Makalah Pendidikan Keimanan Rumah Tangga

Berikut ini adalah Makalah Pendidikan Keimanan Rumah Tangga. Semoga makalah berikut ini dapat membantu anda dalam mengerjakan tugas makalah anda.

Pada bab ini dijelaskan beberapa hal mengenai pendidikan agama yang harus dilakukan di rumah tangga bagi anak (anak-anak) yang berumur lebih kurang 0 sampai dengan lima (5) tahun. Hal-hal yang dijelaskan ialah mengenai pentingnya pendidikan agama bagi anak-anak umur 0-5 tahun: perkembangan biologis/ psikologis, keagamaan mereka, serta yang terpenting tujuan, materi, alat, dan upaya pendidikan keimanan bagi anak berumur 0-5 tahun.

A. Pentingnya Pendidikan Agama bagi Anak Usia 0-5 Tahun
Kita selaku orang tua, hampir setiap saat dicekam berbagai kecemanasan karena tingkah laku anak-anak kita sendiri. Acap kali kita tidak memahami anak kita sendiri, yang kadang-kadang dianggap patuh, tertib, rajin, hormat, akan tetapi kadang-kadang dianggap membangkang, nakal, kurang sopan, malas, dan kurang bergairah belajar.
Fenomena ini tentu saja berpangkal pada perlakuan yang pernah diterima anak itu, dari kita sebagai orang tuanya, atau mungkin juga dari lingkungan yang mewarnai hidup dan kehidupan anak itu.
Sebagai orang tua acap kali kita menghendaki anak selalu ada di rumah; duduk di sebelah kita, bercengkerama dengan ibu dan ayah serta adik dan kakaknya. Sering pula kita mengharapkan anak kita tidak perlu disuruh-suruh melakukan salat tepat waktu. Kita ingin ia pergi ke mesjid sendiri, atas keinginan dan kehendak sendiri. Namun, kerap kali yang terjadi malah sebaliknya. Timbul pertanyaan dari kita, sebagai orang tua si anak: Apa yang terjadi pada anak itu? Fenomena seperti ini baru nampak setelah anak berada pada masa remaja, masa anak menyatakan diri sebagai manusia mandiri.
Sekiranya kita menelaah perjalanan perbuatan dan perlakuan kita kepada anak tersebut, jawaban dari per¬tanyaan itu sedikit demi sedikit akan terungkapkan. Pengalaman pendidikan seperti apa yang pernah dialami anak sejak lahirnya, bahkan sejak sebelum lahir yaitu sejak kita, sebagai orang tuanya, memilih pasangan hidup? Sentuhan-sentuhan macam apakah yang dihayati anak saat berada pada pangkuan pertama ibunya? Bukankah Rasulullah saw. telah mengingatkan kita dengan sabdanya:
Betapa jelasnya bunyi hadis itu: Karena tangan-tangan orang tuanyalah, si anak dapat berubah arah; yang tadinya fitrah, malah menjadi menyimpang, Kelahiran anak itu sendiri fitrah, dan orang tuanyalah yang me¬warnai dengan celupan majusi, nasrani, atau yahudi. Analogi dari hadis tersebut adalah bahwa kenakalan, kemalasan, ketidakpatuhan, serta ketidaksopan itu, akibat ulah orang tuanya. Padahal, sejak kejadian dan kelahir-annya, anak itu fitrah.
Sekiranya kita telah menyadari bahwa anak itu dicemari oleh tangan-tangan orang tuanya yang keliru, wajarlah apabila kita segera mencari landasan yang kokoh, agar pendidikan anak kita tidak dilumuri tangan-tangan kotor dari orang tuanya.
Dalam Islam, kita menemukan dua konsep ajaran Rasulullah saw. yang maknanya sangat padat dan memiliki kaitan erat dengan tujuan pendidikan; yaitu iman dan takwa. Kedua konsep itu tidak dapat dipisahkan. Takwa merupakan asas dari berbagai kebajikan, dan bahkan sebagai induk segala perbuatan dan ibadah manusia. Sedangkan iman merupakan pernyataan pembenaran dengan kalbu sehingga manusia terbebas dari berbuat dusta. Lebih jauh lagi, menurut syariat Islam, iman adalah I’tikad dalam kalbu dan iqrar dengan lisan yang diwujudkan dalam berbagai amalan dengan segala ketentuannya. Ini berarti bahwa seorang yang beriman, pasti berserah diri kepada Allah swt.; artinya menjadi Muslim hakiki.
Hal itu terungkap dalam qaul ulama (Bustanul 'Arifin, dalam Isma'il al-Buruswi,1100 H. Juz 1:172):
Ini berarti bahwa apabila kalbu seseorang telah diisi iman, segala perbuatan dan perilakunya akan dibimbing dan diarahkan oleh iman itu.
Ulama lainnya (Ismail al-Buruswi,1100 H. Juz 1:203) menyatakan bahwa iman itu terlindung oleh lima benteng:
Demikianlah iman memiliki lima benteng: yang pertama adalah keyakinan; kedua, ikhlas; ketiga, menunaikan fardu; keempat, menunaikan amal sunah; dan kelima, berbuat sopan santun dan adab. Selama orang itu mampu memelihara sopan santun dan adabnya, setan tidak akan merongrong benteng amal sunat, tidak pula merongrong amal wajib, tidak pula merongrong keikhlasan dalam beramal serta keyakinan. Oleh karena itu, seyogianya ia memelihara sopan santun dalam segala urusannya.
Implikasi dari ungkapan ulama tersebut ialah bahwa pendidikan memiliki peranan sentral untuk memelihara sopan santun dan adab, agar kelima benteng itu tidak dapat ditembus sehingga iman tetap terpelihara. Karena itu, pendidikan hendaknya diarahkan untuk menata hidup manusia agar selalu berakhlaqul karimah, sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan selaku hamba Allah swt. agar hidup maslahat di dunia dan akhirat. Ini berarti pada dasarnya pendidikan anak itu merupakan upaya menyiapkan manusia agar tetap mampu memelihara kelima benteng iman itu.
Penataan pendidikan manusia agar beriman dan bertakwa, sebagai ikhtiar manusia, hendaknya bermula dari niat orang tua yang menjadi wasilah dilahirkannya anak, sesuai dengan harapan dan permohonannya kepada Allah. Wujud permohonan dan harapannya itu dinya takan dalam doa:
Permohon orang tua adalah agar anak keturunannya, buah hatinya, dilimpahi taufik untuk tetap taat kepada Allah swt. dan kalbunya selalu terpaut kepada-Nya (Isma'il al-Buruswi,1100 H., Juz VI:252).
Awal mula pendidikan anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan pernikahan, yaitu melaksanakan sunah Rasul: lahirnya keturunan yang dapat meneruskan risalah. Pernikahan yang baik, seyogianya dilandasi keinginan untuk memelihara keturunan, tempat menyemaikan bibit iman, melahirkan keluarga sehat, serta memenuhi dorongan rasa aman, sejahtera dan sakinah, penuh mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu, pemilihan pasangan sebelum nikah pun menjadi kepedulian utama dalam merancang pendidikan anak. Seorang ahli pendidikan (Abdullah Nashih 'Ulwan, 1401 H:33) mengungkapkan sebagai berikut:
Tentu saja yang dimaksud adalah pasangan hasil pilihan itulah yang menyiapkan bangsa yang kokoh berbobot itu. Sang pria, sebagai calon ayah, memilih pasangan yang kufu. Begitu pula sang perempuan pun. Sebagai calon ibu, perempuan menentukan pilihan berdasarkan kriteria Islam. Dalam kriteria dalam memilih jodoh Rasulullah saw. telah bersabda: 
Nashih 'Ulwan (1401 H:35) menyatakan bahwa pasangan yang menetapkan agama sebagai landasan memilih, tidak akan terpukau oleh harta, kecantikan, dan keturunan. Harta, keturunan, dan kecantikan bersifat temporer; sedangkan agama bersifat abadi bagi kehidupan dunia dan akhirat. Rasulullah saw. sendiri menjelaskan bahwa orang yang memilih kemuliaan sebagai landasan dalam memilih jodoh, malah ia akan terhinakan. Dan apabila harta menjadi landasan pilihan, ia akan menjadi selalu merasa kekurangan. Apabila keturunan yang ia pilih sebagai landasan utama, ia akan selalu merana (Al-Thabrani dari Anas). Hadis lain yang diriwayatkan oleh Siti 'Aisyah r.a. menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Dari hadis dan uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa pendidikan tidak dapat berawal dari tengah perjalanan. Pendidikan hendaknya bermuara dari kebeningan cinta dan rasa kasih sayang, melalui tata cara yang dipolakan dengan penuh kehangatan, keamanan, dan kenyamanan, serta berjuang pada pencapaian rida Allah.
Ada beberapa kaidah primer yang seyogianya dipegang teguh dalam upaya pendidikan keimanan bagi anak:
(1) Pendidikan itu hendaknya dilandasi pernikahan yang berlangsung sebagai wujud dari fitrah manusia selaku hamba Allah yang selalu beribadah hanya kepada Allah.
(2) Pernikahan yang dilakukan hendaknya diarahkan kepada kemaslahatan pribadi dan masyarakat yang akan mewariskan keturunan hamba Allah yang beriman, sehat lahir dan batin, dunia dan akhirat
Dari landasan pernikahan seperti itulah, pendidikan keimanan seyogianya dimulai.
Mengingat iman itu dapat berkurang dan bertambah, maka pendidikan seyogianya dilakukan secara terus menerus, menggunakan segala kesempatan dan situasi. Orang tua tidak dapat lengah sedikit pun dari upaya mendidik anak, bertopang pada landasan yang kokoh, menelusuri liku-liku kehidupan, serta menyingkirkan berbagai rongrongan yang dapat mencemari fitrah manusia. Peran yang diambil orang tua, khususnya ibu, pada masa-masa awal kelahiran anak, sangatlah besar, mendalam, dan mendasar. Bukankah ibu dari anak itulah yang pertama kali dikenal oleh sang bayi yang baru lahir? Karena itulah, pendidikan iman tidak dapat begitu saja diserahkan ke tangan sembarang orang. Pendidikan keimanan hendaknya dilakukan oleh tangan-tangan halus dan sentuhan kalbu ibunya, hasil pertemuan dengan ayah yang sama-sama berniat memiliki anak saleh, disirami kasih sayang untuk meraih rida Allah.
Keberhasilan pendidikan pada masa-masa awal kelahiran itu, membekas sangat mendasar dan mendalam, sehingga tahun-tahun selanjutnya tinggal memperluas wawasan, dan meningkatkan kemantapan pribadi, sesuai dengan ajaran Rasulullah. Kekeliruan yang terjadi pada masa awal kelahiran anak akan memberikan dampak yang sulit diluruskan. Hal itu menuntut kesabaran, keuletan, dan ketawakalan kepada Allah.
Sehubungan dengan era globalisasi, Achmad Sanusi (1995) menyatakan bahwa pendidikan masa mendatang akan sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Di antara perbedaan itu adalah sebagai berikut:
(1) mencakup sasaran khalayak yang amat luas;
(2) mengandung sasaran tujuan dan kepentingan yang berbeda; menuntut suasana yang bervariasi serta multi metode dan multimedia;
(3) buku teks dan bahan belajar bukan satu-satunya sumber informasi;
(4) fungsi utama pendidikan bergeser dari memberi tahu, mengajar, dan membina ke membelajarkan orang lain;
(5) fungsi mendapat tarbiyah, ke wajib thalabul-ilmi',
(6) belajar bersifat individual, tapi dialogis-, membentuk makna dan diperoleh melalui berbagai sumber. 2. Perkembangan Biologis, Psikis dan Religius Anak 0-5 Tahun.
Pada dasarnya, pertumbuhan dan perkembangan anak memperlihatkan berbagai variasi, baik biologis maupun psikis. Pada mulanya, perbedaan perkembangan ini diperoleh melalui pengalaman orang tua pada saat menghadapi anak mereka masing-masing. Banyak orang tua yang melihat perbedaan perkembangan di antara anak-anaknya sehingga mereka memperlakukan anak-anaknya secara berbeda pula. Secara intuitif orang tua, khususnya ibu-ibu mereka, menata kehidupan anak, dalam upaya mendidiknya, secara turun-temurun diwariskan kepada anak-anaknya.
Memang benar telaah ilmiah tentang perkembangan anak di Indonesia masih langka. Lahirnya keyakinan tradisional yang turun temurun tentang perkembangan itu tidak selamanya keliru, kadang-kadang ada benarnya. Sekiranya pengalaman yang turun temurun itu dijadikan hipotesis kerja dan diuji secara ilmiah, mungkin akan sampai pada tahap signifikansi tertentu.
Dalam menelaah perkembangan anak, perlu dikenali beberapa istilah yang digunakan Alquran dalam mendeskripsikan anak, seperti as-shabiyyu, atthiflu, al-ghulamu yang menunjukkan tahap perkembangan tertentu. Kata as-shabiyyu dalam Surat Maryam ayat 12, menurut Ibnu 'Abbas (Isma'il al-Buruswi, 1100 H, juz V:319) merujuk pada anak yang berumur kira-kira 3 dan 7 tahun. Dalam surat yang sama (Surat Maryam ayat 29), as-shabiyyu dideskripsikan sebagai anak yang masih menyusu pada ibunya. Istilah at-thiflu digunakan dalam Surat al-Haj ayat 5 untuk menunjukkan anak yang baru lahir dari rahim ibunya, dalam keadaan tidak berdaya sama sekali (Isma'il al-Buruswi,1100 H. juz 6:6).
Di bawah ini akan dibahas beberapa ciri pertumbuhan dan perkembangan anak yang disusun secara tentatif, yang mungkin dapat dijadikan hipotesis untuk kemudian diuji secara ilmiah, baik telaah longitudinal maupun cross-sectional. Istilah pertumbuhan digunakan untuk meng-gambarkan perubahan peningkatan ukuran dan struktur yang bersifat kuantitatif, seperti ukuran fisik anak yang menjadi lebih besar, lebih tinggi atau organ dalam otaknya meningkat. Adapun istilah perkembangan lebih menunjuk pada perubahan kualitatif, yang kadang-kadang juga bersifat kuantitatif, serta terarah.
Istilah pertumbuhan dan perkembangan, tidak dapat dipisahkan secara utuh, karena saling berpengaruh. Tumbuhnya organ dalam otak meningkatkan kemampuan anak untuk berkembang/ lebih mampu belajar, lebih mampu mengingat dan berpikir.
Dalam kehidupannya, sejak bayi dilahirkan, manusia mengalami perubahan, selalu bersifat dinamis. Perbedaan terjadi pada anak, disebabkan oleh irama perkembangan yang berbeda. Meningkatnya kemampuan fisik untuk bergerak, menumbuhkan kesadaran pada anak untuk lebih otonom, serba ingin sendiri, mandiri, dan tidak senang ditunggui.
Masa-masa awal kelahirannya, merupakan masa-masa yang paling kritis, sangat peka terhadap perlakuan lingkungan, cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap serta perilaku sepanjang hidupnya. Ada yang sangat perlu diketahui orang tua, yaitu bahwa pada masa-masa awal kelahirannya, anak belum mengetahui tuntutan lingkungan terhadap dirinya. Oleh karena itu, mereka, membutuhkan tangan-tangan halus ibunya, sentuhan rasa dan kehangatan ibunya, yang memberi makna dan warna bagi kehidupan anak selanjutnya.
Perlakuan ibu yang membiarkan anak tumbuh dan mengerjakan apa pun sekehendaknya, merupakan per¬lakuan yang kurang adil, dan kurang pada tempatnya. Perlakuan yang permisif seperti itu sangatlah kurang bijaksana. Demikian pula, perlakuan yang serba ketat dan keras itu "akan mempolakan hidup anak yang selalu ragu dan penuh kecemasan. Pada saat-saat seperti itu belajar tahap awal akan berlangsung, dan akan menjadi pola belajar hidup untuk masa-masa selanjutnya.
Implikasi dari pola perkembangan ini ialah agar kepala dijadikan sentral menyerap pendidikan. Kita amati, bahwa kepala dan badan anak tumbuh cukup baik, yang kemudian anggota tubuh yang lain, dari pusat badan, kemudian tangan dan kaki, dan baru jari. Pada dasarnya, bayi lahir tak berdaya, berbeda dengan anak ayam yang langsung dapat berlari, segera setelah menetas dari telur induknya. Anak ayam dapat langsung memilih makanan dari kumpulan pasir yang ada di dekatnya. Pada masa awal lahirnya, anak manusia, seminggu hingga dua minggu, memerlukan waktu penyesuaian diri: yang tadinya berada dalam rahim ibunya, ke lingkungan yang sama sekali baru. Karena itu, pada saat itu tidak ada pertumbuhan dan perkembangan; untuk sementara perkembangan itu terhenti.
Ketidakberdayaan bayi itu disebabkan oleh keadaan organ tubuhnya yang belum berkembang.
Ketika bayi lahir, kedua tangannya mengepal, dan apabila kita perhatikan pada saat wafat kedua tangannya terbuka. Ketika ahli hikmah ditanya tentang tangan bayi pada saat lahir, dan tangan orang yang wafat, ia menjawab: "Begitulah kehidupan manusia, ia lahir seolah-olah memegang sesuatu di tangannya, yaitu harta yang digenggam. Sedangkan pada saat wafat, seolah-seolah ia berkata, 'Aku menghadap Allah tanpa membawa apa-apa'." (Isma'il al-Buruswi III: 452).
Organ perasa untuk sentuhan, temperatur, dan tekanan telah berkembang baik pada saat bayi dilahirkan. Bayi sangat peka terhadap dingin, sedangkan sentuhan di muka, terutama di daerah mulut, akan dapat segera dirasakan oleh bayi daripada sentuhan pada anggota tubuh lainnya. Organ pengecap yang terletak pada permukaan lidah telah berkembang baik pada saat kelahiran. la telah dapat membedakan rangsangan yang menyenangkan dengan yang tidak menyenangkan. Bayi telah dapat membedakan antara rasa pahit dan manis, sehingga respons terhadap kedua macam rasa itu, tampak berbeda.
Berkenaan dengan penglihatan, bayi lebih dapat mengikuti rangsangan visual yang horizontal daripada rangsangan vertikal. Ia telah dapat merespons cahaya. Berkenaan dengan rangsangan suara, pada hari-hari pertama kelahirannya, bayi belum mampu meresponsnya. Yang jelas, suara manusia lebih mudah ditanggapi oleh bayi daripada suara lainnya.
Sejak minggu kedua kelahirannya hingga berusia dua tahun, secara bertahap, bayi belajar mengendalikan ototnya, yang secara berangsur disertai perasaan tidak senang apabila masih dipandang sebagai bayi.
Seorang ibu yang langsung berhubungan dengan bayinya akan lebih cepat mengenal komunikasi awal antara dirinya dengan bayinya. Ibu akan mengenal arti suara tangis bayinya setelah beberapa hari memomong bayinya. Tangis bayi bagi ibunya, memberi banyak makna. Bayi memperlihatkan kegiatan tubuhnya pada saat menangis. Apabila bayi mulai menangis dengan kuat, seluruh bagian tubuh turut bergerak. la mulai menggeliat-geliat, menendang, menggeleng-gelengkan kepala, membungkuk, meluruskan lengan, kaki, dan jarinya. Tangis bayi tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi awal yang menun-jukkan bahwa dirinya memerlukan perhatian.
Tangis bayi tersebut sangat bervariasi, bergantung pada respons ibu terhadap tangisan bayinya. Pada minggu pertama kelahiran, tangisan itu lebih banyak pada sore hari hingga tengah malam. Di samping tangisan, bayi mengeluarkan suara lain yang umumnya terjadi pada saat anak menetek atau pada saat santai.
Perkembangan fisik bayi yang baru lahir, akan mewarnai gerakan anak itu. Seorang anak yang tampil dalam bentuk fisik yang terlalu besar, akan mempengaruhi kemampuan geraknya, mungkin lamban dan mungkin juga malah sulit bergerak. Demikian halnya dengan anak yang cacat fisiknya, akan mengalami kesulitan dalam perkembangan dan keterampilan bergeraknya. Ukuran dan bangun tubuh yang diwariskan secara genetik, akan mempengaruhi laju pertumbuhan anak itu.
Besar kecil tubuh anak, dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungannya. Faktor keturunan akan mem¬pengaruhi cara kerja hormon yang mengatur pertum¬buhan fisik anak. Demikian halnya tentang perkembangan tinggi postur tubuh seseorang, sangat bervariasi. Secara umum dapat digambarkan bahwa bayi yang baru dilahirkan, berukuran 38-52 cm. Akan tetapi, dalam waktu dua tahun setelah kelahiran, anak itu telah menjadi 75 - 85 cm. Berkenaan dengan berat tubuh bayi yang baru lahir sekitar 2,8 - 3,8 kg. Kemudian pada usia 4-5 bulan, berat badannya telah menjadi dua kali lipat dibandingkan pada saat kelahirannya. Kenaikannya menjadi lebih cepat lagi apabila anak telah menginjak 3-4 tahun.
Pertumbuhan gigi dimulai ketika anak berumur tiga bulan setelah dilahirkan. Proses ini akan terus berlangsung hingga anak berumur 21 tahun. Pertumbuhan gigi ini erat kaitannya dengan tingkat kesehatan anak, kadar gizi yang dimakan oleh anak, keturunan, dan jenis kelamin anak. Pada usia 8-9 bulan, anak sudah memiliki 3 gigi; dan pada usia 2 - 3 tahun, mereka akan memiliki 20 gigi. Sering kita amati, seorang ibu yang mencemaskan anaknya yang giginya tumbuh tidak teratur. Mereka juga cemas kalau-kalau anaknya bergigi belong atau rusak. Bahkan ada pula ibu yang mencemaskan anaknya bergigi tonggos.
Lebih jauh dapat kita amati, bahwa pertumbuhan gigi sangat berpengaruh terhadap kehidupan psikis anak. Anak akan merasakan gangguan emosional pada saat gigi mulai tumbuh (terutama pada umur-umur 1-3 tahun). Anak pada masa-masa itu terganggu pula tidurnya, disebabkan oleh rasa sakit karena giginya rusak atau baru tumbuh. Kadang-kadang ada anak yang terganggu perkembangan bahasanya karena gangguan giginya yang baru ompong.
Ada pula ibu yang kerap kali mengingatkan anaknya untuk makan dengan baik sehingga ia mencemaskan anaknya apabila tidak makan dengan baik. Mungkin ibunya mengatakan bahwa anaknya akan sakit apabila kurang makan. Perlakuan ibu seperti itu, malah akan menimbulkan kesulitan pada anak; dan anak itu sendiri mulai bertanya-tanya apakah betul dirinya memang sakit.
Pertumbuhan fisik akan mewarnai perkembangan motorik anak. Keterampilan motorik tidak terjadi sebelum kondisi fisiknya matang. Dalam usia empat bulan, anak telah dapat melihat benda, tetapi belum mampu meraihnya. Barulah pada usia lima bulan, anak mulai mampu meraih benda yang ada di depannya. Bahkan, pada usia delapan bulan, anak telah mampu menggenggam dua benda dengan tangan kanan dan kirinya sekaligus.
Kira-kira usia 6 bulan, anak sudah mulai mampu mengesot, gerakan mundur dan maju. Pada usia 7 bulan, anak mulai merangkak, badan tertelungkup, ditarik oleh tangan, sedang kakinya menendang dan menyepak. Pada usia 9 bulan, anak mulai belajar berdiri dengan bantuan, lalu belajar berjalan dengan bantuan pada usia 10 – 11 bulan, dan tanpa bantuan, pada usia 12 - 14 bulan.
Begitulah anak mulai belajar memegang pensil, sama dengan memegang permen. Pada fase-fase tersebut, seyogianya ibu mengajari jenis-jenis keterampilan satu demi satu secara khusus. Ibu boleh mengajarinya dengan memberinya contoh, dan kemudian melatihnya sehingga otot-otot itu dapat bekerja secara terkoordinasikan.
Pada akhir tahun pertama, anak sudah mulai mampu memegang botol susu, sendok, dan piring dengan baik serta memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Kekeliruan dalam mengajari gerak motorik anak akan menumbuhkan sikap-sikap negatif pada anak, seperti rendah diri, cemburu kepada saudaranya, kecewa kepada orang tuanya, ketergantungan yang sangat tinggi, malu, atau jemu.
Kemampuan berbicara merupakan alat komunikasi untuk menyatakan keinginan dan kehendak seseorang. Bayi yang baru lahir belum mampu menyatakan keinginannya melalui berbicara, dan belum mampu menyatakan keinginan untuk diakui sebagai bagian dari kelompok sosial. Bayi menggunakan bahasa lain untuk menyatakan keinginannya itu.
Kemampuan berbicara sangat erat kaitannya dengan kematangan alat untuk menggunakan artikulasi atau kata-kata. Karena itu dapat dikatakan bahwa kemampuan berbicara merupakan keterampilan kombinasi antara keterampilan motorik dan mental. Pada tahap-tahap awal, anak berada pada tahap membeo dan belum memahami arti yang diucapkannya. Ini berarti bahwa yang diucapkan anak itu, mungkin belum menunjukkan pengertian tertentu, tetapi baru berkenaan dengan konsep yang berbeda dengan konsep orang tuanya. Contoh: kata minum, mengandung banyak arti, yaitu segala sesuatu yang masuk melalui mulutnya.
Alat komunikasi pertama, sebagaimana telah dise-butkan terdahulu, adalah menangis. Dengan menangis itulah anak menyatakan maksud dan keinginannya. Terdengar pula jeritan dan rengekan. Tahap berikutnya, adalah mengoceh celoteh. Dari ocehan dan celoteh ini, suara bayi menjadi penggabungan huruf mati dengan huruf hidup sehingga menjadi bunyi ma, pa, bu, dan sebagainya.
Kadang-kadang bayi terhambat berbicara karena gang-guan orang tua. Ada pula yang cepat berbicara karena memperoleh dorongan dari orang tua atau lingkungannya. Dengan celoteh dan bunyi-bunyi huruf, terjalinlah praktek verbal, dan bayi mulai belajar berkomunikasi dengan yang lain.
Dari bunyi-bunyi itu, anak meningkat belajar menambah kosakata sehingga bertambah pula arti baru bagi kata-kata yang telah dikuasainya. Kosakata yang dipelajari anak, menyangkut kosakata warna, jumlah, waktu, uang, dan kata-kata populer. Dari kosakata ini, meningkat menjadi kalimat yang hanya terdiri atas satu kata, seperti kata "ambil", dalam arti tolong ambilkan mainan itu.
Isi pembicaraan anak, dimulai dengan pembicaraan tentang dirinya (egosentrik), yang kemudian meningkat dengan pembicaraan mengenai orang lain (sosiolisasi).
Dalam menelaah perkembangan emosi anak, sangatlah sulit, karena telaah yang paling efektif untuk menelusuri emosi adalah melalui introspeksi. Reaksi emosional bayi tidak spesifak sehingga sulit diberi makna khas. Secara umum, dapatlah diungkapkan bahwa reaksi emosional anak dapat ditafsirkan sebagai rasa takut, marah, cemas, cemburu, duka cita, dan gembira.
Upaya orang tua untuk memberikan jalan keluar bagi letupan emosional anak akan sangat membantu pengembangan sosial anak. Perkembangan sosial itu sendiri diartikan sebagai perolehan kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan lingkungan sosial. Anak yang telah berkembang sosialnya, terwujud pada kemam¬puan untuk hidup berkelompok, merasa aman apabila berada bersama orang lain. Pada mulanya, yang dimaksud dengan orang lain itu terbatas pada orang-orang yang sudah dikenalnya. Karena itu, ada anak yang mengalami kesulitan apabila masuk dalam kelompok budaya yang berbeda.
Perilaku sosial ini, pada mulanya terbentuk melalui hubungan dengan ibu. Ibulah sumber pertama keberhasilan atau kegagalan anak berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Apabila anak banyak mengalami kebahagiaan pada saat berhubungan dengan ibunya, ia akan mencari kebahagiaan dari orang lain pula. Karena itu, ia akan memiliki kemampuan untuk memperoleh penga-laman bahagia dengan berbagai jenis orang. Pengalaman dengan orang lain yang tidak menyenangkan akan menumbuhkan sikap tidak sosial atau bahkan antisosial. Pada mulanya, bayi tidak suka bergaul dengan orang lain. Yang pertama kali dikenalnya adalah ibunya sendiri (atau orang yang diangkat menjadi ibunya). Selama ia mem¬peroleh kepuasan dari orang pertama itu, ia tidak akan mengembangkan minat untuk berhubungan dengan yang lainnya.
Pada mulanya, si bayi belum dapat membedakan antara suara manusia atau suara lainnya. Ketika sudah mulai mampu bergerak dinamis, berjalan, anak mulai belajar berhubungan secara sosial dengan anggota keluarga serumah, atau bahkan luar rumahnya. Ia mulai senang berhubungan dengan orang sebaya, dan bekerja sama dalam kegiatan bermain. Dari tahun ke tahun, setelah usia bertambah, anak lebih senang meninggalkan hubungan dengan orang dewasa, bahkan mulai melawan otoritas orang dewasa. Pada mulanya, anak bermain sendiri-sendiri meskipun berada bersama-sama dengan teman sebayanya. Lama kelamaan muncul keinginan untuk bermain bersama. Sebelumnya, hubungan mereka, mungkin sekadar saling meniru, masih belum berinteraksi secara sosial.
Demikian pula, hubungan dengan jenis kelamin lain pada mulanya masih dihindari.
Kesalahan memperlakukan anak pada saat mengem¬bangkan sikap sosial, dapat berakibat negatif, seperti ke-terlantaran sosial, partisipasi yang berlebihan, keter-gantungan yang berlebihan, penyesuaian diri yang berlebihan, timbul prasangka, dan antisosial.
Di antara faktor yang mewarnai perkembangan sosial anak adalah urutan kelahiran anak. Anak pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya akan memperlihatkan kecen-derungan perkembangan yang berbeda. Demikian juga anak tunggal, anak sejenis kelamin, anak kembar menunjukkan perkembangan sosial tertentu pula.

B. Tujuan, Materi, Alat, dan Upaya Pendidikan Agama bagi Anak Usia 0-5 Tahun.
Tujuan, materi, alat, dan upaya pendidikan keimanan bagi anak usia 0-5 tahun sulit dipisah-pisahkan. Karena itu, pada bagian ini, keempat topik itu akan diangkat dalam urutan yang terintegrasikan. Materi pendidikan keimanan tidak dipisahkan dari kehidupan dan perilaku sehari-hari. Wujud dari iman itu harus nampak pada berbagai kecakapan, seperti hafal berbagai doa, ayat Alquran, hafal bacaan salat, serta sopan santun kepada orang tua dan anggota keluarga lainnya.
Rasulullah saw. bersabda tentang ciri-ciri keluarga yang dicintai Allah swt:
“Sekiranya Allah menghendaki satu keluarga itu balk, maka mereka akan diberi pemahaman tentang agama, yang muda hormat kepada yang tua, harmonis dalam kehidupannya, dilimpahinya rezeki yang cukup, serta diperlihatkan-Nya keaibannya, sehingga keluarga itu memperoleh kesempatan untuk tobat kepada Allah.Apabila Allah menghendaki yang sebaliknya, maka Allah akan mencampakkannya. (AI-Daylamiy dari Anas).
Kita yakini benar bahwa kehadiran kita di dunia ini mengemban tugas untuk beribadah kepada Allah. Konsep ibadah secara eksplisit dicantumkan dalam Alquran surat Al-Dzariat ayat 56 yang mengandung makna berserah diri hanya kepada Allah swt., berperilaku sesuai dengan ajaran-Nya. Segala perbuatan manusia hendaknya diabdikan hanya kepada Allah swt.; sebagaimana dinyatakan:
Ibadah kepada Allah swt. itu tidak dibatasi hanya pada waktu-waktu tertentu, tetapi mencakup seluruh waktu. Seluruh hidup hanya diabdikan kepada Allah swt. semata. Sangatlah mungkin, seorang anak tidak mengetahui tujuan keberadaan dirinya. Bahkan, seorang anak dapat saja tidak tahu mengapa dirinya diajari membaca Alquran oleh ibunya. Namun, ibunya sendiri jelas akan mengetahui mengapa ia mengajari anaknya membaca Alquran.
Bervariasinya tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh orang tuanya di rumah, merupakan kewajaran. Tujuan tersebut erat kaitannya dengan ekspektasi orang tua tentang kehidupan religius anak-anaknya. Naskah ini akan membicarakan tujuan apakah yang seyogianya dicapai oleh pendidikan keimanan bagi anak di rumah.
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa iman dilindungi oleh lima benteng; dan benteng yang paling depan adalah berbuat sopan santun dan adab. Oleh karena itu, hendaknya pendidikan bagi anak itu menyiapkan kelima benteng tersebut, yang sudah menyatu dengan akhlak, amalan sunat, amalan fardu, keikhlasan, dan keyakinan. Tahap ini hendaknya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak.
Sejak anak berada dalam ayunan ibunya, tujuan keimanan ditentukan oleh ibunya. Bisikan-bisikan kalbu seorang ibu akan memberikan resonansi psikologis pada diri anak. Maka tujuan awal yang "seyogianya ditetapkan oleh orang tuanya ialah agar anak mampu menghayati suasana kehidupan religius dalam kehidupan kelurga. Pemberian nama anak yang islami merupakan prasyarat terbinanya suasana religius di rumah. Nama anak yang tidak bermakna, yang tidak bernuansa islami, kurang kondusif bagi penciptaan suasana religius. Ucapan Bismillahir Rahmanir Rahim, pada saat ibu mengawali segala kegiatan, dan Alhamdulillah tatkala menyelesaikan sesuatu kegiatan merupakan wujud dari penciptaan suasana kehidupan religius di dalam keluarga. Tujuan pertama ini lebih berorientasi kepada tujuan yang ingin dicapai oleh orang tuanya.
Yang menjadi pusat perhatian utama adalah penciptaan situasi pendidikan keimanan dalam keluarga. Oleh karena itu pula, tujuan kedua yang seyogianya dicapai dalam pendidikan keimanan bagi anak usia 0-5 tahun adalah memperkenalkan suasana kehidupan religius di rumah. Ibu dan ayah mengaji Alquran pada saat si bayi masih tidur, atau masih berbaring di tempat tidur. Suara ayah dan ibu mengaji Alquran atau membaca wirid, akan direkam dalam "dunia dalam diri" bayi saat pagi buta.
Penciptaan situasi melalui alat indera pendengaran merupakan kunci pertama masuknya ajaran keimanan kepada bayi. Allah swt. telah memberikan isyarat bahwa bayi dilahirkan melalui rahim ibunya, tanpa mengetahui apa-apa. Secara berurutan Allah menyebutkan pende¬ngaran, penglihatan, dan nurani sebagai pintu gerbang masuknya pendidikan anak (Lihat Alquran surat al-Nahl: 78). Menunjukkan perhatian kepada suara azan merupakan penciptaan situasi pendidikan keimanan dan dijawab suara azan itu oleh ayah dan ibunya. Mengajar mengaji kepada kakak si bayi, dekat dengan tempat bayi berbaring, merupakan metode yang efektif pula dalam memperkaya rekaman sang bayi. Cerita dan kisah para nabi atau sahabat yang disampaikan kepada kakak si bayi, oleh ibu dan ayahnya, akan menambah khazanah perbendaharan keimanan bayi dan meningkatkan intensitas kedekatan kepada Allah.
Berbagai nazham yang.biasa diucapkan ayah-ibu berulang kali dan diperdengarkan langsung, bukan melalui kaset atau suara orang lain, merupakan hal yang baik bagi bayi. Suara dan isi nazham tersebut akan direkam pula dalam khazanah nurani anak.
Dekorasi kamar dan berbagai ruangan dalam rumah dengan berbagai lafaz ayat Alquran akan menjadi katalisator terciptanya suasana religius dalam rumah. Pendengaran diisi dengan suara ibu, ayah, atau kakak bayi mengaji, suara radio yang secara rutin memperdengarkan dakwah islamiyah pada pagi buta, menambah semaraknya suasana religius di rumah. Karena anak usia 0 - 5 tahun begitu cepat berkomunikasi dengan bahasa lisan, tujuan pendidikan keimanan bagi anak usia seperti itu adalah membiasakan anak mengucapkan kata-kata yang mengangungkan Allah, tasbih, istigfar, shalawat dan doa-doa pendek. Anak dilatih mengulang kata-kata pendek tersebut seperti Asma Allah, tasbih, tahmid, basmallah. Masa meraban diarahkan kepada pengucapan kata-kata bermakna yang bersifat religius. Setelah lewat masa meraban, pendidikan keimanan bagi anak bertujuan agar anak mampu mengucapkan lafzhul jalalah secara tepat. Pada mulanya anak belum memahami maksud ucapan tersebut, akan tetapi baru mampu mengucapkannya. Anak seyogianya mulai meng-hafal doa-doa pendek, ayat-ayat pendek, ayat-ayat Alquran yang pendek, dan belajar menggunakannya dalam situasi yang tepat. Dengan.mempelajari situasi penggunaan doa-doa pendek itu, anak mulai diperkenalkan pada pendidikan adab (sopan-santun), sebagai benteng terdepan dalam pendidikan keimanan.
Dalam tahap berikutnya, pendidikan diarahkan agar anak mengenal dan dapat menyebutkan nama-nama Nabi dan Rasul, dan nama para malaikat. Kemudian dilanjutkan dengan menghafal ayat-ayat pendek.
Belajar salat menjadi tujuan berikutnya; dimulai setelah anak mampu membedakan penggunaan tangan kanan dan kiri. Belajar salat ini dimulai dengan melibatkan anak dalam melakukan salat berjamaah sekadar mengikuti, atau duduk menunggu ibu dan ayah melaku¬kan salat. Membiarkan anak duduk di sebelah orang tua yang sedang salat, bahkan membiarkan anak menangis, merupakan salah satu cara memperkenalkan apa yang seyogianya diketahui dan dilakukan anak pada saat ayah-ibu melakukan salat.
Sampai usia lima tahun, anak sudah hafal bacaan salat dan beberapa surat pendek dari Alquran. Bahkan, pada saat itu pula anak sudah diperkenalkan pada huruf Alquran, hafal beberapa surat Alquran, serta mampu mempersiapan diri untuk salat, hidup bersih, bersuci (wudu). Adab (akhlak) kepada Allah swt, kepada orang tua telah dirintis untuk ditumbuhkan sehingga timbul kemauan untuk melakukan kewajibannya terhadap Al¬lah, Rasul, dan orang tuanya.
Pada prinsipnya, pendidikan keimanan, hendaknya dilakukan untuk mencapai berbagai tujuan, melalui berbagai pintu gerbang alat indera dan multi metode. Di bawah ini akan dikemukakan contoh terkaitnnya tujuan pendidikan, alat indera yang digunakan, serta metodenya. Di antara cara-cara mendidik anak yang dapat diguna¬kan oleh keluarga ialah sebagai berikut. Orang tua tampil selaku teladan baik, rnembiasakan berbagai bacaan dan menanamkan kebiasaan, memerintah melakukan kegiatan yang baik, menghukum anak apabila bersalah, memuji apabila berbuat bajik, menciptakan suasana hangat yang religius (mengaji Alquran, salat berjamaah, memasang kaligrafi doa-doa dan ayat Alquran), menghapal, menum-buhkan gairah bertanya dan berdialog. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar