Makalah Tantangan Pendidikan Islam Dalam Kontek Global

Makalah Tantangan Pendidikan Islam Dalam Kontek Global. Semoga makalah berikut ini dapat bermanfaat dan membantu anda dalam megerjakan tugas makalah anda.

A. Pendahuluan
Globalisasi adalah sebuah fenomena kompleks yang telah memiliki efek luas. Tidak mengherankan, jika istilah, "globalisasi" ini telah memperoleh konotasi arti yang banyak. Di satu sisi, globalisasi dipandang sebagai kekuatan yang tak tertahankan dan jinak untuk memberikan kemakmuran ekonomi kepada orang-orang di seluruh dunia. Di sisi lain, ia dituding sebagai sumber dari segala penyakit kontemporer.
Era globalisasi yang ditandai dengan kompetisi mutu menuntut semua pihak dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan untuk senantiasa meningkatkan kompetisi. Era pasar bebas, atau yang biasa disebut dengan era globalisasi sering didengungkan oleh para pemerhati ekonomi sejak beberapa dekade lalu hingga sekarang ini. Pada era globalisasi tersebut pengetahuan dan teknologi yang merupakan sumber bahan untuk dipelajari berkembang demikian cepat, sehingga dalam kondisi yang demikian tuntutan terhadap kualitas sumber daya manusia sangat di prioritaskan, dan jika kita perhatikan bahwa di  era globalisasi ini yang dibutuhkan adalah bagaimana diri kita dapat diterima keberadaannya di belahan dunia manapun.
Globalisasi pada competition perspektif  bahwa negara-negara akan tetap survive apabila mampu berkompetisi, karena di era globalisasi ini telah terjadi ekonomi dunia yang bebas dan tanpa batas. Globalisasi ekonomi semakin meningkat intensitasnya yang mengakibatkan persaingan di anatara negara-negara semakin keras dan ketat. Persaingan yang ketat antar negara dan indivu dampaknya mengakibatkan penyakit jiwa yang kronis, sehingga menambah permasalah semakin rumit. Dewasa ini sudah menjadi kesepakatan umum bahwa, hanya negara-negara yang memiliki keunggulanlah yang dapat bertahan dalam persaingan glabal tersebut. 
Globalisasi sebagai sebuah proses mempunyai sejarah yang panjang. Globalisasi meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan  dinilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta  pembangunan dengan sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme merupakan sebuah nilai budaya.
Terjadinya era globalisasi memberi dampak ganda; dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan. Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama yang seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka konsekuensinya akan merugikan bangsa kita.
Oleh karena itu, tantangan kita pada masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter, dengan mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa kita.
Terjadinya perdagangan bebas harus dimanfaatkan oleh semua pihak dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, di mana pendidikan diharuskan mampu menghadapi perubahan yang cepat dan sangat besar dalam tentangan pasar bebas, dengan melahirkan manusia-manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut.
Pada persaingan globalisasi saat ini, ada beberapa problematika pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa kita, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Dalam rumusan kebijakan pemerintah dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai alat pembangunan Nasional, namun dalam realitas terlihat bahwa kebijakan pendidikan masih cenderung sebagai alat kekuasaan yang belum menjadi prioritas pembangunan.
2. Paradigma pendidikan baru dikatakan berhasil jika memenuhi kepentingan dan harapan kekuasaan, bukan pada tuntutan perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan  serta bukan kebutuhan masyarakat secara kompetitif.
3. Tugas utama pendidikan dirumuskan bukan sebagai perintis masa depan yang mengacu pada prinsip-prinsip profesional, tetapi sebagai usaha mewariskan masa lalu (status quo) dan berada pada ruang kegiatan rutinitas belaka.
4. Kebijakan perubahan kurikulum tidak diuji dari dasar kebutuhan (need assesment) di lapangan, tetapi atas dasar kajian, dan kemauan birokrasi dengan mendapat pembenaran oleh para pakar yang ditunjuk oleh birokrasi tersebut.
5. Lembaga pendidikan berorientasi pada persaingan ekonomi global, yaitu lebih mengutamakan kuantitas (jumlah) siswa daripada kualitas. Sehingga terjadi penggemukan kelas yang mengakibatkan  output yang buruk.
6. Pasar kerja bagi lulusan sekolah masih sangat labil, khususunya Sekolah Menengah dan Kejuruan, sehingga setiap tahun pengangguran lulusan sekolah terus menurus bertambah.
Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya upaya peningkatan mutu pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dan secara kontinyu agar dapat digunakan sebagai wahana dalam membangun pribadi dan watak bangsa (nation character building) serta agar dapat mengelola dan menyusaikan dengan perkembangan globalisasi  melalui arus informasi ini, yang akhirnya pendidikan mampu berkembang secara produktif dan kreatif.  Oleh sebab itu, pendidikan sebagai aset bangsa yang paling berharga karena merupakan modal untuk membangun bagsa ini.
Perkembangan pendidikan di Indonesia  di era globalisasi dengan segala dinamikanya sungguh menarik untuk dicermati, karena pendidikan dituntut supaya memberikan yang terbaik untuk melahirkan suber daya manusia (SDM) yang kompeten untuk dipergunakan sebagai modal persaingan global yang setiap saat menekan kehidupan bangsa.  Eksistensi pendidikan ini harus dipaksa maju, jika hal ini tidak segera dilakukan globalisasi akan menggilas bangsa ini.
Jika kita mengamati keadaan dunia pendidikan saat ini sedang digoncang issue dan berbagai tuntutan serta tekanan perubahan kebutuhan masyarakat global, serta ditantang supaya dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan global yang terjadi begitu pesat.  Perubahan global meminta perubahan di dalam mengelolaan dan pengolahan hidup masyarakat, pendidikan harus dijadikan tumbal untuk menjawab keadaan pasar global.  Jika keadaan pendidikan bisa dipaksa dan terfokus pada kubutuhan pasar global, tentu tantangan globalisasi dapat kita atasi secara cepat, dan peluang pasar global dapat segera dinikmati oleh segenap masyarakat.  Keberadan pendidikan yang berorientasi pada pasar global dapat tercapai, tentu membutuhkan berbagai konsep dan teori yang jitu.  Oleh sebab itu pergolakan ini harus segera dirumuskan secara seksama, agar tujuan pendidikan mampu berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.

B. Teori Globalisasi
Globalisasi kata serapan  berasal dari bahasa  Inggris globalization yang berakar kata global yang artinya mencakup atau meliputi seluruh dunia globalisasi juga dimaknai penyempitan dunia, sebab dunia seakan menjadi satu kesatuan tanpa batas, yang memendorong manusia untuk berorientasi dan mentransformasi peradapan dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi dan revolusi informasi. Secara lebih jauh akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan bangsa di dunia termasuk Indonesia. 
Globalisasi dapat juga didefinisikan sebagai pengaturan dunia secara luas berdasarkan pada sebuah keyakinan terhadap sistem perdagangan sebagai sebuah pertukaran kontrol, dan pada kebebasan investasi pasar modal, yakni perpindahan sektor modal publik ke sektor swasta. (Fontana, 1999:367)  Globalisasi juga dipahami menjadi bagian yang homogen pada kekuatan ekonomi di setiap negara, meliputi negara-negara dalam dalam hembusan badai pasar global, dan dipaksa memotong pengeluaran publik dan mendorong persaingan ketat perusahaan swasta.(Tonna, 2007:2)
Untuk ulama yang berbeda, definisi globalisasi mungkin berbeda. Menurut Cheng, mungkin merujuk pada adaptasi perkembangan transfer, dan nilai-nilai, pengetahuan, teknologi, dan norma-norma perilaku di seluruh negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia. Fenomena khas dan karakteristik yang terkait dengan globalisasi termasuk pertumbuhan jaringan global (misalnya internet, dunia e-lebar komunikasi, dan transportasi), transfer global dan interflow dalam bidang teknologi, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan belajar, aliansi internasional dan kompetisi , kerjasama dan pertukaran internasional, global village, multi-budaya integrasi, dan penggunaan standar internasional dan benchmark. 
UNDP dalam Human Development Report (1999) menggambarkan globalisasi sebagai meningkatnya saling ketergantungan penduduk dunia, pada tingkat ekonomi, teknologi, budaya, maupun politik. Hal ini dipandang sebagai kecenderungan umum terhadap liberalisasi perdagangan ekonomi, sirkulasi yang lebih luas dari modal, barang dan produk, dan penghapusan kuasi-perbatasan nasional. Kecepatan komunikasi dan biaya yang relatif rendah pengolahan informasi telah menyebabkan jarak untuk dihilangkan. Kategori-kategori ruang dan waktu telah benar-benar terbalik. Model konsumsi, nilai-nilai, dan produk-produk budaya standar sehingga cenderung untuk membuat perilaku dan sikap lebih mirip dan menghapus perbedaan di seluruh dunia.
Merujuk pada kondisi aktual yang merupakan satu kenyataan bahwa globalisasi harus dipahami sebagai kecenderungan, yakni kecenderunagn terjadi proses hubungan sosial dan ekonomi seluruh dunia yang menghubungkan lokasi yang jauh satu sama lain secara intensif, sehinga kejadian-kejadian di satu tempat berpengaruh dan terjadi di tempat lain.
Jadi, istilah globalisasi dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk merujuk pada kebijakan ekonomi dan menguatkan keyakinan pemerintah, organisasi perdagangan, sistem lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.  Oleh sebab itu globalisasi diartikan sebagai fenomena untuk melihat deskripsi penggunaan istilah dan globalisasi sebagai keyakinan untuk pada fungsi yang menentukan peluang.
Globalisasi sebagai fenomena dan keyakinan dapat mempengaruhi pendidikan.  Para filosof pendidikan dan pendidik berbeda pendapat pada tedensi dan trand globalisasi.  Dalam hal ini ada tiga kelompok yang mewakili berbedaan tersebut, yaitu :
Pertama, ada yang bersikap kritis positif tentang fenomena globalisasi dan pengaruhnya dalam pendidikan.  Surian (2010) dan Jarvis (2005) berpendapat bahwa globalisasi memiliki pengaruh positif pada pendidikan apabila peneliti selalu kritis terhadap perkembangannya, karena globalisasi dapat membawa dan menyatukan orang-orang yang memiliki perbedaan, baik dari aspek ras, suku, bahasa, agama dan lain sebagainya.  Ide dan sumber daya di seluruh dunia sangat cepat dan mudah untuk diakses.  Hal ini memberikan peluang baru bagi peneliti untuk pendidikan dan penelitian.
Kedua, ada yang bersikap pesimis dalam melihat globalisasi ini.  Anggapan mereka yang pesimis ini didasari oleh teori akhlaq, sebab cepatnya informasi media akan berdampak pada ketidaksiapan publik dalam menghadapinya.  Baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, agama dan lain sebagainya.
Ketiga, ada yang mendukung langsung dengan globalisasi, meraka memiliki keyakinan bahwa pendidikan akan diberi tempat yang istimewa dalam melihat fenomena globalisasi, sebab pendidikan merupakan aset yang sangat menguntungkan.  Pendidikan merupakan komoditi yang bisa dijual di belahan dunia manapun. .(Kellner, 2005:111)
Menanggapi keragaman pernyataan para pakar tersebut, berfokus pada kebutuhan peserta didik sendiri pada sistem pendidikan mempromosikan marketisation dari sistem pendidikan, di mana pendidikan dianggap sebagai jenis komodititas yang akan dijual, dibeli dan dikonsumsi dengan menggunakan pasar global sebagai tempat negosiasi penetapan pendidikan. (Hartley, 2002:251).  Pendidikan merupakan harapan pasar ekonomi dan kebutuhan pasar global.  Misalnya, penyediaan bidang studi yang dibutuhkan pasar domestik hingga yang menjadi trand bagi kebutuhan pasar global.  Hal ini amat penting untuk dicermati, agar output pendidikan benar-benar terjual dan bersaing di pasar global.

C. Dampak Positif dan Negatif Globalisasi
Globalisasi tampaknya tidak dapat dihindarkan oleh berbagai negara, banyak inisiatif dan upaya telah dilakukan untuk beradaptasi dengan globalisasi, hal ini dilakukan bertujuan mengambil peluang yang diciptakan dari itu untuk mengembangkan potensi masyarakat luas, dalam beberapa tahun terakhir ada juga peningkatan kekhawatiran internasional dengan dampak bahaya globalisasi terhadap perkembangan adat dan nasionalisme. Berbagai gerakan sosial telah dimulai oleh negara-negara maju terhadap ancaman globalisasi khususnya di negara-negara berkembang. Dampak negatif dari globalisasi meliputi berbagai jenis penjajahan ekonomi, politik, pendidikan dan budaya oleh. Tak pelak lagi, mereaka berpikir keras agar bagaimana memaksimalkan peluang dan manfaat dari globalisasi untuk mendukung perkembangan lokal dan mengurangi ancaman dan dampak negatif dari globalisasi, hal ini merupakan pekerjaan besar yang  menjadi perhatian utama negara-negara berkembang.( Sadegh, 1995:96)
Seperti disebutkan di atas, globalisasi adalah menciptakan kesempatan untuk berbagi pengetahuan, teknologi, nilai-nilai sosial, pendidikan dan norma-norma perilaku serta perkembangan, mereka mempromosikan diri pada tingkat individu, organisasi, masyarakat, dan warga di berbagai negara.  Konsep yang mereka usungpun beragam, dan memiliki corak pasar yang bersaing. (Cheng, Y. C. (2000) and Brown, T. (1999). 
Secara khusus, keuntungan dari globalisasi dapat meliputi :
1. Penguasaan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan aset intelektual yang diperlukan untuk beberapa perkembangan pada tingkat yang berbeda
2. Dukungan mutu, melengkapi dan menguntungkan supaya menghasilkan sinergi untuk pengembangan berbagai negara, masyarakat, dan individu
3. Menciptakan nilai dan meningkatkan efisiensi melalui berbagi mobilisasi global atas dan saling mendukung untuk melayani kebutuhan lokal dan pertumbuhannya.
4. Mempromosikan pemahaman internasional, kerjasama, harmoni, dan penerimaan terhadap keanekaragaman budaya di seluruh negara dan wilayah
5. Memfasilitasi komunikasi, interaksi, dan mendorong multi-budaya kontribusi pada tingkat yang berbeda antar negara. (ILO : 2004 ) 
Pada saat yang sama, globalisasi, berpotensi menciptakan dampak negatif serius bagi negara berkembang dan negara terbelakang. Ini juga merupakan alasan utama mengapa ada begitu banyak gerakan sosial yang sedang berlangsung di berbagai belahan dunia terhadap kecenderungan globalisasi khususnya di bidang ekonomi, politik dan pendidikan. Dampak negatif dari globalisasi berbagai aspek, di antaranya penjajahan politik, ekonomi, pendidikan dan budaya, dan memiliki pengaruh besar terhadap negara-negara maju ke negara-negara berkembang dan meningkat pesat kesenjangannya, antara daerah kaya dan daerah miskin di berbagai belahan dunia. Secara khusus, dampak negatif potensial meliputi:
1. Meningkatkan kesenjangan teknologi dan digital membagi antara negara maju dan negara-negara kurang berkembang
2. Menciptakan peluang yang sah lebih untuk negara-negara maju untuk beberapa bentuk baru penjajahan negara-negara berkembang
3. Meningkatkan kesenjangan dan konflik antara daerah dan budaya
4. Mempromosikan nilai-nilai budaya yang dominan (budaya negatif) dari beberapa daerah maju.

D. Pendidikan Islam di Era Globalalisasi
Pendikan merupakan faktor utama yang dapat dijadikan referensi utama dalam rangka membentuk generasi yang dipersiapkan untuk mengelola dunia global yang penuh dengan tantangan.  Demikian pula pendidikan Islam yang bercita-cita membentuk insan kamil yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan sunnah. Secara lebih spesifik pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Sehingga pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri dan dibangun dari al-Qur’an dan Hadits. 
Dengan memperhatikan pendefinisian diatas, pendidikan Islam sebagai upaya pengejawantahan nilai-nilai al-Qur’an dan Hadits, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam berupaya menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt yang di berikan kepadanya amanat sebagai ‘abd dan juga menjadi khalifah di muka bumi. Secara lebih khusus, pendidikan Islam bermaksud untuk :
1. Memberikan pengajaran al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
2. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran tersebut bersifat abadi.
3. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan yang ada dalam masyarakat dan dunia.
4. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis iman adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
5. Menciptakan generasi yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6. Mengembangkan manusia islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal. 
Jika mengingat betapa luhur tujuan pendidikan Islam tersebut, sudah menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk kembali kepada khiththah pendidikan Islamnya. Apalagi keberadaan pendidikan Islam di era globalisasi ini harus mampu menjadi mitra perkembangan dan pertumbuhannya, bukan menjadi counter attack yang justru akan berseberangan dengan semakin pesatnya kemajuan. Sebab, era ini akan terus berjalan maju dan tidak akan mengenal siapapun yang akan menjadi penikmatnya, dan kemajuannya akan mampu menggilas dan menggerus apapun yang menghalanginya. Seperti yang telah diungkapkan oleh Mc. Luhan bahwa manusia mesti merasa berada dalam suatu pesawat antariksa yang sama, yaitu bernama planet bumi. Dimana tak ada yang sekedar berstatus penumpang namun semua adalah awak kapal. Manusia harus menyadari keberadaannya dalam teater bumi, dimana tak ada yang hanya jadi penonton tapi semuanya menjadi pelakon.( Bambang, 2010 )Hal ini  merupakan sebuah fenomena yang nyata terjadi di era digital informasi yang menjadikan dunia ini terasa sempit. Maka pendidikan Islam seharusnya membuka wacana sebuah pendidikan global yang mampu mengantarkan generasi muslim pada sebuah peradaban modern. 
Adapun konsep pendidikan global tersebut atau yang disebut juga multi cultural education yang mana pendidikan berpandangan tentang masalah yang mendunia. Dengan berpandangan bahwa upaya menanamkan pandangan dan pemahaman tentang dunia kepada peserta didik dengan menekankan pada saling keterkaitan antar budaya, umat manusia dan planet bumi. Pendidikan global menekankan pada peserta didik berfikir kritis dengan fokus substansi pada hal-hal yang mendunia yang semakin bercirikan interpendensi, serta bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, skill, dan sikap yang diperlukan untuk hidup di dunia yang sumber dayanya kian menipis, ditandai keragaman etnis, pluralisme budaya dan saling ketergantungan. (Winarno, 2011) Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya sebagai penerima informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi itu, yakni manusia yang kreatif dan produktif. 
Bersamaan dengan konsep pendidikan Islam di era global tersebut, perhatian prinsip pendidikan Islam juga haruslah mengarah pada bagaimana konsep kemasyarakatan yang cakupannya sangatlah luas. Konteks makro pendidikan tersebut yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya, sehingga pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat [learning society]. Yakni hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Hal ini menjadi perhatian khusus karena demi pencapaian masyarakat madani yang sanggup berada di tengah percaturan dunia global.
Demi mewujudkan masyarakat madani tersebut, terdapat 10 (sepuluh) prinsip pendidikan Islam di era globalisai ini, yaitu :
1. Pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain. Sistem pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. 
2. Pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha.
3. Prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan. 
4. Prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.
5. Dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik.
6. Prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat madani Indonesia. Maka, pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan.
7. Prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. 
8. Prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan. 
9. Prinsip pendidikan multikultural. Sistem pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif.
10. Pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global. 

E. Aspek Kelemahan Pendidikan Dan Solusinya Di Era Globalisasi 
Pemerintah, sebagai pemegang kebijakan pendidikan seharusnya memberikan sumbangan yang besar dalam mensukseskan program pendidikan.   Sebab di antara kelemahan-kelemahan sistem pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya politcal will pemerintah dalam menangani permasalahan pendidikan ini.
Menurut Arief Rahman, setidaknya ada sembilan titik lemah dalam aplikasi sistem pendidikan di Indonesia:
1. Titik berat pendidikan pada aspek kognitif
2. Pola evaluasi yang meninggalkan pola pikir kreatif, imajinatif, dan inovatif
3. Sistem pendidikan yang bergeser (tereduksi) ke pengajaran
4. Kurangnya pembinaan minat belajar pada siswa
5. Kultur mengejar gelar (title) atau budaya mengejar kertas (ijazah).
6. Praktik dan teori kurang berimbang
7. Tidak melibatkan semua stake holder, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah
8. Profesi guru/ustadz sekedar profesi ilmiah, bukan kemanusiaan
9. Problem nasional yang multidimensional dan lemahnya political will pemerintah.
Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan pendidikan tersebut, diperlukan kerjasama pelbagai pihak. Tidak hanya institusi pendidikan tetapi pemerintah juga harus serius dalam menangani permasalahan ini agar SDM Indonesia memperoleh rating kualitas pendidikan yang memadai. Untuk itu hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Orientasi pendidikan harus lebih ditekankan kepada aspek afektif dan psiko motorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam  mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan aspek kognitif (pengetahuan).
2. Dalam proses belajar mengajar guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik.
3. Guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka. Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer of knowledge  tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and skill, serta pembentukan karakter (caracter building).
4. Perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi.
5. Harus ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (process oriented), di mana proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau titel di kalangan praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang harus dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan pengetahuan, kadar intelektualitas, dan  kompetensi keilmuan dan keahlian yang dimilikinya.
6. Sistem pembelajaran pada sekolah kejuruan mungkin   bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum. Yaitu dengan menyeimbangkan antara  teori dengan praktek dalam implementasinya. Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia kerja.
7. Perlunya dukungan dan partisipasi komprehensif terhadap praktek pendidikan, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap dunia pendidikan terutama masyarakat sekitar sekolah, sehingga memudahkan akses pendidikan secara lebih luas ke kalangan masyarakat.
8. Profesi guru seharusnya bersifat ilmiah dan benar-benar “profesional”, bukan berdasarkan kemanusiaan. Maksudnya, guru memang pahlawan tanpa tanda jasa namun guru juga seyogianya dihargai setimpal dengan perjuangannya, karena itu gaji dan kesejahteraan guru harus diperhatikan pemerintah.
9. Pemerintah harus memiliki formula kebijakan dan konsistensi untuk mengakomodasi semua kebutuhan pendidikan. Salah  satunya adalah memperhatikan fasilitas pendidikan dengan cara menaikan anggaran untuk pendidikan minimal 20-25 % dari total APBN. Di sini diperlukan political will kuat dari pemerintah dalam menangani kebijakan pendidikan.
Jika kita mau jujur, berbagai kelemahan pendidikan kita seperti disebutkan di atas, pada dasarnya bertitik tolak pada lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada. Padahal, SDM merupakan faktor utama yang menjadi indikator kemajuan suatu bangsa, di samping faktor sumber daya alam (SDA) (hayati, non hayati, buatan), serta sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan negara-negara Barat adalah didukung oleh peningkatan   kualitas sumber daya manusia, dan hal itu berhubungan dengan pendidikan sebagai wahana pembentukan SDM.
Jadi, permasalahan lemahnya SDM Indonesia pada dasarnya berawal dari rendahnya  tingkat pendidikan, lemahnya keahlian dan manajemen serta kurangnya penguasaan teknologi. Lemahnya SDM menyebabkan Indonesia kurang  mampu bersaing dengan negara-negara lain, padahal secara fisiografis Indonesia termasuk negara yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi sayangnya tidak dikelola dengan baik karena kualitas SDM-nya yang kurang mendukung.
Sistem pendidikan sangat bergantung pada mutunya, seperti juga halnya barang dikatakan berkualitas dan mempunyai nilai jual yang tinggi karena memiliki mutu yang bagus. Ironis memang jika kita melihat nasib institusi pendidikan di Indonesia berdasarkan mutu pendidikan  yang berada pada urutan terakhir di antara 12 negara Asia yang diteliti oleh The Political and Eonomic Risk Consultancy  (PERC) tahun 2001, jauh di bawah Vietnam.  Hasil survei PERC itu mengacu pada tingkat kualitas lulusan pendidikan kita, dengan argumentasi, untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas tentunya sistem pendidikannya pun harus berkualitas.
Sistem pendidikan yang tidak berkualitas mempengaruhi rendahnya SDM yang dihasilkan, yang pada gilirannya tidak mampu membawa bangsa ini “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan bangsa lain. Lemahnya SDM pendidikan sebagai ekses sistem pendidikan yang tidak berkualitas, memunculkan fenomena masyarakat pekerja (worker society) bak jamur di musim hujan. Ini tentu berbeda dengan sistem pendidikan yang baik, yang memproduksi employee society.
Orientasi employee society harus dikedepankan dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja ahli di bidang penguasaan teknologi. Karena pada milenium ketiga ini kita dihadapkan pada perubahan besar di bidang ekonomi, Iptek dan sosial budaya.  Jika pendidikan berkiblat pada Jepang dan Korea Selatan tentu akan memiliki mental juang yang bagus, walaupun kedua negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA), tetapi karena dukungan SDM yang kuat, kedua negara Asia Timur itu menjadi pioneer ekonomi dunia, khususnya di kawasan Asia.  Dalam konteks ini, masyarakat Jepang menurut memiliki lima karakteristik khusus dalam sikap dan prilaku yang dipandang sebagai akar kekuatan bangsanya, yaitu:
1. Emulasi. Yaitu hasrat dan upaya untuk menyamai atau melebihi orang lain. Orang Jepang, baik selaku perorangan atau sebagai warga negara memiliki dorongan untuk tidak ketinggalan oleh orang, kelompok, atau bangsa lain.
2. Consensus. Yaitu kebiasaan masyarakat Jepang untuk berkompromi, bukan konfrontasi. Budaya kompromi ini menimbulkan rasa keterlibatan masyarakat yang kuat terhadap kepentingan bersama. Budaya inilah yang menjadi pengikat kuat yang menjadi pengikat dasar (root bindting) kehidupan masyarakat Jepang.
3. Futurism. Yaitu mempeunyai pandangan jauh ke depan, masyarakat Jepang mempunyai keyakinan bahwa harkat individu akan naik apabila seluruh kelompok atau bangsa naik. Oleh karena itu kemajuan dan keberhasilan kelompok, masyarakat dan bangsa sangat diutamakan dalam upaya meningkatkan kemajuan individu.
4. Kualitas. Mutu  adalah jaminan kualitas. Artinya dalam setiap proses dan hasil produksi di Jepang, mutu menjadi faktor penarik (full factors).
5. Kompetisi. Artinya sumber daya manusia dan produk bangsa Jepang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam tata kehidupan dan tata ekonomi global.

F. Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era Globalisasi 
Fenomena yang terbangun dengan munculnya era globalisasi  telah memberikan berbagai macam problem baik tentang bagaimana informasi yang terus berkembang tanpa pandang bulu dapat diserap atau juga bagaimana mensikapi hal baru yang selalu saja datang silih berganti tanpa adanya filter yang menyaringnya. Era globalisasi dengan teknologi informasinya semakin dapat dirasakan perkembangannya, dengan medianya yang berupa komputer, televisi, hand phone, dan peralatan canggih lainnya, telah benar-benar menjadi hal yang komplek dalam transformasi informasi. Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peran penting, bahkan menentukan corak kehidupan. Sebab lewat komunikasi satelit, orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan, bahkan visual.  
Di sisi lain, Muhammad Tholchah Hasan mengemukakan tantangan pendidikan Islam yang harus dihadapi di era global ini adalah kebodohan, kebobrokan moral, dan hilangnya karakter muslim. Secara lebih terperinci beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi informasi dan komunikasi adalah :
1. Keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif penyebaran isu, sehingga dapat menimbulkan saling kecurigaan di antara umat.
2. Dalam banyak aspek keperkasaan Barat dalam dominasi dan imperalisasi informasi, yang dapat menimbulkan sukularisme, kapitalisme, pragmatisme, dan sebagainya.
3. Dari sisi pelaksanaan komunikasi informasi, ekspos persoalan seksualitas, peperangan, dan kriminal, berdampak besar pada pembentukan moral dan perubahan tingkah laku.
4. Lemahnya sumber daya Muslim sehingga di banyak hal harus mengimport produk teknologi Barat. 
Inilah menurut para pakar pendidikan yang menjadi PR. besar bagi setiap institusi pendidikan khusunya pendidikan Islam.  Dengan melihat fenomena tersebut, jelas tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perubahan dalam segala bentuk dan sistem baik bersifat personal maupun global bisa terjadi dalam hitungan waktu yang relatif sangat singkat. Maka ini merupakan sebuah tantangan yang mutlak dijawab oleh pendidikan Islam dengan tujuan dan cita-citanya yang luhur. Walaupun pada dasarnya Islam sebagai sebuah sistem telah memberikan wacana tentang perubahan yang memang harus terjadi demi mencapai tujuan hidup manusia yang dijadikan landasan tujuan pendidikan Islam. Seperti telah difirmankan Allah swt dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 11, “…sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri …”. 
Dengan demikian, Islam menganjurkan adanya perubahan yang positif dalam keadaan apapun sehingga mengarah pada kemajuan dan perbaikan. Pemahaman yang demikian perlu ditumbuhkembangkan pada cara berfikir peserta didik sebagai generasi kedepan. Memeperluas wawasan dan membentuk sikap yang toleran terhadap berbagai perubahan dengantanpa kehilangan pegangan dan pendirian, sebab perubahan yang terjadi merupakan sunnatullah. Maka sikap yang harusdibentuk adalah sikap kreatif-proporsional, dengan wacana filsafat pendidikan multikultural dan realitas masyarakat plural, posmodernisme, integrasi interkoneksi ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya perlu dikaji. Maksudnya, agar peserta didik menjadi generasi yang mampu menyesuaikan diri dan tetap efektif berjuang di tengah perubahan sosial yang mendunia tanpa kehilangan komitmen serta sikap ketakwaan. Dalam pada itu, generasi tersebut dapat mengambil posisi subyek yang ikut memainkan peranan dan tidak sekedar menjadi penonton atau tamu di sebuah desa global dengan realitas budaya yang ada.( Janan, 2009:83-84)
Dengan mempertimbangkan beberapa tantangan pendidikan Islam diatas, telah memberikan sebuah inspirasi bahwa menyiapkan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan adalah tugas pendidikan Islam. Hal itupun tidak terlepas dari berbagai peluang yang dapat dijadikan sebagai jalan untuk membina generasi dan peserta didik untuk lebih dapat bersaing dan berkiprah di desa global yang tanpa batas.
Berangkat dari perspektif tersebut, peluang pendidikan Islam di era globalisasi ini dapat diperincikan sebagai berikut :
1. Pendidikan semakin dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia, yaitu manusia yang mempunyai wawasan, kemampuan dan ketrampilan serta kepribadian yang sesuai dengan kebutuhan nyata yang dihadapi umat.
2. Orientasi pada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan semakin kuat, artinya menciptakan dunia kerja yang cenderung realistis dan pragmatis, di mana dunia kerja lebih melihat kompetensi nyata yang dapat ditampilkan.
3. Mutu pendidikan suatu komunitas atau kelompok masyarakat, tidak hanya diukur berdasarkan kriteria internal saja, melainkan dibandingkan dengan komunitas lain yang lebih riil.
4. Apresiasi dan harapan masyarakat dunia pendidikan semakin meningkat, yaitu pendidikan yang lebih bermutu, relevan dan hasilnya pun dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari semakin meningkatnya kemakmuran masyarakat selalu ingin mendapatkan suatu yang lebih baik.
5. Sebagai komunitas atau masyarakat religius, yang mempunyai keimanan dan tata nilai, maka pendidikan yang diinginkan adlah pendidikan yang mampu menanamkan karakter islami disamping kompetensi lain yang bersifat akademis dan skill. 
Dari pernyataan-pernyataan di atas, sepertinya pendidikan Islam berada pada suatu posisi sehingga dapat berperan aktif di era global. Namun hal tersebut harus dilandasi beberapa syarat yang dapat menjadikan lebih eksisnya pendidikan Islam di era global village dan gencarnya pertumbuhan teknologi informasi yang ada. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain; Pertama, pendidikan Islam harus ikut serta sebagai pendukung keberadaan era ini, dengan berusaha memanfaatkan segala informasi yang berkembang dan berperan aktif dalam menanggulangi segala dampak negatif yang di timbulkan.  Kedua, pendidikan Islam seyogyanya selalu berusaha memanfaatkan sumber daya elektronika yang telah menjadi media utama transformasi informasi. Dengan mengembangkannya dengan berbagai bentuk informasi positif yang dapat menjadi bahan pelajaran dan materi ajar yang diperlukan, seperti pengembangan e-learning, e-book, tafsir digital dan lain sebagainya.

G. Penutup
Era globalisasi adalah sebuah era di mana setiap informasi dapat diterima dan diserap oleh seluruh penduduk bumi, tanpa batas penghalang yang dapat menghalanginya. Luasnya dunia sudah tidak lagi menjadi penghalang untuk penyebaran berita dan isu apapun yang up todate. Hal ini tentunya menjadi hal yang baru bagi beberapa orang yang belum memiliki pemikiran yang maju, dan bahkan akan menjadikannya hanya akan terlindas oleh cepatnya pertumbuhan teknologi dan kemajuan zaman, karena tidak sanggup menghadapi perubahan yang demikian cepat.
Melihat fenomena tersebut, pendidikan adalah faktor yang dapat dijadikan sebagai jaminan bagi pengembangan sumber daya manusia, sehingga dapat menghadapi tantangan global dengan era digital informasi. Demikian pula pendidikan Islam, yang lebih cenderung membawa misi religiusitas pun juga harus ikut berperan di dalamnya. Dengan membekali para peserta didiknya dengan kekuatan keimanan, ketakwaan, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan yang berimbang sehingga dapat membawa para peserta didik tersebut pada kondisi yang siap menghadapi segala tantangan era informasi (globalisasi).
Pemahaman yang menyoroti fakta bahwa kebijakan ekonomi di sebagian dunia jarang dianggap pendidikan sebagai investasi untuk masa depan atau sebagai kunci pembangunan, dan bahkan kurang sebagai hak dasar manusia. Dampak dari kebijakan-kebijakan di semua tingkat sistem pendidikan di dunia, dengan pengecualian negara-negara industri, telah sangat dirasakan. Dampak tersebut termasuk memburuknya kondisi pengajaran, kurangnya jumlah perusahaan sekolah dan peningkatan jumlah per kelas, khususnya di negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan demografi yang kuat, hilangnya kualitas pengajaran sering disebabkan oleh tingkat kualifikasi guru dan kondisi material di mana mereka melaksanakan profesi mereka, dan akhirnya, hilangnya relevansi mengenai program pendidikan itu sendiri. 
Namun dari berbagai kajian yang ada, masih tetap banyak permasalahan yang harus segera dicarikan solusinya.  Di antaranya :
1. Krisis di masa kini dalam sistem pendidikan konvensional hanya sindrom masyarakat mengalami perubahan besar. Lembaga politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan nilai-nilai serta simbol-simbol di jantung lembaga-lembaga tersebut, telah menjadi dioperasi dan usang dalam fungsi mereka, penerapan peraturan tidak mampu mengintegrasikan anggota individu yang sama dari masyarakat yang bersangkutan.
2. Bagaimana upaya pendidikan menanggapi tantangan meningkatnya kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan dari belahan dunia dan orang-orang dari intoleransi dan kekerasan yang mempengaruhi semua masyarakat dan bahkan dapat ditemukan di dalam sekolah itu sendiri.
3. Bagaimana pendidikan menjawab kebutuhan masyarakat yang multikultural, dalam keragaman budaya, agama dan etnis dari berbagai masyarakat global membutuhkan pengakuan keselarasan dari keragaman tersebut.  Kebutuhan masyarakat tertentu sebagai penikmat (hidup foya-foya) pada saat yang sama berintegrasi sosial dan ekonomi, sehingga gaya hidup mereka menjadi budaya mayoritas
4. Bagaimana upaya trand menuju globalisasi, standardisasi, dan homogenisasi budaya model dapat diselaraskan, dan bagaimana pula kita bisa mendamaikan pertikaian yang semakin kuat terhadap keanekaragaman budaya dalam bentuk yang paling ekstrim.
Dalam kedok (konsep) baru, pendidikan berkelanjutan dipandang sebagai satu model yang akan jauh melampaui apa yang sudah dipraktekkan, terutama di negara-negara maju, yaitu, pura-pura meningkatkan mutu pendidikan, menyelenggarakan pelatihan dan program konversi atau promosi untuk orang dewasa. Ini seakan-akan membuka kesempatan belajar bagi semuanya, untuk berbagai tujuan yang menawarkan kesempatan kedua atau ketiga bagi publik yang  hanya supaya  memuaskan haus dan dahaga mereka akan pengetahuan, keindahan, atau keinginan untuk berusaha melampaui takaran diri sendiri, sehingga menurut mereka memungkinkan untuk memperluas dan memperdalam bentuk pendidikan kejuruan, beserta pelatihan praktis. (Unesco,1996:111).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar