistem etika (ethical system) yang juga diyakini sebagian kaum fundamentalis; syariah bagi sebagian umat islam adalah ajaran yang diturunkan dari al-Quran dan Sunnah. Secara empiris, bagi sebagian kaum fundamentalis, konsep Negara-bangsa (nation-sate) adalah konsep yang memang berasal dari peradaban barat, yang mungkin dianggap asing dan western-minded. Kesalahpahaman inilah yang seringkali menjadi faktor pemicu berbagai ketegangan pada ranah konseptual dan berujung pada stigmatisasi, prasangka, dan saling curiga antara barat dan umat Islam. Ketegangan ini  menurut Tibi harus dijembatani dengan upaya dialog yang intensif dan terbuka antara kedua belah pihak, sehingga berbagai prasangka antara kedua belah pihak bisa semakin dieliminasi. Basis argumentasi inilah yang perlu kita gunakan untuk memahami dan menggali tema nasionalisme dalam pemikiran politik Qutb dan Hassan al-Banna berdasarkan karya-karya dari masing-masing pemikir ideologis Islam tersebut dan berdasarkan kerangka berfikir teks dan penulis itu sendiri, dan tidak memaksakan kandungan atau muatan teks karya tersebut masuk dalam kerangka teoretik yang bersifat pre-konsepsional positivistik.  Pertanyaan yang muncul kemudian adalah misalnya apakah Qutb dan al- Banna adalah tokoh pemikir gaek yang hanya releven untuk zaman keemasan Islam pra-modern mengutip kalimat Lewis, atau sebagai penganjur kritik post-modernisme atas modernitas (purveyors of a post-modern critique of modernity). Hal ini bisa terungkap jika kita merelakan diri untuk membaca secara lengkap gagasan dan idenya tanpa disertai pre-konsepsi awal. Secara khusus, kita perlu menggarisbawahi misalnya ajaran-ajaran Qutb dan al-Banna tentang visi nasionalismenya.  
Visi politik dan nasionalisme Qutb nampaknya tertuang dalam kitab Ma`alim fi al-Tariq (rambu-rambu jalan). Kitab ini menghadirkan konsep jahiliyyah modern dan beberapa gagasan lain seputar kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), ilmu pengetahuan (science), epistemologi, gender, dan ras, termasuk visi etika politik Islam yang kemudian menjadi salah satu dasar perjuangan pendirian Negara Islam (Islamic state). Pemikiran Qutb mampu melewati batas wilayah kebangsaan di dunia Islam sejak Maroko hingga ke Indonesia, dan berkat ide-ide kontroversialnya terhadap negara Mesir, ia selanjutnya dieksekusi mati di tiang gantungan oleh pemerintahan Gamal bin Abd an-Nasser pada 1966.  Etika politik Qutb dalam karya Ma‟alim fi at-Tariq inilah yang dijadikan basis gerakan revivalisme Islam oleh kaum Reformis, Islamis hingga kelompok Islam radikal-revolusioner, sejak Mesir sampai ke Indonesia. Kitab Ma‟alim fi at-Tariq ini merumuskan beberapa konsep tatanan dunia (world order) yang diperjuangkan, antara lain konsep tentang jahiliyah-modern dan masyarakat adil, kebebasan dan kesetaraan, gender dan ras, sains dan epistemologi, tindakan politik, moralitas dan politik, serta  Negara Islam.  Selain itu, kitab Ma‟alim fi at-Tariq ini juga mengupas tentang dasar-dasar pembentukan Negara Islam (Daulah Islamiyyah) sebagai tujuan perjuangan. Ia mengurai, kalimat pembuka dalam kitab ini adalah: “Saat ini manusia berada di tepi jurang kehancuran...”. Krisis multi-dimensional yang dihadapi umat manusia saat ini dipahami Sayyid Qutb secara religius, yakni sebagai bentuk penyimpangan sadar atas otoritas Tuhan dan martabat kemanusiaan it self. Salah satu tawaran solutif Qutb untuk mengatasi krisis ini adalah “desekularisasi sistem politik” dan menggantinya dari sistem politik pemerintahan manusia menjadi kedaulatan Allah (hakimiyya), atau dengan kat lain, dengan mendirikan negara Islam di bawah pimpinan seorang Khalifah yang menjalankan urusan negara berdasarkan semangat al-Quran, Sunnah dan Tradisi generasi salafus al-shaleh awal.  Dalam sistem hakimiyyah ini, tujuan paling penting adalah ketundukan total manusia pada kehendak dan otoritas Allah Swt, keadilan sosial, pembatasan kekayaan, redistribusi kekayaan dan gaji minimum. Dalam arti, penekanan pada prinsip ketakwaan dan kesederhanaan hidup sebagai solusi keluar dari krisis. Tentu saja, gagasan ini sangat menantang, namun terkadang dalam perwujudan-praktisnya hampir tak terpraktekkan. Meskipun demikian, Qutb telah berhasil merumuskan arah perjuangan dan telah menjadi Ideolog para pejuang Negara Islam di belahan bumi manapun termasuk di Indonesia. Jadi, pemikiran dan visi politik Qutb tidak dapat dipahami melalui “bahasa irrasionalisme” atau “anti-modernisme” semata. Sebab ini adalah hasil ijtihad Qutb untuk menggabungkan dimensi metafisika dalam kontek politik yang sudah sejak lama diabaikan oleh para akademisi barat, yakni bagaimana merengkuh dimensi pemikiran non-rasional (embrace of the non-rational).  Lalu bagaimana Qutb jika disandingkan dengan pemikiran para intelektual barat termasuk Robert N. Bellah, Hannah Arendt, Alasdair MacIntyre, Daniel Bell, dan Richard John Neuhaus terkait kritik mereka atas modernism barat. Bellah misalnya menyebut modernisme dengan beragam sebutan, antara lain: budaya terapitik permissive (permissive theurapetic culture); budaya pemisahan (the culture of separartion); budaya individualisme radikal (the culture of radical individualisme). Hal ini tertuang dalam bukunya Habits of the Heart. Arendt menulis tiga esai yang mencoba mendudukan problematika modernisme, yakni: “What Is Authority”?; “Human Condition”; and “The Crisis in Education”.  Dalam tiga karya ini, Arendt banyak mengkritik kuasa otoritas yang selama ini diproduksi dan dipahami dunia barat, baik dalam dirinya maupun sebagai perpektif eksterior untuk melihat dunia ketiga.  Jika demikian, pemikiran Qutb juga memiliki banyak kesamaan dengan para pemikir barat di atas. Titik kesamaan ini bisa kita lacak dalam konsep mereka tentang kehancuran sebuah komunitas (dissolution of community), dampak invidualisme (excesses of individualism), hilangnya makna dalam masyarakat modern (the loss of meaning in modern society). Meski dua kubu ini memiliki concern yang sama, namun solusi dari masing-masing tentu tetap berbeda. Terlepas dari perbedaan perspektif dintara mereka, yang perlu digaris bawahi dari pendekatan teori politik komparatif dan politik penamaan ini terungkap bahwa fundamentalisme Islam tidak semata berdasarkan konteks sosial-ekonomi dan budaya, namun berdasarkan pada semangat kritis atas rasionalisme, modernisme dan globalisme yang terus berupaya mendefinisikan dan memproduksi liyan berdasarkan perspektif mereka sendiri.  

E. Pesantren Moderat: The Last Hope?  
Jika kita kembali pada sejarah, ciri khas pesantren moderat secara umum adalah keteguhannya dalam pelestarian budaya. Sejarah panjang pelestarian budaya lokal dalam konteks Islamisasi di nusantara bisa dilacak dalam kiprah Walisongo yang menjadi inspirator sekaligus model pendidikan dan pengajaran pesantren. Cara- cara persuasif yang digunakan Walisongo dalam menyebarkan Islam serta penghormatannya terhadap budaya lokal Hindu Budha di sebagian wilayah di Jawa, misalnya, menjadi indikator kuat akan akulturasi hidup berdampingan secara damai.  Proses yang demikian sekaligus menunjukkan adanya model Islam kultural, di mana ulama, para pemimpin pesantren moderat sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal dengan cara mensubordinasi nilai-nilai budaya tersebut ke dalam nilai-nilai Islam.  Prinsip pelestarian budaya lokal yang dikembangkan dunia pesantren moderat ini mengingatkan tentang etika global yang dikembangkan oleh Hans Kung, agamawan Jerman kontemporer yang mengembangkan dialog dengan memperhitungkan nilai-nilai lokal. Dengan jargon yang dikampanyekan yakni “tidak hanya kebebasan, tetapi juga keadilan, tidak saja persamaan melainkan juga pluralisme, tidak saja persaudaraan laki-laki, tetapi juga perempuan, tidak saja berdampingan, tetapi juga kedamaian”.  Dari sini terlihat bahwa dunia pesantren memiliki perhatian tinggi terhadap nilai-nilai yang disebutkan dalam kutipan di atas. Budaya lokal yang diadopsi oleh komunitas pesantren, misalnya menjadi indikator akan adanya upaya peaceful building dari komunitas pesantren. Di samping itu, pelestarian budaya juga terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Pelajaran yang ditawarkan dalam lembaga pesantren merupakan literatur kitab kuning yang dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut dan langsung berkaitan dengan religiusitas. Kitab-kitab klasik melambangkan the right tradition dan memelihara ilmu-ilmu agama yang telah diijazahkan secara luas kepada masyarakat Islam oleh para ulama besar pada masa terdahulu.  Secara kependidikan, fungsi materi-materi yang diberikan di pesantren adalah untuk memberikan akses kepada para santri, tidak hanya warisan masa lalu, tetapi juga pada peran-peran langsung masa depan, terutama untuk keseimbangan kosmologi kehidupan yang menekankan perdamaian dan harmoni dengan Tuhan, masyarakat dan alam.  Melihat kepada kurikulum yang diajarkan di pesantren pada umumnya, sejatinya dapat disimpulkan bahwa santri mendapatkan bekal keilmuan keagamaan yang senantiasa inklusif, bukan eksklusif. Di pelbagai pesantren salafiyah syafi‛iyyah yang besar, seperti Tebu Ireng Jombang, Lirboyo dan Ploso di Kediri, Asembagus serta pelbagai pesantren moderat lainnya, mata pelajaran yang paling menonjol adalah fikih dan ushul fikih, di samping perangkat-perangkat keilmuan keislaman lainnya.  Meski diajarkan pemikiran fikih madhab Syafi‛i yang ketat, dalam kenyataannya, semenjak awal santri telah diperkenalkan dengan pelbagai varian pendapat. Hal ini secara sadar sebagai upaya mentradisikan toleransi perbedaan pendapat. Pluralitas dalam wilayah fikih ini juga ditopang dengan tradisi tasawuf pesantren yang juga amat toleran berdasarkan kearifan lokal. Misalnya, Kyai Asnawi Kudus semasa hidupnya, meski telah banyak menuntut ilmu di Mekkah, namun beliau masih teguh memelihara tradisi masyarakat Kudus yang tidak menyembelih sapi, serta melestarikan bangunan mesjid Menara Kudus yang bentuknya mirip dengan tempat ibadah umat Hindu. Di sisi lain, warisan budaya dan prinsip toleransi seperti ini harus terus dilanjutkan bersama, sehingga situasi ini pada nantinya akan mendorong komunitas pesantren moderat untuk terus mengembangkan Islam yang humanis dan jauh dari muatan fundamentalisme atau paham terorisme. Dengan demikian posisi pesantren moderate sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakter budaya harus terus didorong sebagai filter internal bagi pesantren-pesantren yang cenderung menghalalkan tindakan dan aksi kekerasan dan terorisme atas nama Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar