Makalah Wanita Keluarga dan Profesi

Makalah Wanita Keluarga dan Profesi. Semoga Makalah Wanita Keluarga dan Profesi berikut ini dapat menjadi referensi makalah anda yang mencakup judul makalah diatas.

Saya tidak menyukai rumah-rumah yang kosong dari ibu-ibu rumah tangga. Seorang ibu rumah tangga adalah angin sejuk yang meniupkan kenyamanan dan kasih sayang ke seluruh penjuru rumah. Ia sangat berpengaruh dalam membentuk manusia yang baik dan sehat lahir-batin. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dapat mengalihkan wanita dari tugas ini, haruslah dibahas dan dipertimbangkan secara teliti dan hati-hati.
Tetapi, di samping hal di atas, saya juga tidak menyukai perbuatan mengubur hidup-hidup seorang anak perempuan ketika masih bayi, atau menguburnya ketika ia telah mencapai usia dewasa dengan bakat-bakatnya yang mulai berkembang, dan ketika diharapkan timbulnya kebaikan dari dirinya untuk keluarga dan umatnya.
Jadi, bagaimana kiranya memadukan antara kedua hal di atas? Pertama-tama, hendaknya kita bersepakat terlebih dahulu bahwa perbuatan menghinakan perempuan adalah suatu kejahatan. Demikian pula perbuatan mendorongnya ke lorong-lorong lepas dan bebas untuk memenuhi selera rendah yang bersemayam dalam darah dan tubuh sebagian laki-laki.
Ajaran agama yang benar pasti menolak tradisi bangsa-bangsa yang memenjarakan kaum wanita, mencekik kebebasannya dan menolak memberikan  kepadanya pelbagai hak dan kewajibannya. Sebaliknya, agama juga menolak tradisi bangsa-bangsa lainnya yang menjadikan kehormatan wanita bagaikan rumput tak bertuan, yang boleh diinjak-injak oleh siapa pun. Sikap seperti itu, jelas mengabaikan ketentuan-ketentuan semua syariat agama, dengan membiarkan dorongan nafsu rendah merajalela sekehendaknya.
Seorang wanita boleh saja bekerja di dalam atauran di luar rumahnya, namun diperlukan adanya jaminan-jaminan  yang menjaga masa depan keluarga dan rumah tangganya. Diperlukan juga suasana yang bersih dan diliputi ketakwaan agar wanita dapat melaksanakan pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya dengan aman.
Jika dalam suatu masyarakat terdapat seratus ribu dokter atau seratus ribu pengajar, misalnya, maka tak ada salahnya apabila setengah dari jumlah ini terdiri atas kaum wanita. Yang penting dalam suatu masyarakat Muslim ialah berlakunya norma-norma kesopanan yang diajarkan oleh syariat, "sara"- terjaganya semua batasan yang ditetapkan "oleh Allah SWT. Tidak ada peluang bagi perilaku jahiliyah yang mesum dan tak tahu malu. Tak ada tempat untuk pergaulan bebas antara pria-wanita yang gila-gilaan, dan tak ada tempat untuk duduk berduaan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki asing (yakni yang bukan mahram). Itulah batasan-batasan Allah, dan barangsiapa melanggar batasan-batasan Allah maka merekalah orang-orang zalim.
Betapapun juga, prinsip dasar yang kita harus terikat padanya atau kita lupayakan agar selalu dekat padanya, ialah "rumah". Sungguh, saya merasa gelisah dihadapkan kepada kebiasaan meninggalkan anak-anak bersama para pembantu rumah tangga ataupun di tempat penitipan anak.
Nafas seorang ibu memiliki pengaruh yang amat besar dalam menumbuhkan dan memelihara perilaku kebajikan dalam diri anak-anaknya.
Kita harus mencari seribu satu cara untuk mendekatkan para ibu kepada tugas utama mereka. Dan hal ini sungguh mudah seandainya, kita memahami agama kita dengan sebaik-baiknya, seraya menjauhkan diri dari setiap penyelewengan maupun ekstremitas.
Saya mengenal beberapa wanita yang, di samping berperan sebagai ibu-ibu yang berakhlak mulia juga memegarig jabatan sebagai direktaris sekolah yang berhasil juga Beberapa dokter wanita yang ahli, dan yang telah mendatangkan kemuliaan bagi keluarga serta profesi mereka. Dan di balik semuanya itu, mereka adalah wanita-wanita yang sangat kuat memegang agamanya.
Sayapun tak dapat melupakan bahwa kaum wanita Yahudi telah ikut berperan dalam menimpakan kekalahan yang amat memalukan ter¬hadap kita, yaitu kekalahan pahit yang menyebabkan berdirinya Negara Israel di atas tulang-belulang kita. Sungguh, kaum wanita Yahudi telah berjasa besar di bidang pengabdian sosial dan militer demi agama mereka.
Dan seorang wanita Yahudilah (Golda Meir) yang telah memimpin bangsanya sehingga berhasil menghinakan beberapa tokoh dari kalangan politisi Arab yang berjenggot dan berkumis, pada waktu berkecamuknya "perang enam hari" dan beberapa pertempuran setelah itu. Saya juga melihat di Afrika Utara dan beberapa negara lainnya sejumlah besar biarawati dan wanita-wanita lainnya, yang bersuami ataupun yang tidak, melaksanakan Kristenisasi dengan penuh semangat, dedikasi, dan keberanian.
Barangkali kita tidak lupa akan dokter wanita yang tetap berada di kemah-kemah para pengungsi Palestina sementara pengepungan dan pemboman terjadi di sekitar mereka. Bahkan dokter tersebut telah bersabar dalarn penderitaan, sedemikian sehingga terpaksa makan bangkai hewan. Dan setelah itu, ketika pengepungan berakhir, ia masih sempat membawa keluar beberapa bayi Arab untuk meneruskan pengobatan mereka di Inggris.
Amat banyak kegiatan internasional yang dilakukan. Oleh kaum wanita di pelbagai lapangan yang mulia dan terhormat. Kita sama sekali tidak boleh mengabaikannya semata-mata karena di lapangan lainnya berlangsung perbuatan kaum wanita yang rendah dan tak bermoral.
Perjuangan keagamaan dan sosial yang dilakukan oleh kaum wanita non-Muslim di negara kita ataupun di negara lainnya telah mengingatkan saya kepada perjuangan agung yang telah dilakukan oleh kaum wanita Muslimah terdahulu, demi membela Islam pada masa awal perkembangannya.
Mereka ini telah menanggung beban penderitaan dan keterasingan dengan hati yang tabah, Mereka ikut berhijrah ataupun menerima orang-orang yang berhijrah, ketika hal itu diperlukan. Mereka ikut menegakkan shalat berjamaah dengan pergi ke Masjid Nabawi selama bertahun-tahun. Dan pada saat tenaga mereka dibutuhkan untuk peperangan, mereka pun ikut berperang
Dan sebelum itu, mereka memberikan pelayanan medis dan membantu menyiapkan perlengkapan bagi para pejuang. Sayang bahwa peran kaum wanita Muslimah di abad-abad mutakhir telah sangat merosot. Bahkan telah dipaksakan kepada mereka agar tetap terkebelakang dan buta huruf.
Yang lebih menyedihkan lagi ialah bahwa beberapa peraturan Al-Quran yang pasti telah diabaikan sama sekali, semata-mata karena menguntungkan posisi dan kepentingan wanita. Di antaranya ialah bahwa wanita jarang menerima (secara penuh) harta warisan yang menjadi bagiannya. Wanita juga jarang diajak musyawarah dalam perkawinannya sendiri. 
Di antara seratus ribu kasus perceraian, mungkin hanya dalam satu kasus saja seorang wanita yang diceraikan mendapat ganti rugi yang dalam istilah hukum agama disebut mit'ah. Adapun firman Allah: .. . dan wanita-wanita yang diceraikan berhak menerima mit'ah dengan sepatutnya, sebagai suatu kewajiban atas orang-orang bertakwa . . . (Al-Baqarah: 241), maka ayat tersebut hanyalah untuk dibaca, bukannya dilaksanakan!
"Membuang" seorang istri demi mengikuti hawa nafsu yang datang melintas, adalah hal yang "biasa". Sedangkan firman Allah:…..apabila kalian mengkhawatirkan terjadinya perpecahan antara keduanya (suami-istri) maka kirimlah seorang penengah dari keluarga suami dan seorang lainnya dari keluarga istri ..., maka yang demikian itu hanya¬lah tulisan di atas kertas, tidak untuk dipraktekkan.
Seorang wanita dianggap demikian remeh sehingga tak patut diselenggarakan suatu pertemuan perdamaian yang membahas kepenting-annya. Keinginan untuk mengusirnya sama sekali tidak boleh ditentang 
Pada suatu kesempatan lain, saya pernah mengecam dengan keras kebiasaan untuk memaafkan kesalahan (dosa) yang dilakukan oleh pria, sementara kesalahan (dosa) yang berasal dari seorang wanita haruslah ditebus dengan jiwanya.
Penyimpangan memajukan seperti ini telah dimanfaatkan oleh kolonialisme internasional dalam serbuan kulturalnya yang terakhir, untuk menujukan serangan-serangan yang keras dan ganas terhadap ajaran-ajaran Islam. Seolah-olah Islam yang teraniaya inilah yang bertanggung jawab atas kekacaubalauan yang dilakukan oleh para pengikutnya.
Namun, yang lebih menimbulkan keheranan ialah bahwa sekelompok orang yang menganggap dirinya sebagai "pembela Islam" atau yang mengatasnamakan Islam, justru melakukan pembelaan terhadap kekacaubalauan yang diwariskan secara turun-temurun ini. Mereka mengira, dengan segala kedunguan yang sangat, bahwa Islam memang mengajarkannya. Sungguh kegilaan dan kedunguan senantiasa tarnpil dalam berbagai cara dan bentuk.
Pilar-pilar yang menyangga hubungan antara pria dan wanita tampak jelas dalam firman Allah SWT: Sesungguhnya Aku (Allah) tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang beramal di antara kamu, laki-laki atau perempuan, sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain . . . (Ali Imran: 195). Dan firman-Nya: Barangsiapa mengerjakan amal saleh' baik laki-laki atau perempuan, sementara ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yane baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih utama daripada yang telah mereka kerjakan (An-Nahl: 97).
Demikian pula sabda Nabi yang mulia: Kaum wanita adalah sisi yang seimbang dengan kaum pria. Ada pula hal-hal yang dalam agama tidak ada larangan ataupun perintah  tentangnya. Yang demikian itu termasuk di antara hal-hal yang dibiarkan dan didiamkan oleh syariat, agar memberi kepada kita kebebasan, baik untuk melakukannya atau meninggalkannya.
Dalam hal ini, tidaklah dapat dibenarkan siapa saja menjadikan pendapatnya sendiri sebagai bagian tak terpisahkan dari agama. Hal seperti itu hanyalah pendapat pribadi, tak lebih dari itu.
Itulah Barangkali rahasia di balik ucapan Ibn Hazm; bahwa tidak ada larangan dalam Islam bagi seorang perempuan untuk menduduki jabatan apa pun, kecuali sebagai Khalifah {pemimpin tertinggi seluruh dunia Islam)
Saya pernah mendengar ucapan seseorang yang menolak dan menyanggah pendapat Ibn Hazm tersebut, dengan dalih bahwa hal itu bertentangan dengan firman Allah SWT: Kaum laki-laki adalah pemim¬pin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, dan juga karena kaum laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka . . . (An-Nisa'r 34).
Ayat tersebut, menurut pemahamannya, memberikan pengertian bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin atas laki-laki dalam pekerjaan apa pun. Sanggahan seperti itu, sudah barangtentu tidak dapat diterima. Siapa saja yang membaca kelanjutan ayat tersebut akan mengerti bahwa kepemimpinan yang dimaksud di dalamnya ialah kepemimpinan seorang laki-laki di dalam rumahnya dan di antara keluarganya.
Ketika Umar r.a. mengangkat Asy-Syaffa' (seorang wanita) sebagai pengawas keuangan di pasar kota Madinah, kekuasaannya itu meliputi semua orang yang beraktivitas di sana, laki-laki ataupun perempuan. Dialah yang  di tempat itu menghalalkan apa yang halal, dan mengharamkan apa yang haram, menegakkan keadilan dan mencegah pelanggaran.
Seandainya seorang laki-laki beristrikan seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit, maka ia tidak dibenarkan mencampuri urusan istrinya itu di bidang medis, dan tidaklah ia memiliki kekuasaan atas jabatan si istri di dalam rumah sakit tersebut.
Mungkin saja ada orang berkata bahwa ucapan Ibn Hazm itu tidak dapat dibenarkan, mengingat adanya Hadis: "Pastilah gagal suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan." Atas dasar itu, dan jika penyerahan urusan kaum Muslim kepada seorang perempuan akan menyebabkan kegagalan dan kekecewaan mereka, maka tidaklah dibenarkan menyerahkan kepada kaum perempuan, jabatan apa pun, yang besar maupun yang kecil.
Adapun Ibn Hazm berpendapat bahwa hadis tersebut hanya berkenaan dengan jabatan kepemimpinan tertinggi negara. Sedangkan yang di bawah itu, tidak ada hubungannya dengan hadis tersebut.
Kami ingin menyoroti hadis itu secara lebih mendalam. (Walaupun sebelumnya harus ditegaskan, bahwa kami tidak termasuk mereka yang memang senang mengangkat wanita sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan). Kami hanya menginginkan satu hal, yaitu hendaknya orang yang akan ditunjuk sebagai kepala negara atau peme¬rintahan, adalah yang paling memiliki kemampuan untuk itu di antara umat.
Saya pun telah mengamati hadis yang diriwayatkan itu. Walaupun ia tergolong hadis sahih, sanadnya maupun matannya, namun apa kira-kira artinya? Sejarah menyebutkan bahwa ketika negeri Persia sedang berada di ambang kehancuran menghadapi hantaman bertubi-tubi pasukan Islam, pada waktu itu ia diperintah oleh suatu sistem monarki yang bobrok dan totaliter.
Agama mereka adalah watsaniyah (penyembah berhala). Keluarga kerajaan tidak mengenal sistem permusyawaratan dan tidak menghormati pendapat apa pun yang berlawanan dengan pendapat mereka. Hubungan antar-mereka dan rakyat sangat buruk. Adakalanya sese¬orang dari mereka membunuh ayahnya atau saudaranya sendiri demi mencapai idamannya. Dan rakyat pun terpaksa tunduk patuh dengan segala kehinaan.
Dalam pada itu, ketika pasukan-pasukan Persia telah dipaksa mundur, dan luas wilayahnya makin menyempit, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpinan negara kepada se¬orang Jenderal yang piawai yang mungkin dapat menghentikan kekalahan demi kekalahan. Namun, paganisme politik telah menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada se¬orang perempuan muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan bahwa negeri Persia sedang menuju kehancuran total.
Dalam mengomentari keadaan itulah, Nabi saw. yang bijak, mengucapkan hadis tersebut, yang benar-benar melukiskan keadaan se¬sungguhnya waktu itu. Seandainya sistem pemerintahan di Persia berdasarkan musyawarah, dan seandainya wanita yang menduduki singgasana kepemimpinan mereka seperti Golda Meir yang memerintah negeri Israel; dan seandai¬nya orang-orang Persia itu tetap membiarkan kendali urusan militer di tangan para jenderalnya, niscaya komentar Nabi saw. berbeda dengan yang ada sekarang.
Mungkin Anda mengajukan pertanyaan: "Apa yang sebenarnya Anda maksud?" Jawabnya: "Nabi saw. telah membacakan Surah An-Nahl di depan umum ketika beliau masih berada di Makkah. Tentunya beliau telah menceritakan kepada mereka tentang Balqis, ratu negeri Saba' yang telah memimpin rakyatnya menuju keimanan dan kesuksesan, dengan kecerdasan dan kearifannya. Sungguh mustahil bahwa Nabi saw akan membuat suatu keputusan dalam sebuah hadis beliau, yang jelas-jelas bertentangan dengan isi wahyu yang diturunkan kepada beliau"
Kerajaan ratu Balqis meliputi daerah amat luas, sebagaimana dilukiskan oleh burung Hud-hud: Aku telah menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar . .. (An-Naml: 23).
Nabi Sulaiman menyeru ratu Balqis agar memeluk agama Islam, serta melarangnya bersikap angkuh dan keras kepala. Maka ketika Balqis menerima surat Sulaiman, ia tak segera menjawabnya. Ia bermusyawarah dengan para pembesar negara. Mereka segera mendukungnya dalam keputusan apa pun yang akan diambilnya. Kata mereka: Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan juga keberanian yang besar. Namun keputusan berada di tangan Anda, maka pertimbangkanlah apa yang akan Anda perintahkan. (An-Naml: 33).
Wanita yang bijak itu tidaklah terkelabui oleh kekuatan ataupun kepatuhan bangsanya kepadanya. Ia berkata: "Sebaiknya kita uji Sulai¬man ini terlebih dahulu. Agar kita mengetahui apakah ia seorang diktator yang selalu mengejar kekuasaan dan kekayaan ataukah ia seorang Nabi yang menyeru kepada keimanan dan misi yang dibawanya?"
Pada saat ia berjumpa dengan Sulaiman, Balqis tetap menunjukkan kecerdasan serta kearifannya dalam menyelidiki segala segi kehidupan Sulaiman, apa yang dikehendakinya dan apa yang akan dilakukannya. Sehingga jelas baginya bahwa Sulaiman memang benar-benar seorang Nabi yang saleh, la pun teringat akan surat Sulaiman yang dikirimkan kepadanya: Sesungguhnya surat itu dan Sulaiman dan sesungguhnya ia (ditulis] dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Jangan-lah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dandatanglah kepadaku sebagai orang-orang yang ber-lslam (berserah diri) ... (An-Naml: 30-31). Kemudian, Balqis memutuskan untuk menanggalkan kemusyrikannya dan memeluk agama Allah seraya berkata: ... Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan kini aku berserah diri bersama Sulaiman, kepada Allah, Tuhan semesta alam. (An-Naml: 44).
Akan gagalkah suatu kaum yang menyerahkan urusan negara mereka kepada seorang wanita yang bijaksana seperti itu? Wanita seperti itu jauh lebih mulia daripada laki-laki yang pernah ditugasi oleh suku Tsamud untuk membunuh unta Nabi mereka, Nabi Saleh, serta melakukan makar terhadapnya. Sebagaimana diterangkan dalam firman Allah: . . . Maka mereka memanggil kawan mereka yang segera menangkap (unta itu) dan membunuhnya. Sungguh betapa dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku (sebagai hukuman atas perbuatan itu). Kami kirimkan kepada mereka suara amat keras mengguntur, sehingga jadilah mereka seperti rumput-rumput kering (yang dikumpulkan oleh) pemilik kandang binatang . . . (Al-Qamar: 29-31)
Sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa saya tidaklah termasuk orang yang gemar memberikan jabatan-jabatan tinggi itu kepada kaum wanita. Sebab sedikit sekali jumlah wanita yang sempurna. Hanya faktor "kebetulan" saja yang menemukan mereka. Adapun yang menjadi tujuan saya hanya menafsirkan suatu hadis yang tercantum dalam pelbagai kitab dan demi menghilangkan kontradiksi antara ayat Al-Quran dan beberapa riwayat hadis yang disebutkan orang. Juga demi menghilangkan kontradiksi antara hadis dan fakta historis.
Negeri Inggris mencapai zaman keemasannya pada masa Ratu Victoria. Dan sekarang ini berada di bawah kepemimpinan seorang ratu dan perdana menteri wanita, dan tergolong di antara negeri-negeri yang mencapai puncak keberhasilan ekonomis serta kestabilan politis. Di mana gerangan kegagalan yang diperkirakan bagi mereka yang memilih wanita-wanita itu?
Di tempat lain, saya pernah menyebutkan bahwa akibat siasat perdana menteri Indira Gandhi, kaum Muslim di benua India telah sangat menderita akibat pukulan-pukulan keras yang menimpa mereka. Dan siasat itu akhirnya berhasil memecah-belah eksistensi kaum Muslim di sana sehingga menjadi dua bangsa dengan dua negara. Dengan itu wanita tersebut mampu memenuhi cita-cita dari kaumnya sendiri. Sementara itu, Jenderal Yahya Khan terpaksa menelan pil pahit kekalahan.
Begitu pula bencana-bencana yang menimpa bangsa Arab pada waktu Golda Meir memimpin bangsanya, sungguh tak terperikan. Barangkali kita memerlukan berlalunya satu generasi lagi untuk dapat melupakannya. Kisah tentang skandal ini tidak ada hubungannya dengan kelaki-lakian ataupun keperempuanan, tetapi ia adalah kisah tentang akhlak dan bakat yang prima.
Indira Gandhi pernah menyelenggarakan pemilihan umum untuk mengetahui apakah bangsanya masih mau memilihnya untuk memimpin mereka. Dan ia ternyata kalah dalam pemilihan yang diselenggarakan-nya sendiri. Namun tidak lama kemudian, rakyat India memilihnya kembali, atas kemauan mereka sendiri, tanpa sedikit pun paksaan.
Sedangkan kaum Muslim telah menunjukkan seolah-olah mereka memang ahli di bidang kecurangan dan pemalsuan hasil pemilihan umum. Semata-mata demi meraih jabatan kepemimpinan dengan segala keuntungannya, walaupun hal itu terjadi dengan penindasan terhadao rakyat mereka.
Siapakah diantara kedua kelompok (yang Muslim dan non-Mushm) lebih patut menerima perlindungan Allah, dukungan-Nya serta kekuasaan di bumi-Nya? Mengapa kita tidak mengingat ucapan Ibn Taimiyah bahwa adakalanya Allah SWT memenangkan negeri kafir yang melaksanakan keadilan atas negeri Muslim yang di dalamnya berlangsung berbagai kezaliman? 
Apa   kaitannya  semua itu  dengan jenis  kelamin  laki-laki  atau perempuan? Seorang wanita yang  memegang teguh agamanya pasti lebih baik dari laki-laki berjenggot yang mengingkari nikmat Allah. 
Jumlah kaum Muslim kini mencapai seperlima dari jumlah penduduk  dunia  secara keseluruhan.   Bagaimanakah  seharusnya mereka menyajikan agama mereka di hadapan orang-orang lain?
Sebelum segala sesuatu, kita harus benar-benar menujukan perhatian kepada pnnsip-pnnsip Islam, ajaran-ajarannya dan tujuan-tujuan utamanya. Adapun dalam hal kebiasaan-kebiasaan yang didiamkan oleh agama, tidak sepatutnyalah kita memaksakannya atas mereka Biarkanlah mereka dengan kebiasaan-kebiasaan mereka sendiri, selama hal itu tidak terlarang dalam agama.
Kita sama sekali tidak diperintah untuk memindahkan pelbagai tradisi suku-suku Arab kuno, seperti 'Abs dan Dzubyan ke benua Amerika atau Australia! Kita hanya diperintah untuk menyampaikan ajaran Islam saja, tidak lebih dari itu.
Bangsa-bangsa yang berbeda, seharusnya bertemu pada hal-hal penting saja. Jika bangsa Inggris mengharuskan para pelintas jalanan umum agar mengambil sisi jalan sebelah kiri, misalnya, berlawanan dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya, maka yang demikian itu tidak ada pengaruhnya dalam Pakta Atlantik ataupun dalam Persekutuan Masyarakat Eropa.
Dan jika para ahli fiqih di kalangan kaum Muslim telah banyak berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum tertentu, maka seharusnya kita memilih bagi setiap bangsa, hukum-hukum yang lebih dekat kepada tradisi-tradisi yang berlaku di kalangan mereka masing-masing.
Wanita di Barat telah biasa menangani sendiri urusan perkawinannya. Ia pun memiliki kepribadiannya sendiri yang tidak ingin dilepaskannya. Maka dalam hal ini, tidaklah seharusnya memaksakan pendapat Imam Malik atau Ahmad bin Hanbal atas bangsa-bangsa Barat, selarna pendapat Abu Hanifah terasa lebih dekat kepada kecenderungan dan kebiasaan mereka. Sikap yang berlawanan dengan ini, sudah barangtentu hanya menunjukkan ketegaran yang tak terpuji atau bahkan menjadi penghambat di jalan dakwah fi sabilillah.
Jika mereka dengan segala senang hati menerima adanya wanita yang menjadi hakim, menteri ataupun duta, biarkanlah mereka menuruti kehendak mereka. Banyak pendapat fiqhiyah dari ulama-ulama kita yang membolehkan berlangsungnya hal-hal seperti itu. Mengapa kita hendak memaksa mereka berpegang pada pendapat mazhab-mazhab tertentu saja?
Orang-orang yang tidak cukup luas pengetahuannya, sebaiknya menutup mulut mereka sendiri. Agar mereka tidak merusak citra Islam dengan menyebutkan suatu hadis yang tidak mereka pahami benar-benar, ataupun yang mereka pahami, sementara pengertian-pengertian lahiriah Al-Quran bertentangan dengannya.
Shalat jamaah termasuk di antara syi'ar-syi'ar Islam. Sejak terbentuknya masyarakat Muslim yang pertama, masjid merupakan pusat kegiatannya dan tempat pertemuan bagi para anggotanya. Di sana mereka bertemu muka dan berjabatan tangan. Jiwa-jiwa mereka pun bertemu atas dasar kasih sayang dan tolong-menolong.
Kaum mukmin berdiri dalam shaf-shaf yang rapi di hadapan Allah. Kaki bertaut dengan kaki, bahu dengan bahu, seraya hati mereka khusyuk mendengarkan bacaan Al-Quran di samping tasbih dan tahmid ketika rukuk dan sujud.
Shalat juga meninggalkan bekasnya yang mendalam, dalam pikiran dan perilaku. Ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan mampu meningkatkan taraf kesadaran mereka dan menumbuhkan ketakwaan. Pertemuan di antara mereka yang berulang-ulang setiap harinya, menjaga hubungan baik antar mereka, baik secara khusus maupun umum. Dan menjadikan anggota masyarakat menghadapi hari ini dan esok, dalam keadaan saling mengenal satu sama lain.
Ada lagi hal lain. Orang-orang yang tidak percaya kepada agama telah menjadikan dunia mereka diliputi oleh suasana yang materialistis dan ambisius. Keinginan-keinginan yang tak berharga menguasai tempat-tempat pertemuan mereka, memenuhi jalan-jalan mereka, mem-bentuk tradisi-tradisi mereka serta memperkuat keterjauhan mereka dari Allah dan ayat-ayat-Nya. Oleh sebab itu, kaum mukmin harus memiliki suasana yang lebih bersih, yang di dalamnya mereka meng-ingat Allah dan mengumandangkan suara kebenaran, Keimanan kepada yang gaib dapat dirasakan sebagai hakikat-hakikat yang menyejukkan hati, bukannya sekadar khayalan-khayalan yang mencemaskan!
Karena itulah, shalat jamaah merupakan salah satu syi'ar agama. Sedemikian sehingga sebagian fuqaha' berpendapat bahwa ia adalah fardhu 'ayn pada kelima waktu shalat, tidak boleh meninggalkannya kecuali dengan alasan yang dapat dibenarkan. Walaupun demikian, pendapat mayoritas fuqaha menetapkannya sebagai sunnah muakkadah (yang sangat dianjurkan).
Yang dipertanyakan kini ialah, apakah shalat jamaah tersebut menjadi sunnah muakkadah baik untuk laki-laki maupun wanita, ataukah hanya untuk laki-laki saja? Menurut mazhab Zhahiri, untuk kedua-duanya. Namun hal itu perlu pengamatan lebih lanjut.
Telah disebutkan dalam sebuah hadis yang disahihkan, bahwa seorang wanita adalah penggembala (pemimpin) dalam rumah tangga-nya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang digembalakannya. Tak diragukan lagi bahwa urusan anak-anak terutama yang masih menyusu dan upaya menyiapkan rumah untuk menyambut sang suami yang pulang dari tempat kerjanya, semua itu dapat menghalangi seorang wanita dari keikutsertaannya dalam shalat-shalat jamaah lima waktu, di masjid.
Karenanya, kami berpendapat bahwa keikutsertaannya dalam jamaah seperti itu, hanya dianjurkan baginya setelah ia menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah. Jika ia telah melakukannya, maka suaminya tidak berhak melarangnya pergi ke masjid. Tentang hal ini, ada sebuah hadis yang berbunyi: Janganlah kalian melarang sahaya-sahaya Allah dari mengunjungi masjid-masjid Allah.
Kami pun tak meragukan bahwa Nabi saw. telah mengkhususkan salah satu pintu masjid beliau untuk kaum wanita. Dan bahwa beliau telah menempatkan mereka di shaf-shaf terbelakang di masjid, mengingat yang demikian itu lebih aman bagi mereka (agar tidak tampak auratnya) terutama ketika rukuk dan sujud. Dan bahwa beliau melarang kaum laki-laki mendekati shaf-shaf wanita, sebagaimana beliau juga melarang kaum wanita berdiri dekat dengan shaf laki-laki.
Shaf-shaf kaum wanita itu masih terus diisi oleh mereka sepanjang hidup  Nabi   saw.   serta masa Al-Khulafa Ar-Rasyidun,   mulai subuh sampai 'isya; tak ada yang meributkannya.
Adakalanya diselenggarakan pula jamaah shalat Tarawih di bulan Ramadhan, khusus untuk kaum wanita. Dan telah diketahui juga bahwa kaum wanita ikut serta dalam kegiatan shalat 'id dan mendengarkan khutbah hari raya itu. Dan hal itu termasuk di antara syi'ar Islam.
Sayangnya, bahwa kesemarakan dalam dunia wanita yang direstui oleh Islam, lambat-laun mulai menghilang, sehingga pada akhirnya, disusunlah "hadis-hadis" yang melarang untuk mengajarkan menulis dan membaca kepada wanita, agar mereka tetap buta-huruf dan berpikiran primitive.
Demi kepentingan siapakah upaya melestarikan kondisi jahiliyah ini? Dan ketika setengah jumlah umat ini dipaksa untuk tetap dalam keadaan bodoh dan buta-huruf, bagaimana kira-kira generasi-generasi mendatang akan memperoleh pendidikannya?
Setelah itu, tersiar pula sebuah "hadis" lainnya, yang melarang kaum wanita menghadiri shalat-shalat jamaah di masjid. Bahkan dianjur¬kan bagi wanita apabila ia melaksanakan shalat di rumahnya, agar ia memilih tempat yang paling sepi dan paling terpisah. Sedemikian se¬hingga shalatnya di terowongan rumah lebih afdhal daripada shalatnya di kamar. Dan shalatnya di dalam kegelapan lebih afdhal daripada di tempat yang terang.
Perawi "hadis" ini secara terang-terangan melempar jauh-jauh semua sunnah amaliah dari Nabi saw. sang pembawa risalah, yang sampai kepada kita secara mutawatir.
Wanita yang sedang shalat dianggap sebagai pemandangan yang mengganggu, dan karenanya harus dikurung dalam ruang yang paling sempit dan paling jauh. Mari kita baca "hadis" yang ganjil ini sebagai¬mana disebutkan oleh Ibn Khuzaimah dan lainnya:
Diriwayatkan oleh Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa'idi, bahwa ia pernah menghadap Nabi saw. dan berkata kepada beliau: "Ya Rasulullah, saya senang melakukan shalat bersamamu."Beliau menjawab: "Aku tahu engkau menyukai shalat bersamaku. Tetapi shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid. Dan shalatmu di dalam kamar tidurmu lebih baik daripada shalatmu di ruang duduk rumahmu. Dan shalatmu di masjid keluargamu lebih baik daripada shalatmu di masjidku. " (Perawi hadis itu melanjutkan): Sejak itu, wanita tersebut minta agar dibangunkan baginya sebuah tempat shalat (mushalla] di bagian yang terjauh dan tergelap dari rumahnya. Di tempat itulah ia kemudian melaksanakan shalatnya sehari-hari sampai ia meninggal dunia.
Begitulah, makin sempit, makin terpencil dan makin sepi suatu ruangan, maka shalat di dalamnya menjadi lebih afdhal.
Ketika menyebutkan semua ini, Ibn Khuzaimah membuat judul bagi bab tersebut dalam bukunya: "Bab Shalat Seorang Wanita di Rumahnya Lebih Afdhal daripada Shalatnya di Masjid Rasulullah". Karena itu, ketika Nabi saw. bersabda: Shalat di masjidku ini lebih afdhal daripada seribu shalat di masjid lainnya, maka yang dimaksud ialah shalat kaum laki-laki, bukannya shalat kaum wanita.
Pertanyaan yang segera muncul seandainya keterangan ini benar ialah: Mengapa Nabi saw. membiarkan para wanita menghadiri shalat jamaah bersama beliau selama sepuluh tahun, dari fajar sampai 'isya? Mengapa beliau mengkhususkan salah sebuah pintu masjidnya bagi mereka? Dan mengapa beliau tidak menasihati mereka agar lebih baik shalat di rumahnya masing-masing, daripada bersusah payah dalam sesuatu yang batil.
Mengapa pula beliau pemah memendekkan shalat subuh dengan hanya membaca dua Surah pendek ketika beliau mendengar tangis seorang bayi, agar si ibu tidak menjadi gelisah dalam shalatnya?
Dan mengapa beliau bersabda: Jangan melarang sahaya-sahaya Allah mendatangi masjid-masjid Allah.
Dan mengapa Al-Khulafa Ar-Rasyidun membiarkan shaf-shaf kaum wanita di masjid-masjid setelah wafatnya Rasul yang mulia itu? Ibn Hazm telah membebaskan dirinya dan diri orang selainnya dari kebingungan ketika ia dengan tegas tidak mempercayai hadis-hadis yang melarang kaum wanita shalat di masjid-masjid. Ia menganggap hadis-hadis seperti itu sebagai batil belaka.
Ulama ilmu musthalah al-hadits telah menetapkan bahwa sebuah hadis dianggap syadz (ganjil) apabila perawinya yang tsiqah (yang di-percayai) bertentangan tentangnya dengan perawi yang lebih tsiqah (lebih dipercaya). Apalagi jika yang menentangnya itu seorang yang dianggap "lemah", bukan seorang tsiqah, maka hadis tersebut dianggap "munkar"atau "matruk" (ditinggalkan).
Dalam kenyataannya, tidak ada dijumpai dalam salah satu di antara kedua kitab Shahih  yakni Shahih Bukhari dan Shahih Muslim sebuah hadis pun yang mengandung larangan bagi kaum wanita untuk melaksanakan shalat di masjid-masjid. Hadis-hadis seperti ini tertolak semuanya.
Bagaimana pula jika hadis yang dha'if bertentangan dengan sunnah amaliah dan yang keterangannya sampai kepada kita secara mutawatir dan masyhur? Hadis seperti ini harus dijauhkan dari sejak semula.
Sejak berabad-abad yang lalu, kaum Muslim telah kehilangan sunnah (tradisi Nabi) yang benar. Anehnya, bencana ini terus dirasakan, namun dipertahankan secara fanatik oleh lingkungan masyarakat yang tidak mengenal selain riwayat-riwayat yang munkar dan tertolak.
Memang, adakalanya pelarangan terhadap wanita menghadiri shalat di masjid dapat dibenarkan, dalam keadaan wanita tersebut keluar dari rumahnya dengan dandanan yang tidak layak. Pergi ke masjid tidak boleh dijadikan sebagai kesempatan memamerkan kecantikan ataupun pakaian, bukan pula untuk membangkitkan rangsangan atau menyebabkan kerusakan moral. Pergi ke masjid hanyalah demi mencari keridhaan Allah seraya menanamkan takwa di dalam hati.
Menghalangi kaum wanita dari tingkah laku yang buruk adalah bersesuaian dengan pesan Nabi saw. Yakni agar mereka keluar (ke masjid) dengan berpakaian sederhana dan tidak dibuat-buat, tanpa wangi-wangian dan tanpa gerak-gerik yang menarik perhatian kaum pria.
Adapun mengeluarkan suatu peraturan yang mengandung larangan mendatangi masjid bagi wanita, secara umum, hal itu tidak bersesuaian dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Para ahli fiqih yang mengerti, seringkali terkejut dengan berbagai riwayat "hadis" yang jelas sekali bertentangan dengan riwayat-riwayat yang lebih dapat diterima oleh mereka.
Perhatikanlah keterangan Al-Mundziri di bawah judul: "Ancaman yang Ditujukan kepada Orang yang dengan Sengaja Meninggalkan Basmalah Ketika Memulai Wudhu". la berkata: "Telah diriwayatkan dari Al-Imam Abu Bakar bin Syaibah (rahimahullak), ucapannya yang menyatakan: 'Telah diketahui dengan pasti oleh kalangan kita bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Tiada wudhu bagi siapa yang tidak mengucapkan basmalah, Demikian pula dirawikan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: Tidak sah shalat seseorang yang tiada berwudhu. Dan tidak sah wudhu seseorang yang tidak mengucapkan basmalah sebelumnya.”
Padahal, para ahli fiqih dari berbagai mazhab menyatakan bahwa mengucapkan basmalah pada waktu wudhu, hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Mereka berdalil dengan riwayat Ad-Daruquthni dan AI-Baihaqiy dari Ibn Umar, secara marfu': Barangsiapa berwudhu dan menyebut nama Allah sebelumnya, maka wudhunya itu menyucikan seluruh tubuhnya. Dan barangsiapa berwudhu tanpa menyebut nama Allah sebelumnya, maka wudhunya itu hanya menyucikan anggota tubuhnya yang tersentuh air wudhunya itu.
Sebaiknya kita mengetahui bahwa sesuatu yang hukumnya fardhu (wajib) tidak menjadi fardhu kecuali dengan adanya dalil yang pasti (qath'iy}. Demikian pula pengharaman sesuatu harus disertai dengan dalil yang qath'iy. Sedangkan dalil-dalil yang hanya bersifat zhanniy (dugaan) tentunya memiliki kekuatan di bawah yang qath'iy.
Siapa saja yang memasuki arena kegiatan keagamaan, sementara pengetahuannya tentang hadis masih diragukan, sama saja dengan se-orang pedagang yang memasuki pasar dengan uang palsu. Orang seperti itu, janganlah menyesali selain dirinya sendiri apabila ia ditangkap polisi dan dibawa dengan tangan terbelenggu.
Kami mengimbau kelompok-kelompok serta organisasi-organisasi yang bekerja untuk Islam agar selalu waspada, sehingga tidak mudah tertipu oleh hadis-hadis palsu atau riwayat-riwayat yang lemah. Di samping itu, hendaknya mereka berusaha sungguh-sungguh mengkaji makna-makna yang benar dari hadis-hadis yang sahih.
Dan para tokoh ahli fiqihlah yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar