Makalah Lembaga Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial

Berikut ini adalah Makalah Lembaga Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial. Semoga makalah berikut ini dapat bermanfaat untuk anda yang membutuhkannya.

PENDAHULUAN
Dalam sejarah peradaban Islam terdapat dua corak pemikiran yang mempengaruhi cara berpikir umat Islam. Pertama, pemikiran tradisionalis (orthodox) yang berciri sufistik, kedua pemikiran rasionalis yang berciri liberal, terbuka, inovatif dan konstruktif. Kedua corak pemikiran inilah pada masa kejayaan Islam saling mengisi, akan tetapi kejayaan ini harus berakhir ketika diangkatnya penguasa baru Abbasiyah al-Mutawakkil yang bermadzhab sunni dan melakukan pencabutan izin resmi mu’tazilah, sebagai aliran resmi kenegaraan yang pernah terjadi di masa al-Ma’mun kondisi ini berlanjut hingga umat merasa antipati terhadap golongan mu’tazilah. Golongan ini gencar menyebarkan ajaran rasionalis. Sejak saat itu masyarakat tidak lagi mau untuk mendalami ilmu-ilmu sains dan filsafat, pola berfikir ini akhirnya berubah menjadi tradisional yang banyak dipengaruhi dengan ajaran spritualitas, takhayyul dan kejumudan.
Masa kejayaan Islam seakan dirindukan oleh umat muslim seluruh dunia khususnya dalam kejayaan bidang pendidikan Islam, di Indonesia telah banyak didirikan institusi pendidikan Islam yang salah satunya bertujuan untuk membangun akidah, moral dan mengembalikan kembali masa emas Islam. Melihat dari pengertian pendidikan Islam itu sendiri adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga daam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam.

Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam
Madrasah
Nakosteen menerjemahkan madrasah dengan kata university (universitas) dia juga menjelaskan bahwa madrasah di masa klasik Islam itu didirikan oleh para penguasa Islam untuk membebaskan masjid dari beban-beban pendidikan sekuler-sekterian. Berkembangnya madrasah di Indonesia pada awal abad ke 20-M merupakan wujud dari upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan para cendekiawan muslim Indonesia, yang melihat bahwa pendidikan Islam tradisional tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Pembaharuan ini tidak hanya pada bidang pendidikan akan tetapi saling keterkaitan antara berbagai aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain.
Secara sosial keagamaan madrasah diterima masyarakat muslim pada waktu itu karena materi pokok yang diajarkan (fiqh) dianggap merupakan kebutuhan masyarakat umumnya dalam rangka hidup dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran keyakinannya. Keunggulan madrasah dibandingkan dengan sekolah diantaranya adalah bahwa madrasah dibangun atas faktor teologis “Barang siapa yang memberi kemudahan jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga”, madrasah juga dibangun dikarenakan masyrakat Islam mempunyai beban moral dan kewajiban pada generasi selanjutnya untuk mendidik dan membinanya agar terwujud anak sholeh baik dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Pesantren
Pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam tradisional, meski pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bercorak Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek pesantren memiliki keunikan dibanding lembaga pendidikan Islam tradisional lain dimana pun di dunia. Pada saat yang sama, pesantren juga sesungguhnya memiliki orientasi internasional, dengan Mekkah sebagai pusat orientasinya, bukan Indonesia. Sebut saja misalnya tradisi “kitab kuning”, jelas bukan berasal dari Indonesia. Semua kitab kuning yang dipelajari di Indonesia menggunakan bahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum ajaran Islam tersebar di Indonesia. Bahkan, pergeseran perhatian utama dalam tradisi kitab kuning tersebut pun sejalan dengan pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar dunia Islam. Sejumlah kitab kuning yang dipelajari di pesantren meski relatif baru, tetapi tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Mekkah dan Madinah.
Berjalannya waktu sistem pendidikan yang dipunyai pesantren ini telah banyak diadopsi oleh sekolah-sekolah lain seperti sistem sekolah boarding school dan sekolah umum yang menerapkan full day, walaupun banyak penelitian yang mengatakan manajemen pesantren perlu diperbaharui secara fundamental dan komprehensif terutama berkaitan dengan bidang manajemen pengelolaan. Prof. A. Mukti Ali juga mengingatkan perlunya dilakukan upaya pembaharuan sistem pendidkan di pondok pesantren, meskipun pembaharuan sistem pendidikan berada ditangan pondok pesantren itu sendiri.
Abdurrahman Wahid mnyebutkan bahwa pesantren sebagai subkultur, Paul B Horton dan Chester L. Hunt mengartikan subkultur sebagai suatu kelompok pola perilaku yang tetap memiliki hubungan dengan kebudayaan umum suatu masyarakat, tetapi pada bagian tertentu memiliki kekhususan yang dapat dibedakan dengan pola yang berlaku secara umum dalam masyarakat. Sebagai subkultur pesantren telah mampu mempertahankan nilai-nilai kehidupan tersendiri untuk dapat mempertahankan posisinya sebagai miniatur masyarakat yang ideal, dari situ pesantren memiliki misi tersendiri untuk mentransformasikan nilai-nilai tersebut kedunia luar, baik melalui program pengabdian masyarakat maupun lulusan yang telah kembali ke kampung halamannya.
Salah satu penelitian mengatakan tradisi besar santri mewarnai dikotomi orientasi sosiokultural masyarakat Jawa dan Indonesia yang disebut dengan Islam mutihan dan Islam Abangan, aliran orthodoks dan ahli sunnah wal Jamaah dan kaum Islam modern, santri dan abangan, dan kaum nasionalis keagamaan dan nasionalis sekular. 

Pendidikan Diniyah
Pendidikan Diniyah sebenarnya telah ada bersamaan pada masa penyebaran Islam di Indonesia yang pada waktu itu mendapatkan bantuan dari para sultan selaku penguasa setempat. Didirikannya pendidikan diniyah dikarenakan untuk memperluas pemahaman agama bagi muslim yang buta dengan agamanya, adapula pendidikan agama yang diselenggarakan di luar pesantren dimaksudkan untuk memperdalam ajaran agama mereka dan mengamalkannya.
Pendidikan diniyah diluar pesantren didirikan atas beberapa inisiatif yang pertama menurut Hasbi Indra bahwa siswa-siswa yang belajar di sekolah umum di luar sangat sedikit memperoleh ilmu agama dan pendidikan moral, oleh karena itu para orang tua siswa memasukkan anak-anaknya setelah sekolah umum mereka belajar ke pendidikan diniyah. Kedua pendirian diniyah atas dasar faktor ekonomi, masyarakat menyadari bahwa mereka tidak mampu mengirimkan anak-anaknya ke sekolah yang letaknya jauh atau sekolah dengan biaya mahal, dikarenakan anak harus membantu orang tuanya mencari nafkah. 
Pendidikan diniyah seperti juga pendidikan Islam lainnya sangat cepat perkembangannya ditengah masyarakat global, bagi mereka yang bersekolah di dua sekolah (pendidikan umum dan pendidikan diniyah) sangatlah perlu untuk mendapatkan gizi yang prima dan kerja keras otak yang lebih, oleh karena itu sangat sulit untuk siswa yang berada ditengah ekonomi keluarga yang sangat sederhana, oleh karena itu pendidikan diniyah memerlukan kurikulum yang integratif yang memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum yang mana siswa yang belajar di sekolah umum dan di sekolah diniyah akan dapat memperoleh pengetahuan yang kokoh mereka memiliki ilmu pengetahuan umum yang cukup dan juga ilmu agama yang kuat.
Demikian juga para guru agar dapat meningkatkan pengetahuan mereka dengan ilmu agama dan ilmu umum dengan mengikuti pelatihan guru, guru juga perlu diberikan insentif dan kualitas penghidupannya ditingkatkan agar mereka lebih bersemangat dalam mengajar, serta sarana dan prasarana yang memadai dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.

Perguruan Tinggi Islam
Perguruan Tinggi Islam pada awal berdirinya menyandang misi utama, yakni mencetak ulama yang berwawasan luas dan menjadi panutan masyarakat. Perguruan tinggi Islam di Indonesia mulanya berdiri pada tahun 1940 yang bernama Sekolah Tinggi Islam (STI) oleh persatuan guru agama Islam di Padang. Penerbitan peraturan presiden no 11 pada tahun 1960 yang menggabungkan PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta pada tanggal 9 Mei 1960 menjadi Institut Agama Islam Negeri dengan nama al-Jâmi’ah al-Islâmiyah al-Hukumiyah yang berkedudukan di Yogyakarta dan Jakarta. IAIN merupakan pusat pengembangan dan pendalaman agama Islam. 
Pada abad 21 ini Jumlah perguruan tinggi agama Islam baik negeri dan swasta semakin meningkat sebanyak 625 lembaga dengan rincian UIN sebanyak 6 lembaga, IAIN 16 Lembaga, STAIN 31 lembaga, FAI 93 lembaga, Institut 26 lembaga, STAIS 506 lembaga, ini menunjukkan bahwa kemajuan tingkat ekonomi dan perhatian pada pendidikan semakin baik.

Sekolah Elite Muslim
Dibangunnya sekolah-sekolah elite muslim oleh para cendekiawan muslim pada zaman modern sekarang ini merupakan perubahan kemajuan pendidikan para umat muslim sendiri, dan ingin meninggalkan sekolah-sekolah Islam terdahulu yang terkesan tradisional.
Madrasah sekarang tidak lagi menjadi sekolah Islam yang hanya diminati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan sudah diminati oleh siswa-siswa yang berasal dari masyarakat golongan kelas menengah ke atas. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah Islam atau madrasah elit yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum sudah banyak bermunculan.
Perkembangan yang mencolok pada tahun 90-an adalah munculnya sekolah-sekolah elite Muslim yang dikenal sebagai sekolah Islam. Sekolah-sekolah itu mulai menyatakan dirinya secara formal dan diakui oleh banyak kaum Muslim sebagai sekolah unggulan atau sekolah Islam unggulan. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut sekolah-sekolah tersebut adalah SMU Model atau Sekolah Menengah Umum (Islam) Model. Dapat saja disebut, sekolah Islam al-Azhar yang berlokasi di komplek Masjid Agung al-Azhar di Kebayoran Baru Jakarta, dengan beberapa cabang seperti Cirebon, Surabaya, Sukabumi, Serang, Semarang dan sebagainya. Sekolah al-Izhar di Pondok Labu, Jakarta, SMU Insan Cendekia di Serpong dan SMU Madinah di Parung. Selain itu,masih muncul pula madrasah elite lain yang juga menjadi madrasah favorit,sebagai contoh adalah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) I Malang, Jawa Timur. 
Pada akhirnya keunggulan sebuah madrasah akan sangat ditentukan oleh keberhasilan peserta didik (output dan outcome) yang memiliki prestasi yang membanggakan.

Institusi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial 
Pesantren dan Perubahan Sosial
Pendidikan para santri di pesantren, terutama pesantren modern menyerupai Total Instutions Goffman menyebut salah satu karakteristik dari Total Institutions adalah penanaman religiusitas di institusi agama, seperti biara. Dalam konteks Islam, pesantren dengan segala disiplin dan penananaman nilai-nilai Islamya, dan mengisolir siswa dalam jangka waktu tertentu dari lingkungannya, agar dapat membentuk santri sesuai yang dicita-citakan. Pesantren menjadi institusi total pendidikan, dengan berpegang pada iman atau tauhid Islam. Realitas ini menjelaskan bahwa pendidikan menjadi bagian yang sangat penting dalam menggerakkan proses perubahan di masyarakat.  
Kemandirian pesantren mendapat sorotan di mata Martin van Bruinessen salah seorang peneliti keislaman dari Belanda meyakini bahwa didalam pesantren terkandung potensi yang cukup kuat dalam mewujudkan masyarakat sipil (civil society) watak dasariah pesantren yang diidentifikan dengan penolakan terhadap isu-isu pemusatan (sentralisasi) merupakan potensi luar biasa bagi pesantren dalam memainkan transformasi sosial secara efektif. 
Abdurrahman Wahid mengatakan dalam kondisi sosial politik yang serba menegara dan hegemoni oleh wacana kemoderenan, pesantren dengan ciri-ciri dasariahnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama kepada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibilitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, baik dalam wacana keagamaan, dalam setting sosial-budaya, bahkan politik dan ideologi negara.
Pesantren memiliki potensi yang besar untuk pemberdayaan masyarakat, watak dasar pesantren yang independen lebih memungkinkan baginya untuk dapat memberdayakan masyarakat sekitar sebagai bentuk pelayanan kepada umat, tidak sekitar pesantren telah menunjukkan eksistensi dirinya dan mampu memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar, dan telah mampu menghidupi dirinya dan telah menjadi penyangga ekonomi masyarakat sekitarnya.

Pesantren Sebagai Akulturasi Budaya
Budaya pesantren merupakan salah satu bagian setting sosial Islam, yang mengakui perbedaan “takdir” manusia dalam pendekatan intelektual terhadap permsalahan yang terungkap di dunia empirik. Menurut Islam hakekat manusia sama, kemampuan sejak lahir untuk menyadari adanya Allah serta ke-Maha Esa-annya. Seluruh pengikut Nabi Muhammad SAW diingatkan agar selalui menyadari sepenuhnya kesatuan manusia ini, dan berdasarkan kesadaran itu dibentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari seluruh budaya manusia, dengan demikian adanya budaya lokal yang berakulturasi dengan ajaran Islam. Tradisi pesanten merupakan salah satu bentuk budaya hasil akulturasi budaya Indonesia dengan ajaran Islam dan tradisi pesantren tidak kita temui di negara-negara lain.

Pesantren dan Potensi Radikalisme
Kajian terhadap dunia pesantren memang tidak terbatas pada persoalan tradisi keilmuan lazimnya dunia pendidikan selalu bersentuhan dengan dunia luar, pesantren juga tidak bisa mengisolasi dirinya dari dunia luar. Wajar ketika pesantren mengambil posisi sebagai agen perubahan sosial, dalam bukunya Abd Muin dkk pesantren dikaitkan dengan aksi radikalisme dan terorisme terutama pada pasca pengeboman Bali 12 Oktober 2002 yang menewaskan 204 orang, Polri berhasil menyingkap aktor aksi teror diantaranya Imam Samudra, motivasi keagamaan di balik aksi teror di Indonesia diduga kuat berhubungan dengan pengalaman pelakunya ketika mempelajari Islam. Institusi pesantren tentu mendapat sorotan tajam dari masyarakat setelah pelaku aksi teror terjadi di Bali yang ternyata pernah belajar di Pesantren.
Pesantren salafisme akhir-akhir ini juga dikaitkan dengan aksi teror yang dilakukan oleh beberapa alumni pesantren yang juga mengusung ideologi yang sama dengan pesantren NU, jika pesantren NU salafisme melahirkan sikap moderat sementara pada pesantren yang sering dikaitkan alumninya yang terlibat dengan aksi teror melahirkan sikap radikal. Dalam bukunya Abd Muin dkk terdapat beberapa pesantren yang berpotensi radikal seperti; pesantren al-Ittihad al-Islamy Sampang Madura,; Minhajus Sunnah Magelang; Ihyaus Sunnah Aceh; Islamic Center Bin Baz Yogyakarta, dan Hidayatullah Mataram, tentunya kategori pesantren-pesantren yang berpotensi radikal ini didasarkan tanggapan mereka terhadap isu-isu krusial yang telah diteliti.

Munculnya Organisasi Sosial Keagamaan
Para cendekiawan muslim pada umumnya terlibat secara aktif dalam gerakan-gerakan sosial baik keagamaan ataupun lembaga swadaya masyarakat, misalnya di Makasar Sulawesi Selatan berdiri IMMIM (Ikatan Masjid Mushala  Indonesia Mutahadiah) yang bergerak pada pengembangan masyarakat melalui lembaga ibadah masjid dan mushala. Masyarakat di wilayah Sulawesi Selatan ini juga mempunyai KPPSI (Komite Persiapan Penerapan Syariah Islam) yang bekerja sama dengan dosen-dosen IAIN untuk menghindari radikalisme yang potensinya cukup besar di wilayah Makasar, dalam masa orde baru terbentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada akhir tahun 1990.

Intelektual Muslim Sebagai Aktor Perubahan Sosial    
Intelektual muslim merupakan produk reformasi Islam yang menjadi fenomena utama dunia Islam abad ke-20. Pada masa sebelumnya Islam hanya mengenal ulama untuk menunjuk kalangan ter,,,pelajar muslim. Di Indonesia tokoh-tokoh penting ulama seperti Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Ahmad Dahlan yang pernah belajar di Makkah. Sebagai kelompok sosial intelektual muslim membawa perubahan sosial-keagamaan di Indonesia. Pandangan Esposito dan Voll bahwa intelektual muslim merupakan ”makers of contemporary Islam” merupakan istilah yang tepat tidak hanya untuk menggambarkan intelektual muslim di dunia Islam tetapi juga di Indonesia. Terbentuknya kelompok intelektual muslim generasi baru memperkuat kesadaran kelompok ini bahwa modernisasi secara subtansial bagian dari Islam, tokoh-tokoh muslim seperti Delier Noer, Omar Hashem, HM. Rasyidi, Nurcholish Majdid, dan Amien Rais masing-masing pernah menulis tentang modernisasi dalam konteks umat Islam Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar