Berikut ini adalah Proposal Skripsi Reinterpretasi Hadis Misoginis Menurut Fatimah Mernissi, semoga proposal skripsi berikut ini dapat menjadi bahan referensi anda.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semenjak era 90-an, gender sebagai suatu istilah menjadi kajian yang relevan di bidang akademik karena muncul sebagai sebuah analisis terhadap berbagai permasalaan yang ada di dalam masyarakat. Kajian gender merupakan reaksi terhadap ketimpangan-ketimpangan peran sosial antara laki-laki dan perempuan, serta ketidakadilan gender yang terjadi di dalam masyarakat. Sukar menyatakan secara pasti apakah feminisme di kalangan muslim ada kaitannya dengan kesadaran baru dunia Timur yang dikenal dengan oksidentalisme dan kesadaran post-kolonialis’. Pembahasan tentang ketidakadilan gender yang dialami perempuan muncul pada akhir abad ke-20, yaitu pada gelombang ke-2 gerakan feminisme di Barat (Eropa dan Amerika). Dan fenomena post-kolonialis menampakkan beberapa kegiatan dunia Timur khususnya sekitar abad ke-19 dan abad ke-20-an.
Kesadaran terhadap gender ini tidak lain karena ingin mengembalikan pemahaman menuju tercapainya relasi kesederajatan antara lelaki dan perempuan sebagaimana yang dikehendaki oleh al-Qur’an dan Hadis Nabi. kaum perempuan ini merasa begitu tertekan dengan budaya patriarki yang mengakar kuat dalam agama Islam. Islam merupakan agama yang diturunkan di tanah Arab pada abad VII termasuk agama semitik/ Abrahamic Religions, yang harus bersentuhan dengan perluasan wilayah-wilayah yang masih sangat patriarkis. Imbasnya ayat-ayat suci diturunkan oleh Tuhan, tak sedikit yang ditafsirkan dengan nada patriarkis, sehingga kesan dominasi lelaki menjadi semakin kental. Celakanya, umat Islam banyak yg terjebak dengannya sehingga hasil ijtihad para ulama yang kemudian dirumuskan dalam teologi Islam, fiqih, ataupun keilmuan-keilmuan yang lainnya. Dianggap sebagai ajaran agama yang tak bisa diotak-atik.
Sebagai contoh adalah ayat tentang proses penciptaan manusia
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Para ahli tafsir berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud “diri yang satu” (nafs wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) “dari padanya” (minha), dan apa yang dimaksud dengan “pasangan” (zawj) pada ayat tersebut. Kitab-kitab tafsir mu’tabar seperti Tafsir al-Maraghi,38 Tafsir al-Bahr al-Muhith,39Tafsir Ruh al-Bayan,40 Tafsir Ibn Katsir,41 menafsirkan kata nafs wahidah dengan Adam, dan zawj ditafsirkan dengan Hawa, istri Adam. Kata ganti “ha” pada kata minha ditafsirkan dengan “dari bagian Adam”. Namun ulama lain seperti al-Razi dalam kitabnya al-Tafsir al-Kabir mengatakan bahwa kata ganti “ha” pada kata minha berarti “dari jenis” Adam. Berdasarkan penafsiran ini yang mengatakan bahwa nafs wahidah adalah bagian dari Adam atau jenis dari Adam maka berkolerasilah ayat ini dengan hadits dari Abu Hurairah
استوصوا بالنساءِ خيرًا فإنَّ المرأةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ أعوجَ وإنَّ أعوجَ شىءٍ فى الضلعِ أعلاه فإنْ ذهبتَ تقيمَه كسرتَه وإنْ تركتَه لم يزلْ أعوجَ فاستوصوا بالنساءِ خيرًا
“berilah nasehat kepada kaum wanita dengan baik, karena mereka dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok, dari bagian yang paling bengkok adalah yang paling teratas. Jika engkau meluruskannya maka engkau akan mematahkannya, jika engkau biarkan saja, ia tetap saja bengkok. Maka berilah nasehat kepada kaum wanita dengan baik”.
Ayat dan Hadis di atas oleh ulama-ulama klasik dipahami secara tekstual meskipun belakangan banyak yang memahami bahwa hadis ini bermakna metafora. Dan bagi kaum feminisme mereka menolak ayat dan hadis ini sebagai awal dari penciptaan perempuan, mereka menilai hadis ini bermakna
karena menempatkan wanita di bawah laki-laki, mereka berpendapat bahwa hadis ini bermakna sebagai pendidikan dan penataan wanita dalam rumah tangga, yakni jika tergesa-gesa dalam mendidik wanita, ia akan menjelma laksana tulang yang bengkok yang mudah patah. Dengan menafsirkan hadis itu dengan makna ini maka akan melepaskan diri dari fokus hadis itu yang membicarakan penciptaan hawa dari tulang rusuk adam.
Adapun contoh hadits lainnya yang dinilai misoginis oleh kaum feminis adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bakrah
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Dari Bakrah diriwayatkan bahwa ketika Nabi mendengar bahwasanya Kaisar Persia diganti dengan perempuan maka Nabi bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan”
Kebudayaan ini telah menciptakan peran wanita tidak secara kodrati menjadi kodrati dan begitu juga sebaliknya. Kebudayaan yang masih melekat ini di kalangan masyarakat Arab pada masa awal Islam berimplikasi pada penyampaian ideal moral dari syariat Islam secara subjektif. Kebudayaan yang telah mendarah daging di kalangan masyarakat ini telah didombrak oleh agama Islam sebagai agama yang menempati derajat wanita kepada posisi yang terhormat. Hanya saja menghapus sebuah ideologi masyarakat yang meyakini posisi wanita selalu berada di bawah derajat laki-laki tidak semudah yang kita bayangkan. Inilah yang mengudang wanita yang dilahirkan di sebuah Hareem, Fatimah Mernissi. Dia ikut terjun dalam dunia gender khususnya terkait dengan hadis-hadis yang dinilainya bersifat misoginis.
Menurut fatimah hadis adalah karya yang mencatat secara rinci apa yang dikatakan dan diperbuat Nabi. al-Qur’an dan hadis merupakan dua sumber hukum dan tolok ukur untuk membedakan kebenaran dan kebatilan, halal, dan haram, keduanya membentuk etika da nilai-nilai muslim. Permasalahan hadis baru muncul setelah kematian Rasulullah. Selama periode Madinah, kehidupan masyarakat Islam boleh dikatakan ideal, karena Allah dan Rasulnya bisa langsung menjadi tempat berkonsultasi. Tetapi setelah wafatnya Rasulullah mulai muncul berbagai pertanyaan di kalangan para penerus siapa pengganti dalam urusan politik dan legislatif.
Hadis mulai mengalami penyimpangan makna ketika Khulafa al-Rasyidin berakhir dengan cara yang brutal, masing-masing kelompok memerlukan pembenaran melalui teks-teks suci. Pada satu sisi, terdapat kecederungan para politisi lelaki untuk memanipulasi kesucian hadis, sedang dipihak lain, sedang dipihak lain, keinginan keras para ulama untuk menentang mereka melalui penguraian fiqih, dengan konsep-konsep, kaidah-kaidah dan metode pengujiannya.
Fatimah mulai mengadakan penelitian terhadap khazanah keislaman untuk mencari sumber-sumber misogini dalam pemahaman Islam. Ia mengangkat dua tokoh yang dekat dengan Rasulullah Saw. Yang menurutnya dua tokoh ini mempunyai sikap yang bertolak belakang dengan beliau ketika berbicara dengan perempuan. Ia mengkritik Umar bin Khattab yang bersikap ambivalen terhadap perempuan, kemudian orang kedua yang dikritik oleh Fatimah adalah Abu Hurairah, sahabat yang dikenal dengan periwayatan hadisnya yang banyak ini, tidak luput dari pandangan Fatimah. Fatimah mengkritik Abu Hurairah karena padanyalah hadis-hadis yang mendeskritkan perempuan banyak diriwayatkan dalam penelitiannya, Mernissi menemukan bahwa Abu Hurairah tidak pernah menikah sepanjang hidupnya, sehingga Fatimah sampai kepada kesimpulan bahwa Abu Hurairah adalah laki-laki yang punya problem untuk berhubungan dengan perempuan.
Yang menarik untuk diteiti adalah Fatimah Mernissi yang mengkritik Abu Hurairah adalah orang awam terhadap ilmu-ilmu keislaman, khusunya di bidang hadis, tetapi ketika ditanya bagaimana Fatimah sebagai orang awan dengan ilmu-ilmu klasik berani menulis masalah-masalah keislaman? Fatimah menjawab, Dia mempelajarinya dari awal. Namun profesinya sebagai ilmuan sosial, terutama sosiologi, akan sangat membantu analisanya terhadap masalah-masalah keagamaan. Selanjutnya posisinya sebagai orang awam membuat kajiannya lebih objektif tanpa dibebani pandangan-padangan apriori dan terjebak dalam wacana-wacana keagamaan tersebut.
Jika seperti itu halnya apakah kita akan menyalahkan Abu Hurairah dan memilih Fatimah Mernissi dalam hal kajian misoginis ini? Tapi bukankah semua sahabat dihukumi keadilannya bahkan dalam ilmu hadis pun kita dilarang untuk men-jarh wattad’dil sahabat, apakah misoginis itu memang benar-benar ada dalam kajian hadis? Ataukah pemahaman Fatimah Mernissi yang tidak dapat menjangkau makna-makna hadis itu sehingga ia mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut bermakna misoginis? Maka dalam hal ini penulis mengangkat sebuah judul penelitian yang akan dibahas dalam kajian tesis kali ini yang berjudul “Reinterpretasi Hadis-hadis Misoginis Menurut Fatimah Mernissi”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Agar penulisan tesis ini lebih terarah, penulis merasa perlu membuat batasan dan rumusan masalah. Adapun batasan masalahnya adalah reinterpreasi hadis-hadis yang dinilai misoginis oleh Fatimah Mernissi,
- Kepemimpinan Perempuan dalam dunia politik yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
- Penciptaan perempuan dan tulang rusuk laki-laki yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
- Kodrat Perempuan kurang akal dan agama yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudri, dan Ibn Umar.
Dari pokok permasalahan tersebut penulis merumuskan rumusan masalah, sebagai berikut:
- Bagaimana kedudukan hadis-hadis misoginis Fatimah Mernissi setelah direiinterpretasi.
- Apa yang melatar belakangi pemikiran Fatimah Mernissi dalam menetapkan hadis-hadis sebagai hadis misoginis
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun mengenai tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Tujuan penulisan:
- Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hadis-hadis misoginis Fatimah Mernissi setelah direiinterpretasi.
- Untuk mengetahui apa yang melatar belakangi pemikiran Fatimah Mernissi dalam menetapkan hadis-hadis sebagai hadis misoginis.
Manfaat Penulisan
- Memberikan sebuah temuan terhadap pemaknaan hadis-hadis misoginis menurut Fatima Mernissi
- Diharapkan dapat menjadi referensi ilmiah baru khususnya bagi kaum akademisi.
D. Kajian Pustaka
Abdul Muksin, UIN Syarif Hidayatullah, skripsi Metodologi Fatima Mernissi Dalam Kritik Hadis. Skripsi ini menguraikan secara deskriptif tentang metodologi kritik hadis Fatima Mernissi, hadis-hadis yang dianggap misoginis, dan kritikan Fatima terhadap Abu Hurairah.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti oleh penulis nanti adalah terletak pada reinterpretasinya, penelitian yang ini hanya menjabarkan metode kritik hadis Fatima sedangakn penelitian yang akan dilakukan nanti adalah dengan menafsirkan kembali hadis-hadis yang dinilai misoginis oleh Fatima Mernissi menggunakan disiplin ilmu hadis, seperti kritik matan dan kritik sanad.
Jaenal Apian, UIN Syarif Hidayatullah, skripsi, Diskursus Misoginis Dalam Kajian Hadits¸Studi Analisis Tentang Mawarits Dan Kesaksian. Skripsi ini membahas hadis-hadis misoginis tentang persaksian dan mawarits yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Perbedaan penelitian ini dan penelitian yang akan diteliti nanti adalah terletak pada tokohnya, penelitian ini memang mengkaji hadis-hadis misoginis tapi bukan misoginis dari perspektif Fatima Mernissi. Jadi setelah melakukan kajian pustaka ini, peneliti berkesimpulan bahwa kajian tesis ini tidak sama dengan karya-karya yang telah lebih dulu ada.
E. Metode Penelitian
Tesis ini merupakan penelitian kualitatif yang memusatkan penelitian pada metode Library i (penelitian kepustakaan), sumebr yang digunakan adalah sumber primer yang berupa buku-buku Fatima Mernissi yang membahas tentang hadis-hadis misoginis dan sumber sekunder yakni data-data yang menyangkut hadis misoginis dan feminism.
Karena tesis ini membahas pemikiran tokoh,metode yang digunakan adalah deskriptif analtis. Metode deskriptif analtis yang dimaksud adalah peneliti mengumpulkan data-data yang diperlukan, data itu dipaparkan secara objektif, dan kemudian dianalisa.
F. Sistematika Penulisan
Bab I, Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, teknik Penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II, merupakan uraian dari beberapa kerangka teori yang berhubungan dengan hadis-hadis misoginis, meliputi definisi hadis misoginis, sejarah timbulnya hadis-hadis misoginis, karakteristik hadis misoginis,contoh-contoh hadis misoginis.
Bab III, kajian tokoh, meliputi, biografi lengkap, karya-karya, karakteristik pemikiran, karier intelektual.
Bab IV, Menelusuri lebih dalam tentang hadis-hadis yang dianggap misoginis oleh Fatimah Mernissi, dengan menelaahnya dengan kitab-kitab klasik, berkaitan dengan asbab al-wurud serta kondisi politik ketika hadis diriwayatkan.
Bab V, Penutup, berisi kesimpulan dan saran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar