Makalah Implikasi Otonomi Daerah Terhadap Pendidikan Islam

Semoga Makalah Implikasi Otonomi Daerah Terhadap Pendidikan Islam berikut ini dapat membantu anda dalam mengerjakan tugas makalah anda.

Pendahuluan
Makalah ini mendiskusikan bagaimana pemerintah daerah memperlakukan pendidikan Islamdalam kebijakan anggaran, kepegawaian, kurikulumdan pembinaan. Terutama posisi madrasah dipersejajarkan dengan sekolah dalam bingkai otonomi pendidikan sebagai dampak dari kebijakan otonomi daerah. 
Statemen tulisan ini menyatakan bahwa: Lembaga pendidikan berbasis ideologi akan tetap survive di tengah arus perdebatan otonomi dan sentralisasi; Sentralisasi yang aspiratif jauh lebih baik dari pada otonomi setengah hati.
Pendidikan Islam, baik yang menyangkut aspek kelembagaanmaupun aspek pendidikannya dalam bentuk mata ajar, selalu menjadi tema sentral dalam setiap pembahasan mengenai sistem pendidikan di Indonesia. Karena pendidikan Islam (pesantren, surau, madrasah, majlis-majlis ilmu) dalam realitas sejarahnya telah menunjukkan eksistensinya dalam membentuk bangsa ini, dan kontribusinya dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang unggul dan kempetitif sejak masa yang cukup panjang; sejak zaman kolonial Belanda.Karena tanpa pendidikan, kekuasaan dan kapital ekonomiproses Islamisasi di Indonesia tidak akan pernah terjadi secara massif dan akseleratif. “Tanpa pendidikan, Islam dan umat Islam di Indonesia tidak akan terwujud”. Meskipun kemudian, dalam realitas politik;pendidikan Islam (madrasah dan pesantren) senantiasa berada pada posisi pinggir atau sengaja dipinggirkan.
Mahmud Yunus merekam dinamika pendidikan Islam dalam Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia bagaimana para tokoh pendidikan Islam merespon gelombang pemikiran baru Islam akhir abad 19 dan awal abad 20 yang diusung (secara internal) oleh reformis Muslim tamatan Timur Tengah dan pendidikan model Eropa yang diterapkan-paksakan oleh kolonial Belanda.
Lee Kam Hing mengistilahkan respon Muslim tersebut dengan membaginya sebagai; respon nasionalis agamis dan respon nasionalis sekuler. Azyumardi Azramenilai respon tersebut dalam dua bentuk modernisasi kelembagaan pendidikan Islam; Pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam; Kedua, madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Contoh yang pertama seperti HIS Adabiah yang didirikan Abdullah Ahmad Padang, dan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Contoh yang kedua seperti Madrasah Diniyah yang didirikan Zainuddin Labai Al-Yunusi, Sumatera Thawalib, Jami’at Kheir Jakarta dan Al-Irsyad Jakarta. 
Abdul Kholiq melihat respon pesantren ke dalam tiga model, yaitu; dua model yang paling umum adalah; Pertama, membuka madrasah atau sekolah di lingkungan pesantren sebagai bagian dari kelengkapan jenis dan jenjang pendidikannya, seperti pesantren Tebuireng, Rejoso, Asshiddiqiyah, dll.;  Kedua, tetap mempertahankan tradisi dan sistem lama; tidak ikut-ikutan mendirikan pendidikan formal (madrasah/sekolah), seperti pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, Ploso Kediri, Miftahul Huda Manonjaya, Tasikmalaya, dll. Alternatif ketiga adalah pesantren Gaya Baru, yakni; tetap sebagai pesantren “tradisional” namun menggunakan sistem “pendidikan modern” (kurikulum, metodologi, jenjang kelas). Contoh; Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Reformasi di Indonesia tahun 1988 membuahkan hasil; percepatan undang-undang tentang pemerintahan daerah atau otonomi daerah.
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, yaitu; penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri termasuk di dalamnya mengenai pendidikan. Namun tidak semua urusan pemerintahan diwewenangkan kepada daerah.Ada enam kewenangan Pemerintah yang tidak dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah, yaitu; (1). politik luar negeri, (2). pertahanan,(3). keamanan, (4). yustisi (peradilan), (5). moneter dan fiskal nasional, dan (6). agama.
Ketika madrasah dan pendidikan keagamaan masuk dalam bagian dari kewenangan pusatdi bawah pembinaan Kementerian Agamamelalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam,sementara pendidikan yang bukan madrasah telah diotonomisasi pada tingkat Pemerintahan Daerah (provinsi dan atau kabupaten/kota).Menjadi menarik untuk dipertanyakan dalam tulisan ini terhadapequality of education antar keduanya, karena kedua-duanya adalah anak kandung yang syah dari bangsa Indonesia yang telah dilahirkan oleh Ibu Pertiwi.
Equality of education dalam tulisan ini difokuskan pada menilai potensi konflik pelaksanaan pendidikan antara madrasah (sentral) dengan sekolah (desentral) karena adanya berbagai kepentingan dari kelompok-kelompok yang ada di lembaga politik, birokrasi, masyarakat dalam mengekspresikan interpretasinya terhadap pendidikan baik yang menyangkut posisi; anggarandan pengelolaan.
Asumsi pertama;sentralisasi pendidikan menungkinkan madrasah lebih baik dari sekolah karena pola penyeragaman (top-down). Asumsi kedua;desentralisasi pendidikan memungkinkan sekolah lebih baik dari madrasah, karena mengakomodasi keragaman (button-up). Asumsi ketiga; kedua-duanya baik dengan berbagai catatan.

Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kata “otonomi” (Inggris: autonomy) berasal dari bahasa Yunani “autos” yang berarti “sendiri”, dan “nomos” yang berarti “hukum” atau “aturan”. Beberapa pengertian otonomi di antaranya; zelfwetgeving, yaitu pengundangan atau perundangan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri, pemerintahan sendiri.
Secara konseptual, otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Yakni sebagai bentuk pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Sedangkan desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, judikatif, atau administratif.
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu mewujudkan masyarakat yang lebih baik, lebih adil dan lebih sejahtera.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa;Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan megurus sendiriurusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan.
Desentralisasi dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Nomor 7 adalah: Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut disebutkan pula tentang dekonsentrasi, yaitu: Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan olehPemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/ataukepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Desentralisasi dan dekonsentrasi pendidikan berarti pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam bidang pendidikan.
Indra Djati Sidi, mengemukakan beberapa masalah yang membuat peningkatan mutu pendidikan tidak berjalan, juga beberapa masalah yang menjadi sebab mengapa otonomi sangat penting dan perlu:
Pertama;Akuntabilitas sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat masih sangat rendah. Terlalu kuatnya dominasi pemerintah pusat dalam manajemen mikro penyelenggaraan pendidikan di sekolah secara sistematis menjadi pendidikan mandul dan tidak kreatif (tidak melahirkan manusia prima, SDM tangguh yang kompetitif).
Kedua;Anggaran yang terpusat mengakibatkan penggunaan sumberdaya yang tidak efesien (kalau tidak sedikit ya dikorupsi).
Ketiga;Partisipasi masyarakat rendah. Pemerintah melihat kehadiran sekolah swasta dianggap sebagai pesaing bukan mitra kerja yang baik (swasta adalah ancaman pemerintah).
Keempat;Sekolah tidak mampu mengakomodasi perubahan yang terjadi dilingkungannya, baik perubahan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang perimbangan kewenangan sebagai berikut:
Kewenangan Pemerintah (Pusat) antara lain:
1. Penetapan standar kompetensi siswa.
2. Pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional.
3. Penetapan standar materi pelajaran pokok.
4. Pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
Kewenangan Pemerintah Daerah (Provinsi) antara lain:
1. Kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa.
2. Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran.
3. Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi.
4. Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran guru.
Fransisca Kemmerer dikutip oleh Muhammad Rifai menyebutkan, ada empat bentuk desentralisasi, yaitu:
1. Dekonsentrasi, yaitu pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam jajaran birokrasi pusat.
2. Pendelegasian, yaitu pengalihan wewenang ke badan quasi pemerintahan atau badan yang dikelola secara publik.
3. Devolusi, yaitu pengealihan kewenangan ke unit pemerintahan daerah.
4. Swastanisasi atau privatisasi, berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau perorangan.
Marihot Manulang mengutip Fiorestal, menyebut tiga tingkatan desentralisasi pendidikan, yaitu Dekonstrasi, Delegasi dan Devolusi. 
1. Dekonstrasi adalah proses pelimpahan sebagian kewenangan kepada pemerintahan atau lembaga yang lebih rendah dengan supervisi dan pusat. 
2. Delegasi mengandung makna terjadinya penyerahan kekuasaan yang penuh sehingga tidak lagi memerlukan supervisi dan pemerintah pusat. 
3. Devolusi di bidang pendidikan dapat terjadi apabila memenuhi 4 ciri, yaitu:
a. terpisahnya peraturan perundangan yang mengatur pendidikan di daerah dan di pusat; 
b. kebebasan lembaga daerah dalam mengelola pendidikan; 
c. lepas dari supervisi hirarkhis dan pusat, dan 
d. kewenangan lembaga daerah diatur dengan peraturan perundangan.
Beberapa pakar memberi penilaian terhadap pelaksanaan desentralisasi pendidikan Indonesia saat ini, seperti H.A.R Tilaar;Desentralisasi pendidikan di Indonesia masih dalam tahap dekonsentrasi, idealnya adalah devolusi.
Sedangkan madrasah meniscayakan kewenangan dan kebijakan oleh pusat, karena ia tidak termasuk yang didesantralisasikan.Salah satu di antara kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang diperlukan untuk memutuskan suatu kebijakan menjadi lama. Namun kelebihan dari sistem ini adalah di mana pemerintah daerah tidak perlu repot-repot membuat kebijakan dan berhadapan langsung terhadap permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluruh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat.

Otonomi/Sentralisasi Pendidikan di Beberapa Negara
Beberapa contoh dari negara-negara maju dalam memilih dan melaksanakan sistem pendidikannya dapat dijadikan bahan pembanding, seperti Amerika, Jerman dan Perancis. Model otonomi pendidikan seperti Amerika dan Jerman bersifat Devolusi, dan Perancis berbentuk sentralisasi.
Amerika Serikat
Jenis sekolah di AS sama seperti di Indonesia, yaitu; sekolah negeri dan sekolah swasta; namun di antara kedua jenis taditerdapat pendidikan di rumah (home schooling) yang dilaksanakan oleh perorangan atau kelompok. Karena tidak disebutkan dalam konstitusi, maka tanggung jawab pendidikan ada pada negara bagian. Pengawasan pendidikan dilakukan oleh tiga pihak, yaitu federal (pusat), state (negara bagian/provinsi), dan local(pemda/dewan sekolah). 
Tiap negara bagian memiliki sistem pendidikannya sendiri-sendiri. Masing-masing mendelegasikan kekuasaannya kepada dewan sekolah. Karena itu kontrol pendidikan terletak pada sekolah dan masyarakat di kabupaten/kota/distrik.
Kurikulum inti ditentukan oleh tiap negara bagian, terdiri atas: bahasa Inggris, sains, matematika, dan ilmu pengetahuan sosial (History of America). Persyaratan kelulusan ditentukan oleh tiap negara bagian. 34 states saat ini yang mengharuskan tes bagi siswa dengan menghasilkan produk, jadi bukan tes tertulis. Produk tersebut antara lain berupa hasil riset dan dipresentasikan di depan kelas. Ujian Nasional tidak ada.
Kebijakan pendidikan dibuat oleh federal, state, dan sekolah tingkat kabupaten. Kebijakan pendidikan secara umum meliputi: (a). persamaan, bahwa setiap anak mendapat kesempatan untuk belajar (no child left behind, tak boleh ada satupun anak Amerika yang tertinggal untuk memperoleh kesempatan pendidikan), (b). efisiensi, (c). otonomi, dan (d). berkualitas tinggi. Dukungan politik harus selaras agar tujuan pendidikan tercapai, dan filosofinya harus sama.
Penataan pendidikan dilakukan oleh 4 tingkat, yaitu: (a). tingkat lokal terdiri atas; dewan sekolah, superintendent atau pengawas pendidikan, kepala sekolah, orang tua, dan masyarakat; (b). wilayah, kerjasama antara beberapa negara bagian untuk melakukan koordinasi dan jasa lain seperti konsultasi, SDM bidang kurikulum, pengajaran, evaluasi, dan diklat; (c). state, membuat peraturan sekolah dan membentuk dewan sekolah; dan (d). federal, yang memberikan dukungan keuangan, tetapi tidak ikut campur dalam kebijakan pendidikan. 
Guru harus memiliki lisensi mengajar yang dikeluarkan oleh National Board for Professional Teaching Standards. Lisensi ini harus diperbarui setiap 5 tahun. Guru harus berpendidikan minimal S-1 di bidang mata pelajaran yang diajarkan, dan menguasai metode pembelajaran. Pembaruan lisensi dimaksudkan agar guru selalu mengikuti perkembangan dan menambah pengetahuannya. Ia harus mengambil kursus di perguruan tinggi yang mencapai 180 poin, atau ekulivayen dengan 6 kredit.

Jerman
Pendidikan di Republik Federal Jerman (RFJ) dilaksanakan oleh negara-negara bagian (16 negara bagian). Pemerintahpusathanya mengatur pedomannya saja. Setiap negara bagian mengeluarkan Undang-Undang Pendidikan di masing-masing wilayahnya, yang dirinci menurut jenis pendidikan yang ada di Negara Bagian tersebut. 
Untuk menjaga kesamaan pendidikan, menteri-menteri pendidikan dan kebudayaan negara bagian membentuk organisasi; Konferensi Menteri-menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kultusministerkonferenz, KMK). Kerjasama di dalam KMK adalah menetapkan mutu kualitas pendidikan, baik di pendidikan umum dan tinggi, liburan sekolah. Tema-tema lainnya yang diutamakan adalah: pendirian kursus Bachelor dan Master, kualifikasi/akreditasi jurusan baru, pendidikan lanjutan ilmuwan, dan lain-lain.
Kurikulum dan ujian-ujian diatur dan dilaksanakan oleh negara-negara bagian secara tersendiri. Ujian Nasional tidak ada.
Kewenangan Negara Bagian dan Pemerintah Pusat dalam bidang pendidikanmenyebutkan:Selama Undang-Undang Dasar tidak menetapkan secara eksplisit kewenangan pemerintah pusat dalam bidang pendidikan, maka negara-negara bagian mempunyai hak untuk menetapkan undang-undang. Hak dalam bidang pendidikan meliputi; bidang sekolahan, pendidikan tinggi, pendidikan orang dewasa dan pendidikan lanjutan.
Kewenangan Pemerintah Federal (pusat), antara lain:
a. Pendidikan kejuruan (di perusahaan) dan pendidikan lanjutan diluar sekolah.
b. Kewenangan untuk hal-hal pokok di bidang pendidikian tinggi.
c. Bantuan dana/beasiswa untuk pendidikan kejuruan.
d. Bantuan untuk riset ilmuwan dan perkembangan teknologi termasuk ilmuwan muda.
e. Bantuan untuk pemuda/pemudi.
f. Perlindungan bagi mahasiswa universitas terbuka.
g. Ijin kerja untuk para ahli hukum serta jabatan-jabatan dalam bidang kesehatan.
h. Membuat undang-undang berkaitan dengan kebijaksanaan pendidikan luar negeri.
Kewenangan tersebut terutama terletak pada BMBF (Kementerian Pendidikan dan Riset).
Kewenangan bersama (Federal dan Negara Bagian):
a. Pembangunan dan pengembangan perguruan tinggi termasuk rumah sakit perguruan tinggi.
b. Perencanaan pendidikan.
c. Bantuan untuk instansi dan proyek riset yang mempunyai kepentingan internasional.
d. BLK mendorong juga program riset agar perguruan tinggi Jerman memiliki prestasi yang tinggi di dunia intenasional.
e. Pembagian wewenang ditetapkan pada rapat bersama antara Menteri Federal (BMBF) dan Menteri-menteri Kebudayaan dan Pendidikan Negara Bagian secara seimbang pada Komisi Pemerintah Federal dan Negara-negara Bagian untuk Perencanaan Pendidikan dan Bantuan Riset (BLK).
Kewenangan Negara Bagian:
a. Menetapkan undang-undang dan administrasi khususnya sekolah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa/pendidikan lanjutan
b. Sekolah adalah instansi milik kelurahan dan kota, sedangkan perguruan tinggi adalah instansi milik negara bagian.
c. Di bidang pendidikan kejuruan, pemerintah pusat berwenang untuk menetapkan undang undang pendidikan kejuruan di perusahaan, sedangkan negara-negara bagian berwenang untuk pendidikan teori di sekolah kejuruan.

Perancis
Pendidikan di Perancis berada di bawah tanggungjawab Kementerian Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan sentralistik, yaitu sekolah di kelola oleh Pemerintah Pusat.
Kurikulum pendidikan tingkat rendah terdiri dari bahasa Perancis, membaca, menulis, berhitung, sejarah, ilmu bumi (khusus Perancis dan Negara-negara jajahan), akhlak, kewarganegaraan, dasar-dasar ilmu pasti dan alam, menggambar, pekerjaan tangan, bernyanyi dan gerak badan.
Murid-murid yang hendak melanjutkan Sekolah Menengah, harus lulus ujian masuk kelas enam, terutama bagi mereka yang mempunyai nilai ujian cukup. Kalau nilainya baik, maka mereka dapat masuk dan diterima secara otomatis di tahun pertama (classes de sixieme). 
Terdapat kekhususan tersendiri dalam sistem pendidikan di Perancis, yaitu semua peserta didik yang mampu menamatkan pendidikannya di pendidikan rendah dengan rapot baik, maka ia dapat melanjutkan sekolah Cycle d’observation, terutama peserta didik yang berusia 11-12 tahun. Lama belajar di Cycle d’observation dua tahun, yaitu kelas V dan VI (di Indonesia dikenal; program akselerasi).
Dari antara contoh pendidikan di negara-negara maju di atas, yang sangat dinamis otonomi pendidikannya adalah negara Amerika Serikat. Kekuatannya terletak pada karakter mandiri sekolah. Sertifikat atau ijazah dikeluarkan oleh sekolah dan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, siswa mengisi form aplikasi dan lulus tes masuk.

Implementasi Kebijakan Desentralisasi
Menarik analisis M. Sirozi dalam melihat kaitan pelaksanaan otonomi daerah dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional, pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan sebagai peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan peningkatan daya saing bangsa Indonesia. Secara teoritis, kebijakan otonomi daerah membuka peluang bagi bangsa Indonesia melakukan empat upaya peningkatan mutu sistem pendidikan nasional.
Pertama,membuka peluang bagi perancang dan praktisi pendidikan mengembangkan local context dan local content dalam program-program pendidikan yang relevan dengan potensi dan kebutuhan daerah sehingga karakter kekayaan dan kearifan daerah atau local wisdom menjadi branding daerah, atau lebih luas mampu mewarnai kontek globalisasi (glocalization).
Kedua, membuka peluang bagi perancang dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan sistem pendidikan yang receptive (terbuka) terhadap berbagai model keberhasilan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang, dari mana pun datangnya. Selain akan mendorong satu sinergitas antardaerah dan antarbangsa, sehingga memicu lahirnya inovasi-inovasi cerdas terhadap mutu keberhasilan pendidikan.
Ketiga, membuka peluang bagi pemerintah dan masyarakat daerah mengoptimalisasikan peran institusi pendidikan dalam menunjang pembangunan daerah. Kerjasama antara praktisi pendidikan dengan pemerintah daerah mampu mendesain satu paket pendidikan yang relevan dengan agenda pembangunan daerah dalam berbagai bidang.
Keempat, membuka peluang bagi perancang dan praktisi pendidikan di daerah untuk mengembangka ide dan eksperiman baru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, keunggulan lokal tadi akan mampu dipenuhi secara mandiri.
Lebih lanjut M. Sirozi demikian juga H.A.R Tilaar melihat potensi konflik dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal. Konflik horizontal dapat terjadi dalam skala besar seperti antara berbagai kementerian yang terlibat langsung dalam pengeloaan pendidikan dan dapat pula terjadi dalam skala menengah seperti antar provinsi, atau yang lebih kecil, seperti antar kabupaten/kota, atau antar sekolah/madrasah.:
1. Konflik antar kementerian pemangku kebijakan pendidikan, yaitu antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama menyangkut pendanaan dan pengelolaan pesantren dan madrasah. Secara de jure antara madrasah dan sekolah adalah equal di mata Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 tetapi secara de facto, sistem budgeting antar keduanya masih bersifat diskriminatif. Dana untuk madrasah, misalnya, jauh lebih kecil daripada dana untuk sekolah, atau waktu pencairan dana, madrasah jauh lebih lambat daripada pencairan dana untuk sekolah.
2. Bidang pengelolaan pendidikan. Dalam bingkai otonomi pendidikan, pendidikan dasar dan menengah berbagai aspek penyelenggaraannya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Karena madrasah termasuk kategori pendidikan dasar dan menengah, namun masih dikelola secara sentral, sehingga alokasi dana daerah tidak terserap oleh madrasah, pada gilirannya terjadi perbedaan perlakuan oleh pemda terhadap madrasah secara institusi, maupun siswa dan guru. Karena dianggap hal tersebut menjadi tanggungjawab pusat.
3. Secara vertikal, konflik juga terjadi antar Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah, antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, antara kepala sekolah dan guru-guru, antara sekolah dengan masyarakat. Konflik ini terjadi, antara lain dipicu oleh conflict of interest seperti kurikulum, pedagogi, dan evaluasi.
4. Konflik vertikal dan horizontal juga bisa terjadi pada tingkat instrumental, berkaitan dengan akses dan sarana pendidikan, dan bisa juga terjadi pada tingkat ideologis.
Konflik-konflik pendidikan yang bersifat instrumental dapat diatasi dengan melalui dialog, lobby, konsensus, dan kompromi-kompromi politik. Namun, konflik-konflik pendidikan yang bersifat ideologis lebih sulit diatasi dan dapat berkembang menjadi konflik sosial politik berskala besar. Terlebih jika konflik tersebut melibatkan unsur-unsur lain seperti organisasi keagamaan, partai politik, penguasa, dan aparat penegak hukum serta aparat keamanan nasional.
Secara historis, Lee Kam Hingdalam Education and Politics in Indonesia dan para penulis sejarah madrasah di Indonesia, menuturkan bagaimana pergumulan madrasah mulai dari embrionya berupa pondok pesantren hingga rivalitasnya dalam masa kolonial Belanda dan Jepang serta pergulatan panjang madrasah pada masa-masa awal pemerintahan Republik Indonesia hingga Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003. Kesimpulan besarnya menarasikan bahwa madrasah adalah pendidikan yang dibangun di atas pondasi ideologi, dan pendidikan yang dibangun diatas landasan ideologi akan tetap mempertahankan dan terus menerus berusaha menunjukkan eksistensinya dengan atau tanpa dukungan penguasa. 
Ketika madrasah dibangun di atas ideologi yang moderat dan akomodatif terhadap dinamika politik dan kemasyarakatan, ia akan cepat pertumbuhannya, namun sebaliknya jika madrasah dibangun di atas ideologi yang eksklusif dan fanatik, ia hanya akan tumbuh dilingkungan yang sempit.
Malik Fadjar memberi catatan dalam Visi Pembaharuan Pendidikan Islam memaknai pengertian “pendidikan Islam” oleh Zarkowi Soejoeti. Pertama, pendidikan Islam seperti yang terkandung dari namanya, merupakan sarana untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Kedua, pendidikan Islam dengan sendirinya memberi perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk mata pelajaran dan program studi yang diajarkan. Ketiga, dari cakupan kedua pengertian di atas, Islam ditempatkan sebagai sumber nilai dan sebagai bidang studi yang ditawarkan. Oleh karenanya, pendidikan Islam tidak sekedar sebagai “pendidikan dengan ciri khas”, melainkan terkandung makna yang lebih mendasar, yaitu pendidikan yang mewakili dan berorientasi terhadap tujuan diturunkannya agama Islam. Kenyataan seperti inilah yang menempatkan alokasi posisional pendidikan Islam tidak akan pernah hilang dari diskursus pendidikan di Indonesia.   
Secara optimis dan penuh semangat, Abuddin Natta dalam Sejarah Pendidikan Islam menyikapi posisi pendidikan agama dan pendidikan keagamaan (pendidikan Islam) dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003; selain eksistensi dan fungsi pendidikan Islam semakin diakui, juga semakin menghilangkan kesan diskriminasi dan dikotomi. Baik yang menyangkut pola anggaran dan pembiayaan pendidikan, guru/dosen, standar dan mutu lulusan, kesempatan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bahkan metodologi dan pola-pola pendekatan pembelajaran ataupun jenis dan jenjang pendidikan, dan lain-lain.Meskipun potensi konflik dan interest tetap ada sebagai bagian dari implikasi Undang-Undang Sisdiknas maupun Undang-Undang Otonomi Daerah. Namun, itu bukan berarti tidak bisa diselesaikan.  

Catatan Akhir
Mempertanyakan kembali madrasah di antara otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan adalah pertanyaan yang tak kunjung selesai. 
Ada beberapa pandangan yang berkembang tentang otonomisasi atau desentralisasi madrasah. Pertama, menempatkan madrasah sebagai bagian yang integral bidang keagamaan. Karena bidang keagamaan tidak diotonomkan, maka madrasah tidak perlu diotonomkan. Kedua, hanya Kemenag yang memiliki otoritas keilmuan untuk menyelenggrakan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Karena fungsi-fungsi kerja Kemenag tidak diotonomkan, maka madrasah tidak perlu diotonomkan. Ketiga, otonomi madrasah dilakukan dengan skema khusus. Pandangan ini memberikan berberapa alternatif, alternatif peratma, otonomi parsial, bahwa hanya aspek-aspek tertentu penyelenggaraan pendidikan madrasah yang diotonomkan. Alternatif kedua, otonomisasi selektif, bahwa otonomisasi madrasah dilakukan di daerah-daerah tertentu di mana ada daya dukung dan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah.
M. Sirozi menampik pandangan di atas dan menyebutnya tidak memiliki argumentasi yang kuat dan dapat dipertanyakan. Apakah madrasah masuk kategori bidang agama atau bidang pendidikan? Apakah hanya Kemenag yang memiliki otoritas keilmuan dan pengelolaan pendidikan agama dan keagamaan?
Dari prespektif legal formal, madrasah adalah bagian integral dari sistem pendidikan nasional, maka pengelolaan madrasah menjadi bagian dan tanggungjawab yang inheren dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun madrasah, ternyata tidaklah sekedar hanya bangunan sekolah dan seperangkat instrument pendidikan, tetapi ia lebih merupakan urat nadi dan nafas umat Islam Indonesia. 
Dari prespektif historis dan secara politik akan sulit menarik madrasah di bawah pengelolaan Kemendikbud, karena eksistensi madrasah (dan juga pesantren) dalam sistem pendidikan nasional tidak semata-mata terkait dengan dinamika perkembangan pendidikan, tetapi juga terkait dengan dinamika dakwah, penyebaran Islam dan politik Islam di Indonesia. 
Menteri Agama, Surya Dharma Ali, dalam beberapa kesempatan dan dalam orasinya, senantiasa menyebutkan bahwa, keberadaan Kementerian Agama adalah hadiah dan apresiasi Pemerintah terhadap umat Islam atas perjuangan umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia, kekuatan umat Islam secara politik berada dalam Kementerian Agama, dan Kekuatan Kementerian Agama ada pada Pendidikan dan Haji. Jika salah satu atau kedua dicabut dari Kementerian Agama, maka Kementerian tersebut akan lumpuh dan menunggu ajal.
Akhir dari tulisan ini menghargai dan mendukung opsi otonomi parsial dan otonomisasi selektif, yakni beberapa aspek dari elemen pendidikan seperti kurikulum, matapelajaran, alokasi jam pelajaran, manajemen madrasah diotonomisasi. 
Malik Fadjar menempatkan agenda Pendidikan Berbasis Masyarakat dan Manajemen Berbasis Sekolah dalam Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia,dengan antara lain; penataan dan pemanfaatan lembaga-lembaga pendidikan yang sudah mengakar di masyarakat dikembangkan sendiri oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan setempat; pengelolaan pendidikan diarahkan pada terciptanya kondisi yang desentralistik atau sentralistik terbatas baik, pada tatanan birokrasi maupun pengelolaan sekolah/madrasah.
Maka sejalan dengan prospek dan peluang otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang juga menempatkan penguatan lokal sebagai identitas dan karakter daerah, akan memperteguh dan memperkokoh madrasah yang memang telah mengakar di masyarakat. Terhadap otonomisasi madrasah secara selektif, sangat dimungkinkan dalam terhadap daerah-daerah yang kuat Islamnya dan moyoritas, namun bagi daerah-daerah yang agama Islam dipeluk secara minoritas, maka sentralisasi madrasah tidak bisa terelakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar