Makalah Posisi Madrasah dan Lembaga Pendidikan Islam

Semoga Makalah Posisi Madrasah dan Lembaga Pendidikan Islam berikut ini dapat membantu anda dalam mengerjakan tugas makalah anda.

Latar Belakang
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Idonesia Tahun 1945 yang merupakan salah satu landasan berkehidupan bangsa Indonesia (setelah Pancasila) menyebutkan  dengan jelas dan tegas bahwa salah satu amanat yang diemban oleh negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, selain juga melindungi segenap bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Apa yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 sedikitnya memiliki dua makna. Pertama bahwa dasar dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah nilai-nilai Pancasila. Kedua bahwa salah satu  tujuan dalam membentuk Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bermula dari amanat yang terdapat dalam prambule UUD 1945 lahirlah kebijakan-kebijakan pemerintah yang erat kaitannya dengan usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya pencerdasan bangsa yang dimaksud teraktualkan melalui proses yang lazim disebut pendidikan. Dari sini lahirlah beragam kebijakan pemerintah sebagai regulasi yang termuat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN).
Sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, negara telah mengeluarkan berbagai kebijakan mengenai pendidikan.Secara sederhana hal ini dapat dipahami bahwa banyaknya kebijakan pemerintah mengenai pendidikan adalah indikasi bahwa negara memberikan perhatian serius.Namun banyaknya produk peraturan mengenai pendidikan menjadi kontra-produktif manakala kebijakan-kebijakan tersebut justeru mengaburkan arah dari tujuan pendidikan itu sendiri.  Menurut Winarno Surakhmad sebanyak 25 menteri pendidikan sampai hari ini (sejak 1945 sampai dengan 2012), sejak dirintis oleh Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pengajaran yang pertama, arah dan strategi pendidikan nasional sampai saat ini berubah-ubah.
Sejatinya pendidikan yang dilangsungkan di mana pun harus lebih dulu disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural tempat dimana pendidikan dilangsungkan.Dalam konteks Indonesia, pendidikan yang dislenggarakan dan terlebih kebijakan yang berkaitan erat dengan pendidikan harus selaras dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia.Pancasila adalah dasar Negara yang disepakati oleh bangsa, sehingga seluruh gerak kehidupan berbangsa dan bernegara harus selaras, sesuai, dan sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, dan terjabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah.
Berkenaan dengan perubahan atau dapat disebut sebagai perkembangan kebijakan pendidikan Indonesia, Van Der Kroef memberikan kategorisasi fase perkembangan pendidikan Indonesia dalam tiga fase.Fase pertama adalah fase dimana bangsa Indonesia belum mengenal metode yang dilangsungkan di negara-negara Barat, sehingga aktivitas pendidikan semuanya berdasar pada keaslian budaya masyarakat nusantara.Fase yang kedua adalah fase saat bangsa Indonesia berada dalam koloni Belanda maupun Jepang.Pada saat ini bangsa Indonesia mulai mengenal dan membangun model pendidikan lebih modern dibanding fase sebelumnya.Selanjutnya adalah fase nasional yang dimulai dari keberhasilan bangsa Indonesia mengusir penjajah sampai sekarang. Dalam perkembangannya, pada fase ketiga ini juga mengalami dinamika yang patut diperhatikan. Dari periodeke periode lainnya kebijakan mengenai pendidikan selalu silih berganti, termasuk di dalamnya lahirnya UU No. 2 tahun 1989 yang merupakan perubahan dari kebijakan sebelumnya dan selanjutnya UU ini digantikan oleh UU yang lainnya.

Pembahasan
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia
Pesantren dapat dipahami dari dua sisi pemahaman.Dua sisi pemahaman yang dimaksud adalah pengertian dari segi fisik dan pengertian dari sisi kultural.Dari segi fisik pesantren merupakan sebuah komplek pendidikan yang terdiri dari susunan bangunan yang dilengkapi dengan sarana pendukung penyelenggaraan pendidikan.Dalam artian ini pesantren tertandai oleh bangunan pemondokan sebagai tempat tinggal santri, bangunan dapur sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan keseharian santri, bangunan tempat belajar, rumah Kyai serta masjid.Sedangkan secara kultural, pesantren mencakup pengertian yang lebih luas mulai dari sistem nilai khas yang secara intrinsik melekat dalam pola kehidupan komunitas santri, sikap ikhlas dan tawadhu, serta tradisi keagamaan yang diwariskan secara turun temurun.Hal ini menjadikan Kyai memilikiotoritas yang sangat besar.
Terdapat beberapa pandangan mengenai asal usul kehadiran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di nusantara.Pandangan pertama menyebutkan bahwa asal usul pesantren tidak dapat dilepaskan dari keberadaan lembaga pendidikan sebelumnya.Hal ini sebagaimana disebut oleh Karel A. Steenbrink. Selain itu, Marttin van Bruinessen menyebutkan bahwa pesantren bukan merupakan lembaga pendidikan orisinil bangsa Indonesia. Berdasar pandangan di atas, kiranya Pesantren dapat disebut sebagai upaya kreatif umat Islam jaman dulu dalam “mengislamkan” lembaga pembelajaran yang ada di jaman sebelumnya, yang kuat dengan muatan Hindu-Budhanya.Ketika dalam perkembangannya pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam, maka hal itu merupakan bukti bahwa ajaran-ajaran Islam dapat bergumul secara apik dengan kondisi setiap masyarakat.Secara luas pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang khas dimiliki bangsa Indonesia.
Zamakhsyari Dhofier mencatat bahwa pada periode 1970 – 1998 telah berkembang variasi dan tipe pendidikan pesantren yang masing-masing memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Zamakhsyari kemudian mengategorisasikan pesantren kepada kategori pesantren tipe lama (salaf) dan tipe baru.Istilah pertama merujuk pada pesantren yang mangajarkan pendidikan ilmu-ilmu agama Islam, dan tidak memberikan layananpembelajaran pengetahuan umum.Berbeda dengan itu, istilah kedua mengandung artian pada pesantren yang disamping mengajarkan ilmu-ilmu agama, diajarkan juga beragam pengetahuan umum.Pesantren tipe kedua ini membuka madrasah-madrasah atau bahkan sekolah-sekolah yang memasukan pelajaran umum sebagaimana yang berlangsung di sekolah pada ghalibnya.
Selain pesantren mengalami pertambahan dan perkembangan, tidak berarti pesantren terhindar dari problematika. Menurut Malik Fadjar, pesantren dituntut untuk dapat melakukan kontekstualisasi tanpa mengorbankan watak aslinya sebagai pesantren. Untuk melakukan hal ini, beberapa kelemahan yang ada di pesantren adalah dari segi kepemimpinan, metodologi, dan terjadinya disorientasi. Mengenai kepemimpinan, pesantren terlalu sentralistik dan hamper tidak ada sharing power dari sang Kyai kepada yang lainnya. Semua halnya berpusat pada diri seorang Kyai.Mengenai metodologi yang berlangsung di pesantren disebut oleh Muhammad Tholhah Hasan bahwa metodologi yang berlangsung di pesantren  membawa dampak lemahnya kreativitas, sehingga keilmuan yang dipelajari nyaris menjadi ilmu yang tertumpuk dan kurang dapat dioperasionalkan secara lebih realistis. Selanjutnya mengenai disorientasi yang dialami pesantren adalah berkaitan dengan hilangnya kemampuan pesantren dalam mendefinisikan dan memosisikan dirinya di tengah perubahan sosial yang demikian cepat.Hal ini dikarenakan pesantren seperti enggan mengikuti kenyataan hidup yang serba berkembang dan berubah-ubah.

Dari Dualisme Sistem Pendidikan menuju Penyatuan yang Tak Terpisahkan
Masuknya kolonial Belanda ke tanah Nusantara membawa terjadinya persentuhan sistem pendidikan bangsa Indonesia dengan sistem pendidikan Belanda.Menurut Arif Furqon, keadaan ini mengawali terjadinya dualisme pendidikan di Indonesia. Di satu pihak terdapat pendidikan rakyat yang berintikan pendidikan Islam (sebagaimana yang berlangsung di pesantren), dan di lain pihak terdapat pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan bersifat sekuler dan diskriminatif.Dalam catatan Martin van Bruinessen, tokoh pertama dari kalangan pegawai pemerintah Belanda yang serius dalam bidang pendidikan adalah J.A. van der Chijs. Setalh menjabat Inspektur Pendidikan ia menolak menyesuaikan pendidikan Islam yang ada berdasar atas alasan bahwa pada dasarnya ia setuju jika sekolah pribumi diselingi dengan kebiasaan pribumi, namun hal itu baginya tidak dapat diterima karena kebiasaan pribumi sangatlah jelek. Kebiasaan jelak pendidikan pribumi yang dimaksud van der Wihijs adalah kebiasaan metode membaca teks Arab yang hanya dihafal.
Pada saat bersamaan terdapat sekolah sanding di Minahasa danMaluku.Sekolah ini sejak awal didirikan adalah sebagai pusat pendidikan agama dan disubsidi oleh pemerintah Kolonial.Ternyata sekolah ini justeru lebih dulu dapat diakui atau bahkan dimasukkan dalam system pendidikan kal itu, disbanding pesantren yang notabenenya merupakan lembaga pendidikan yang telah lebih dulu ada. Sikap ini didasari atas alasan bahwa seklah zending telah diajarkan baca tulis huruf latin dan dasar-dasar ilmu umum lainnya. Sejak itu lembaga pendidikan Islam mengambil jalannya sendiri dan lepas dari Gubernamen serta tetap berakar pada tradisi yang ada.Dalam pandangan Martin, system pendidikan di Indonesia bukanlah hasil penyesuaian dengan lembaga pendidikan Islam tradisional, melainkan justeru lembaga pendidikan Islam yang menyesuaikan diri dengan system pendidikan umum.
Pada masa penjajahan Jepang yang dating setelah hengkangnya Belanda, sifat diskriminasi ini sedikit demi sedikit dihapuskan.Setelah masa penjajahan berakhir, dari waktu ke waktu, sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya, terdapat perubahan kebijakan dalam bidang pendidikan.Hal ini dapat ditelusuri misalnya ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 ada keinginan di kalangan para pendidik nasional untuk menggabungkan ketiga unsuryang ada dalam pendidikan rakyat pada masa itu. Ketiga unsur yang dimaksud  adalah unsur budaya setempat, unsur agama, dan pengetahuan Barat.
Rencana sebagaimana tersebut di atas disusun oleh sebuah panitia kecil yang menjadi bagian dari Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan diketuai oleh Ki Hajar Dewantara.Oleh panitia kecil ini pendidikan agama disepakati untuk diberikan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah. Sebenarnya pendidikan agama pada masa pendudukan Jepang dapat diselenggarakan di sekolah namun hanya di wilayah Sumatera Bagian Barat, dan tidak diperbolehkan di wilayah lain. Pendidikan agama dapat diselenggarakan di semua sekolah pemerintah dimulai setelah kesepakatan yang lahir dari tim kecil sebagaiman tersebut. Pada saat itulah pendidikan nasional Indonesia mulai meninggalkan sifat sekulernya.Hal ini adalah sesuai dengan dasar Negara Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kebijakan pemerintah yang memasukan pendidikan agama sebagai materi belajar di sekolah tentunya berbeda dengan keadaan sebelumnya, yakni pada masa-masa pendudukan Belanda.Pada masa pendudukan Belanda disamping pendidikan bersifat sekular, pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Belanda juga diskrminatif, dalam arti persekolahan didasarkan pada strata kelas masyarakat.Ada sekolah untuk anak orang Eropa, untuk anak orang Asing Timur (Cina Arab), untuk anak orang bangsawan, dan untuk anak orang kebanyakan.Pendidikan yang dilangsungkan juga diorientasikan kepada kebudayaan Barat dengan asumsi budaya Barat lebih tinggi dan beradab daripada budaya setempat.
Kemerdekaan membawa perubahan besar dalam ranah kebijakan pendidikan Indonesia.Hal ini dapat dilihat dari sikap pemerintah kepada lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh umat Islam, yakni madrasah.Madrasah lahir diawali dari kesadaran bangsa dan pemerintah yang memasukkan materi pendidikan agama dalam pendidikan.Kebijakan ini direspons dengan sangat antusias oleh kebanyakan umat Islam.

Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia dari  masa ke masa
Menurut Arief Furqan para ahli sejarah pendidikan Indonesia biasanya melacak perkembangan pendidikan nasional Indonesia mulai jaman pra-Islam. Namun sebenarnya sulit untuk dapat menyebut pendidikan saat itu sebagai pendidikan nasional Indonesia, karena pada jaman itu bahkan sampai jaman kerajaan Islam, Negara nusantara yag berwilayah seluar Negara Republik Indonesia ini belum ada. Kendati demikian, ada persamaan dalam system pendidikan di masa itu, yaitu pendidikan formal yang ada bersifat elitis.
Di jaman Hindu pendidikan agama hanya diperuntukan bagi calon pendeta, sedangkan pendidikan budaya hanya diberikan kepada kalangan istana.Rakyat biasa pada umumnya tidak mengenal kedua model pendidikan tersebut. Kalaupun ada yang mengetahui, pengetahuan mereka akan kedua hal tersebut sangat dangkal. Hal ini adalah dikarenakan system keagamaan Hindu-Budha pada waktu itu masih sangat elitis, yang menetapkan bahwa pengetahuan agama adalah monopoli kalangan Brahmana.
Pendidikan agama menjadi pendidikan yang dilangsungkan secara massif adalah ketika agama Islam semakin tersebat di nusantara. Ajaran Islam yang mengharuskan setiappemeluknya untuk mengetahui apa yang harus dipercayainya dan apa yang tidak boleh dipercayainya telah memaksa umat Islam untuk belajar tentang Islam.Tuntutan dari bawah akan adanya pendidikan agama bertemu dengan keinginan dan tanggung jawab berdakwah dari kalangan muslim terdidik. Pertemuan keduanya menjadikan banyak berlangsung pendidikan agama (Islam).Sampai pada peralihan abad ke dua puluh pendidikan Islam di masjid dan pesantren merupakan satu-satunya sumber pendidikan bagi kebanyakan masyarakat nusantara. Pada masa ini pendidikan formal kebanyakan diselenggarakan atas inisiatif rakyat dan dibiayai secara swadaya, dan tidak dikaitkan dengan pekerjaan setelah lulus.
Pendidikan yang dikaitkan dengan pekerjaan mulai dengan diperkenalkannya pendidikan Barat oleh Belanda di awal abad ke dua puluh. Pendidikan masa colonial Belanda didorong oleh kebutuhan akan tenaga atau pegawai tingkat rendah dan murah guna keperluan kelancaran roda administrasi pemerintah colonial. Pendidikan kala ini bersifat sekuler.Pendidikan ini dimanfaatkan oleh seorang ahli Islam, Snouck Hurgronje yang ingin menciptakan suatu elit modern bangsa Indonesia yang berpendidikan dan berbudaya Barat yang diharapkan pada akhirnya dapat mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Mengingat pada masa itu Belanda sudah menguasai seluruh wilayah yang kemudian menjadi wilayah Negara Republik Indonesia sekarang, maka baru pada saat itu kebijakan pendidikan pemerintah dapat dikatakan sebagai kebijakan pendidikan secara nasional.
Pada tahun 1947 Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Mr. Suwandi mengumumkan Sepuluh Dasar Pendidikan Nasional di mana dasar pertamanya adalah pengembangan rasa berbakti kepada Tuhan. Karena ada kesenjangan antara rumusan dan pelaksanaannya, pada tahun 1950 lahir Undang-undang nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah yang merevisi tujuan pendidikan dari aturan sebelumnya. Dalam UU Nomor 4 Tahun 1950, tujuan pendidikan adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang  demokratis serta bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Istilah manusia susila menjadikan kaburnya signifikansi pendidikan agama, karena dapat ditafsiri secara berbeda, misalnya bahwa manusia susila adalah manusia yang bermoral dan manusia bermoral tidak selalu beragama.Hal ini memang sesuai konteks social politik Indonesia kala itu yang terbagi antara golongan agama dan non-agama (komunis).
Setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI) pemerintah mengubah dan status pendidikan agama menjadi wajib diajarkan di sekolah negeri.Namun saat itu perubahan status tersebut tidak segera diikuti oleh perubahan rumusan tujuan pendidikan nasional yang secara tegas mengukuhkan posisi pendidikan agama dalam kurikulum itu.Rumusan pendidikan nasional pada tahun 1966 berbunyi pendidikan bermaksud untuk membentuk manusia Pancasilais Sejati berdasarkan ketentuan yang dikehendaki oleh UUD 1945 (Tap MPRS No.XXVII/1966). Selanjutnya pada 1973 lahir ketetapan MPR tentang GBHN yang menyebutkan bahwa yujuan pendidikan nasional adalah bahwa pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia pembangun yang sehat jasmani dan rohaninya, dapat memiliki pengetahuan dan keterampilan  yang bertanggungjawab. Rumusan ini lebih maju disbanding rumusan sebelumnya pada tahun 1966.Karena kesehatan rohani menjadikan pendidikan agama memiliki posisi penting.
Pada akhirnya pada tahun 1989 lahir UU Sitem pendidikan nasional yang memiliki rumusan lebih akomodatif terhadap pendidikan agama. Disebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.  

Madrasah dan Lembaga Pendidikan Islam dalam UU No. 2 Tahun 1989
Pada permulaannya madrasah adalah suatu lembaga pendidikan yang memberikan layanan pembelajaran materi-materi ilmu agama Islam.Sehingga di saat perhatian pemerintah belum sepenuhnya perhatian terhadap pendidikan agama, maka madrasah sebagai lembaga pendidikan pun belum mendapat perhatian yang mencukupi dari pemerintah.Secara etimologi madrasah merupakan bentuk keterangan tempat dari darasa yang secara umum dapat dipahami sebagai belajar.Dari artian sederhana ini, maka madrasah memiliki arti tempat dilangsungkannya prosesi belajar.Dalam konteks Indonesia kini, sebutan atas tempat dilangsungkannya prosesi belajar adalah sekolah.Walaupun secara artian etimologi antara sekolah dan madrasah memiliki arti yang dekat, sama-sama sebagai tempat belajar, namun dalam tataran praktis, kedua istilah memiliki perbedaan dalam pemakaiannya.Istilah yang pertama konotasi yang timbul adalah tempat dilangsungkannya pembelajaran dengan materi-materi pelajaran umum, sedangkan istilah madrasah memiliki artian khusus, yakni tempat dilangsungkannya pembelajaran dengan materi-materi agama sebagai major subject.
Pemerintah sebagai pengatur dan pembuat regulasi dari segenap gerak langkah kehidupan berbangsa dan bernegara, senantiasa melakukan perubahan-perubahan kebijakan, khususnya kebijakan mengenai posisi madrasah dalam bingkai sistem pendidikan nasional.Diawali dari lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 1975, yang merupakan momentum kebangkitan madrasah.Melalui SKB tiga Menteri tersebut, posisi madrasah diharapkan dapat sejajar dengan sekolah pada umumnya. Beberapa dictum yang tercantum dalam SKB tersebut adalah:
1. Madrasah meliputi tiga tingkatan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah setingkat SLTP, dan Madrasah Aliyah setingkat SLTA.
2. Ijazah madrasah dapat memiliki nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat.
3. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
4. Siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.
Signifikansi dari lahirnya SKB tiga Menteri tersebut adalah terjadinya mobilisasi sosial dan vertikal siswa-siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga-lembaga tradisional, dan membuka peluang anak-anak santri memasuki wilayah sector modern.
SKB tiga Menteri ini merupakan bentuk apresiasi nyata pemerintah terhadap kalangan muslim Indonesia, sekaligus dukungan nyata pemerintah atas upaya mendorong kemajuan dan perkembangan madrasah. Setelah tahun 1975 lahir SKB 3 Menteri, selanjutnya  pada tahun 1984 dikeluarkan SKB 2 Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Lahirnya SKB tersebut dijiwai oleh Ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya Penyesuaian Sistem Pendidikan, sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dengan melakukan perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara pelbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.Sehingga sebagai tindak lanjut SKB 2 Menteri tersebut lahirlah "Kurikulum 1984" untuk madrasah, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No. 99 tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah, No. 100/1984 untuk Madrasah Tsanawiyah dan No. 101 Tahun 1984 untuk Madrasah Aliyah.
Diantara rumusan kurikulum 1984 adalah memuat hal-hal strategies, diantaranya:
1. Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTs, dan MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kurikuler dan ekstra kurikuler baik dalam program inti maupun program pilihan.
2. Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan apa yang dipelajarinya.
3. Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan peningkatan proses dan hasil belajar serta pengelolaan program.
SKB yang lahir semakin memperteguh dan menjadikan umat muslim Indonesia semakin bangkit dalam melakukan pembenahan dan perbaikan mutu pendidikan lebaga pendidikan Islamnya. Lahirnya SKB sebagaimana tersebut di atas merupakan bentuk kesadaran dan apresiasi pemerintah atas peran umat Islam yang sangat signifikan dalam mengisi kemerdekaan.Selain dari pada itu, bentuk apresiasi pemerintah terhadap umat Islammenjadi semakin nyata ketika pemerintah menyusun rancangan UU Sistem Pendidikan Nasional yang dikenal dengan UU No.2/1989.Rancangan UU ini selanjutnya dibahas oleh Pansus yang diketuai oleh perwakilan-perwakilan dari tiap fraksi yang ada.Anggota Pansus ini terdiri dari 48 anggota tetap, dan 23 orang merupakan anggota pengganti.Rapat-rapat di tingkat Pansus selalu diwarnai perdebatan tentang beberapa pasal yang dianggap dapat mengganggu stabilitas dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Berkat adanya dorongan kuat dari para anggota pansus dan sikap terbuka dari Menteri Pendidikan ketika itu, Fuad Hasan, maka pada Senin 6 Maret 1989 UU No. 2 tahun 1989 disahkan oleh DPR-RI dalam rapat siding yang diketuai R. Soekardi dan dihadiri oleh 366 dari 496 anggota siding, serta dihadiri pula oleh Prof. Dr. Fuad Hasan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selaku wakil pemerintah.
Selaku Ketua Sidang dalam laporannya menggambarkan jalannya masa siding selama proses RUU ini dibahas. Di antaranya adalah:
1. RUU Sisdiknas disampaikan oleh pemerintah ke DPR-RI pada 23 Mei 1988.
2. RUU tersebut diberitahukan kepada para anggota DPR sebelum keterangan pemerintah disampaikan.
3. Keterangan pemerintah atas UU tersebut disampaikan pada 29 Juni 1988.
4. Pandangan Umum anggota DPR disampaikan dalam rapat paripurna tanggal 8 dan 9 September 1988.
5. Jawaban pemerintah atas pandangan umum para anggota DPR disampaikan dalam Rapat Paripurna tanggal 16 September 1988.
6. Pembahasan RUU tersebut oleh Pansus dilaksanakan sejak 26 September 1988 sampai 28 Februari 1989.
7. Pengambilan keputusan atas RUU Sisdiknas pada Senin 6 Maret 1989.
Secara umum pasal-pasal yang terdapat dalam UUno.2/1989 dapat diterima oleh semua fraksi.Hanya yang menjadi perdebatan adalah seputar substansi dan redaksi pasal-pasal yang mencanutmkan masalah agama, hak warga negar untuk memeroleh pendidikan, tenaga kependidikan, kurikulum, dan ciri khas satuan pendidikan.Hanya Fraksi Demokrasi Perjuangan yang memberikan catatan khusus atas penejlasan Pasal 28 dalam UU ini. Bagi F-DI, penjelasan ini tidak diperlukan sehingga harus dihapus. Pasal yang menjadi catatan bagi F-DI adalah mengenai tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama peserta didik.Disahkannya UU No. 2 tahun 1989 adalah sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 Jo.Nomor 12 tahun 1954.
Lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diundangkan dan berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989, memberikan perbedaan yang sangat mendasar bagi pendidikan agama. Pendidikan agama tidak lagi diberlakukan berbeda untuk negeri dan swasta, dan sebagai konsekuensinya diberlakukan Peraturan Pemerintah sebagai bentuk operasional undang-undang tersebut, yaitu PP 27/1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah, PP 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP. No. 30/1990 tentang Pedidikan Tinggi (disempurkankan dengan PP.22/1999). Semua itu mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga umum.UU dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi dampak positif bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam.Sejak diberlakukan UU No. 2 Tahun 1989 tesebut lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional.Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan.
UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan SLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.Dalam UU No 2 Tahun 1989 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.  
Redaksi tujuan pendidikan nasional sebagaimana tersebut di dalam Undang-Undang tersebut mencerminkan adanya kesadaran bangsa Indonesia akan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini menjadikan gerak langkah dan praksis pendidikan nasional menjadikan tujuan keimanan dan ketakwaan sebagai penuntun.Hal ini juga yang menjadikan adanya pergeseran posisi madrasah dan lembaga pendidikan Islam lainnya.
Bagi Malik Fadjar, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 merupakan murni sebagai aspirasi dari era kemerdekaan, walaupun prakteknya pendidikan yang berlangsung juga belum dapat terbebaskan dari produk masa lalu. Dalam hal ini terutama berkaitan dengan pengakuan dan penghargaan, yang tolok ukurnya lebih banyak tergantung pada political will pemerintah, yang selalu menjadi acuan pokok. Oleh sebab itu menurut Fadjar semua institusi pendidikan formal baik berupa sekolah, madrasah, perguruan tinggi maupun podok pesantren baik system maupun penyelenggaraannya sangat terkait oleh system yang dibakukan oleh pemerintah. Walaupun diakuinya hal itu sering mengandung konsekuensi metodologis-paedagogis maupun dikotomi epistemologis-teoritik yag kurang diehendaki.
Dari paparan di atas dapat dinyatakan bahwa ketika situasi dan pola hubungan umat Islam dengan pemerintah terjadi konflik atau tidak harmonis maka perkembangan madrasah  cenderung terbatasi bahkan mungkin terancam eksistensinya.Hal ini sebagaimana nasib madrasah dan lembaga pendidikan Islam selama jaman penajajahan Belanda.Begitu sebaliknya ketika kondisi dan pola hubungan Negara dengan umat Islam kondusif maka perkembangan madrasah tampak positif bahkan menempatkan madrasah pada posisi yang konsisten dalam system pendidikan nasional. Sejak kemerdekaan Indonesia,madrasah dan lembaga pendidikan Islam mengalami perubahan atau pergeseran posisi. Hal ini seiring degan perubahan dan perkembangan tujuan pendidikan nasional yang ada. Adanya pergeseran posisi yang dialami madrasah dan lembaga pendidikan Islam lainnya adalah bukti kuatnya upaya dan perjuangan para tokoh muslim yang memiliki perhatian besar atas kelangsungan genarasi muslim di masa mendatang.

Kesimpulan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 merupakan hasil pergumulan panjang masyarakat Indonesia. Perjumpaan dan persinggungan antar pemangku kepentingan yang menyertai lahirnya UU ini merupakan bukti bahwa bangsa Indoneisa telah mampu menjalankan proses demokratisasi secara baik, walaupun era lahirnya UU ini pada jaman sekarang sering disebut sebagai jaman yang tidak demokratis. Pengaruh besar para tokoh Islam yang diperankan dalam proses pergumulan tersebut membuktikan bahwa para tokoh umat Islam ketika itu memiliki kesadaran tinggi akan arti pentingnya pendidikan agama bagi kelanjutan generasi Islam di masa depan.
Madrasah pada awalnya merupakan lembaga pendidikan populis yang diprakarsai dan diselenggarakan oleh masyarakat secara swadaya.Madrasah dari masa ke masa mengalami evolusi kelembagaan.Madrasah yang dipahami sebagai tempat belajar agama semata, dalam perkembangannya madrasah memasukkan muatan-muatan pelajaran umum sebagaimana yang diajarkan di sekolah. Posisi madrasah dalam kaitannya dengan sistem pendidikan nasional Indonesia mengalami apa yang disebut Arif Furqon sebagai pergeseran sifat konfessionalitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar