Makalah Pesantren Sebagai Institusi Pendidikan dan Tipologinya

Berikut ini ialah Makalah Pesantren Sebagai Institusi Pendidikan dan Tipologinya. Semoga makalah berikut ini dapat membantu anda dalam mengerjakan mata kuliah anda.

Pendahuluan
Sebagai institusi pendidikan tertua di Indonesia, pesantren dalam perjalanannya, telah mendokumentasikan berbagai sejarah bangsa Indonesia, baik sejarah sosial budaya masyarakat Islam, ekonomi maupun politik bangsa Indonesia.
Sejak awal pertumbuhannya, fungsi utama pesantren adalah menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal tafaqquh fi al-din, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia dan melakukan dakwah menyebarkan agama Islam serta benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat pengajian yang di barengi dengan sistem pengajaran yang khas, yang menjadi ciri tersendiri. Perkembangan selanjutnya, lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren. Bahkan dari segi penamaan istilah pengajian merupakan istilah baku yang digunakan pesantren, baik salaf maupun khalaf. 
Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap para santri yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan. 
Pada bentuk yang selanjutnya, pesantren memiliki  sistem pendidikan yang berbentuk madrasah dengan menggunakan sistem kelas yang bertingkat-tingkat dan ketergantungan pada ijazah-ijazah formal sebagai tanda keberhasilan pendidikan seorang murid, sehingga menyebabkan seorang santri harus tinggal dalam satu pesantren untuk waktu berthaun-tahun.

A. Pengertian Pesantren 
Pesantren berasal dari kata santri dengan awal pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal santri (Dhopier,1984:18). Pesantren dalam bahasa arabnya di sebut juga dengan kuttab namun di Indonesia istilah kuttab lebih dikenal dengan suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan terebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Secara terminologi, KH. Imam Zarkasih mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentral, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
KH. Abdurrahman Wahid, mendefinisikan pesantren secara teknis, pesantren adalah tempat di mana santri tinggal.

B. Pesantren Sebagai Institusi Pendidikan dan Tipologinya
Lembaga pendidikan pada awal masuknya Islam belum bernama pesantren sebagaimana dikemukakan oleh Marwan Saridjo sebagai berikut:
Pada abad ke-7 M. atau abad pertama hijriyah diketahui terdapat komunitas muslim diIndonesia (Peureulak), namun belum mengenal lembaga pendidikan pesantren.Lembaga pendidikan yang ada pada masa-masa awal itu adalah masjid atau yang lebih dikenal dengan nama meunasah di Aceh, tempat masyarakat muslim belajar agama. Lembaga pesantren seperti yang kita kenal sekarang berasal dari Jawa.
Di jawa dan madura pesantren merupakan tempat pengajian untuk anak-anak dan menjadi lembaga-lembaga pusat organisasi tarekat pada waktu itu sehinga kedua kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan struktur dalam sistem pendidikan  Islam Tradisional.
Dalam  perkembangnya yang sangat pesat. Sepanjang abad ke-18 sampai dengan abad ke-20, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga kemunculan pesantren di tengah masayarakat selalu direspons positif oleh masyarakat. Respon positif masyarakat tersebut dijelaskan oleh Zuhairini sebagai berikut: Pesantren didirikan oleh seorang kyai dengan bantuan masyarakat dengan cara memperluas bangunan di sekitar surau, langgar atau masjid untuk tempat pengajian dan sekaligus sebagai asrama bagi anak-anak. Dengan begitu anak-anak tidak perlu bolakbalik pulang ke rumah orang tua mereka. Anak-anak menetap tinggal bersama kyai di tempat tersebut.
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat bentuk hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub tipologi pesantren yaitu :
1. Pesantren Salafi yaitu pesantren yg tetap mempertahankan pelajaran dgn kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana yg lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dgn metode sorogan dan weton.
2. Pesantren Khalafi yaitu pesantren yg menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi) memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
3. Pesantren Kilat yaitu pesantren yg berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yg dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
4. Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yg lbh menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dgn program yg terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja. (2006:101)

Sedangkan menurut Mas’ud dkk ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1. Pesantren yg mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yg diajarkan dipesantren ini sepenuh bersifat keagamaan yg bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yg ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain.
2. Pesantren yg memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dgn kurikulum yg disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yg ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yg dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3. Pesantren yg menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yg sampai Perguruan Tinggi yg tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adl contohnya.
4. Pesantren yg merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yg terbanyak jumlahnya. (2002:149-150)

Modernisasi Pendidikan Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan tertua dan asli masyarakat Indonesia, pesantren menampilkan suatu sistem pendidikan tradisional, yang mempertahankan sistem, materi, metode, evaluasi tradisional dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai dan ajaran Islam. Sistem pendidikan dengan tidak mengenal penjenjangan, menggunakan metode sorogan dan wetonan, materi pembelajaran dengan.
Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai upaya untuk memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau dengan kata lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang , baik berupa hasil penemuan (invention) maupun discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren.
Miles mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Bidang personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial, tentu menentukan personel sebagai komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan komponen personel misalnya adalah peningkatan mutu guru, sistem kenaikan pangkat, dan sebagainya. 
2. Fasilitas fisik. Inovasi pendidikan yang sesuai dengan komponen ini misalnya perubahan tempat duduk, perubahan pengaturan dinding ruangan perlengkapan Laboratorium bahasa, laboratorium Komputer, dan sebagainya. 
3. Pengaturan waktu. Suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanan penggunaan waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya pengaturan waktu belajar, perubahan jadwal pelajaran yang dapat memberi kesempatan siswa/mahasiswa untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya, dan lain sebagainya.

Menurut Nur Cholis Majid, yang paling penting untuk direvisi adalah kurikulum pesantren yang biasanya mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren terlihat materinya hanya khusus yang disajikan dalam bahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi fiqh, aqa’id, nahwu-sharf, dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat keagamaan yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan.
Tasawuf hanya dipelajari sambil lalu saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan kurikulum Pesantren Modern Gontor sebagai model modernisasi pendidikan pesantren.
Terdapat beberapa tantangan yang tengah dihadapi oleh sebagian besar pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu:
1. Image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.
2. Sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.
3. Sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
4. Aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
5. Manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur.
6. Kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.
7. Kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. (Saifuddin Amir, 2006) Modernisasi pendidikan Islam, merupakan salah satu pendekatan untuk penyelesaian jangka panjang atas berbagai persoalan ummat Islam saat ini dan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, modernisasi pendidikan adalah suatu yang penting dalam melahirkan peradaban Islam yang modern. Namun demikian, modernisasi pendidikan Islam tidaklah dapat dirasakan hasilnya pada satu dua hari saja, tetapi ia memerlukan suatu proses panjang yang setidaknya akan menghabiskan sekitar dua generasi.

Terdapat dua alasan pokok yang melatarbelakangi pentingnya dilakukan modernisasi pendidikan Islam, yaitu, pertama, konsep dan praktik pendidikan Islam selama ini terlalu sempit, terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, yang melahirkan dikotomi keilmuan yang telah diwariskan ummat Islam sejak masa kemunduran Islam (abad kedua belas). Dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam meliputi:1) dikotomi antara ilmu agama dan ilmu non agama, yang melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara menoton, 2) dikotomi antara wahyu dan alam yang menyebabkan kemiskinan penelitian empiris dalam pendidikan Islam, dan ketiga, 3) dikotomi antara iman dan akal.
Dalam perspektif ini, Islam harus diyakini sebagai religion of nature, yang dengannya segala bentuk dikotomi antara agama dengan ilmu pengetahuan dihilangkan. Alam beserta isinya (materi dan kejadiannya) mengandung tanda-tanda yang memperlihatkan pesan-pesan Tuhan yang menggambarkan kehadiran kesatuan sistem gobal, yang dengan mendalaminya, seseorang akan mampu menangkap makna dan kebijaksanaan dari suatu yang transenden. Dengan demikian, iman tidak boleh dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Kedua, lembaga-lembaga pendidikan Islam sampai saat ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam, dalam meng-hadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia di segala bidang.
Oleh karena itu, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam. Dalam perspektif ini, lembaga pendidikan Islam diharapkan sanggup membenahi diri, sehingga ia tidak hanya mampu menjadi media transmisi budaya, ilmu dan keahlian, tapi juga sebagai interaksi potensi dan budaya, yaitu bagaimana lembaga-lembaga pendidikan Islam mampu menumbuh-kembangkan potensi anak yang diberikan Allah sejak lahir dalam konteks mempersiapkan anak didik untuk menjalani kehidupannya.
Dala  catatan Azyumardi Azra, pembaharuan dan modernisasi pendidikan Islam di mulai di mulai di Turki pada awal abad pertengahan ke-19 yang kemudian menyebar hampir ke seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani di Timur Tengah. Akan tetapi program pembaharuan pendidikan di Turki itu semula tidak di tempatkan madrasah sebgai obyek pembaharuan.

Radikalisme dan Teroris di Pesantren
Pesantren dengan tradisional merupakan dua hal yang tidak bisa di pisahkan, jika kita lihat gerak dari perkembangan pesantren tidak begitu signifikan kalau di bandingkan dengan proses pola umum pendidikan modern. Namun pada kenyataanya bisa kita lihat sekarang pesantren yang di kenal sebagai tempat menimba ilmu agama sudah di cap menjadi sarang teroris oleh barat.
Radikalisme menurut kamus besar bahasa Indonesia ikhtiar baru tahun 1995 adalah suatu paham aliran yang menghendaki perubahan secara drastis.(kamus besar bahasa Indonesia ikhtiar baru:1995). Sedangkan menurut kamus ilmiah popular radikalisme adalah inti dari perubahan (bary,kamus ilmiah popular:1994).
Radikalisme adalah pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai oleh empat hal. Pertama, sikap tidak toleran. Kedua, tidak mau menghargai pendapat. Ke tiga,  tidak menghargai keyakinan orang lain. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan  kekerasan untuk mencapai tujuan. Umumnya radikalisme muncul dari pemahaman agama yang tertutup dan tekstual. Kaum radikal selau merasa kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan. Karena itu, mereka suka mengkafirkan orang lain atau menganggap orang lain sesat.
Dilihat dari sejarahnya, radikalisme terdiri dari dua wujud:
1) Radikalisme dalam pikiran (yang sering juga disebut sebagai fundamentalisme).
2) Radikalisme dalam tindakan (terorisme).

Faktor Penyebab Gerakan Islam Radikal Di Indonesia
Apa yang biasanya disebut sebagai kebangkitan Islam di Indonesia adalah hadirnya gejala-gejala keagamaan yang muncul secara dominan sejak tahun 1980an di tandai oleh menguatnya kecenderungan orang-orang Islam untuk kembali kepada agama mereka dengan mempraktikkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kecenderungan ini bisa dikatakan baru karena hal itu tidak muncul di tahun 1960an sehingga kebangkitan Islam baru muncul di awal tahun 1980an.
Bangkitnya Islam di Indonesia diantaranya telah terdorong oleh faktor-faktor tertentu yang berasal dari dalam islam sendiri atau dari luar islam.beberapa gerakan menyatakan secara tegas aspek-aspek politik yang ingin mereka kejar. Sebagian lainnya berusaha untuk menegaskan kembali praktik-praktik keagamaan mereka dari pada mengejar politik.
Bisa disimpulkan bahwa gerakan Islam dalam masyarakat Indonesia kontemporer sekarang ini ditandai oleh beberapa upaya.
a. Menemukan bentuk pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang perlu untuk dirumuskan dan disodorkan sebagai alternatif terhadap sistem yang berlaku sekarang.
b. Menerapkan ajaran Islam secara praktis tidak hanya sebagai konsep-konsep yang abstrak.
c. Menyingkatkan keberagaman masyarakat
d. Kelemahan islam dalam politik dan berlengsernya masa orde baru telah menyebabkan umat islam frustasi sehingga menjadi mayoritas yang diam. Karena islam dalam politik tahun 1980an telah sampai kepada jalan buntu, beberapa intelektual Islam telah mengajukan jalan lain dengan membawa Islam ke jalan lain selain politik.
e. Melakukan purifikasi keagamaan. Ada dugaan bahwa Islam telah terdistorsi karena Islam telah dipahami secara parsial.
Disini ada dua pesantren yang dianggap sarang teroris oleh Barat dan di tuduh radikal atau mengajarkan prinsi-prinsip radikalisme militan

A. Pesantren al-Mukmin
1. profil
Pesantren ini di dirikan pada tanggal 10 maret 1972 di Jalan Gading Kidul 72 A Solo di bawah naungan yayasan pendidikan islam. Tokoh perintis pendiri yayasan ini adalah Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asir, Abdullah Baraja, Yoyo Rosywadi, Abdul Kohar Hadain, Matase, Hasan Basri. Pesantren ini menjadi terkenal karena para tokoh pesantren ini merupakan tokoh keturunan yaman yang pada masa orde baru gencar menentang diterapkannya asas tunggal pancasila, tokoh ini juga pernah disangkut pautkan dengan rencana pendirian negara islam indonesia.

2. Penerapan Sariat Islam
Di pesantren ini mereka menginginkan agar sariat islam di terapkan dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara. Formalisasi penerapannya dilakukan melalui keputusan politik. Para tokoh ini berkeyakinan bahwa penerapan sariat islam akan menyelesaikan persoalan bangsa, masyarakat dan individu. KH. Wahyudin yang merupakan pimpinan pesantren al-mukmin menyatakan bahwa sariat islam bukan salah satu, tapi satu-satunya yang dapat mensejahterakan umat, karena islam sendiri mengatur dunia dan akhirat. Proses penerapan sariat islam dalam pesantren ini adalah melalui jalur pendidikan. Dengan demikian pesantren mengedepankan pendidikan sebagai instrumen dalam sosialisasi penerapan nilai-nilai sariat islam kepada santri pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pendidikan pesantren ngeruki ini kelihatannya lebih menekankan pada penanaman jiwa keagamaan, menekankan pemahaman ruh akidah islamiah, yang dengan begitu santri diharapkan dapat melaksanakan sariat islam secara murni. Maka segala bentuk yang mengkhawatirkan dan mengaburkan pengertian akidah islamiah, menurut para pengasuhnya, harus di singkirkan. Pola pengajaran dan pemahaman seperti itu memberi kesan banyak orang bahwa pesantren ini fundamentalis. Dengan pola ini pesantren al-mukmin ingin menanamkan islam sebagai aturan kehidupan atau dengan kata lain mendorong fundamentalisme islam di indonesia. Ingin menguat setelah munculnya tuduhan bahwa pesantren ini merupakan sarana pendidikan yang melahirkan teroris, dan salah eorang pemimpinnya,
Abu Bakar Ba’asir, dituduh terlibat dalam jaringan teroris internasional melalui jama’ah islamiah. Hal ini berkaitan dengan fundamentalisme ini bisa dilihat dari pandangan beberapa pimpinannya. Salah seorang di antaranya, misalnya, pernah mengatakan bahwa ideologi negara pancasila belumlah mengakomodasi hakikat keislaman. Sikap fundamentalisme juga dapat dilihat dalam hal lain. Pesantren ini,misalnya mengharamkan produk amerika dengan alasan ini terkait dengan politik luar negeri amerika yang mendukung israel dalam mendzalimi bangsa palestina yang merupakan umat islam, amerika dianggap tidak adil terhadap negara-negara yang berpenduduk muslim, dan bahkan telah meracuni generasi muda islam dengan menyodorkan nilai-nilai yang merusak islam. Pengharaman terhadap produk amerika ini nampaknya karena amerika telah diposisikan sebagai musuh dan menyatakan perang jihat terhadap perang amerika. Bagi para tokoh pesantren ini, berjihat itu sebenarnya harus dilakukan melalui dakwah, tetapi hal itu bisa juga dilakukan dengan berperang terhadap musuh yang menyeranag.

B. Pesantren Al-Islam
1. Profil
Pesantren Al-Islam berlokasi di desa tenggulun, kecamatan Solo Kuro, Lamongan bagian utara. Al-islam didirikan terutama didasari oleh penglihatan H.Hosim terhadap para pelajar di sekolah umum yang sangat sedikit memperoleh ajaran agama. Khitoh al-islam adalah untuk mencetak ulama amilin fisabilillah, yakni orang alim yang suka mengamalkan islam dijalan Allah. Kurikulum al-islam dibuat sendiri berdasarkan penggabungan dari susunan mandiri diknas dan depag. Kegiatan belajar pesantren dimulai dari jam 8 sampai jam 12 siang. Pesantren al-islam juga mengeluarkan ijazah tersendiri tetapi bila santri memerlukan ijazah dari pemerintah, al-islam memfasilitasi untuk melakukan ujian persamaan, bergabung dengan sekolah luar.

2. Organisasi dan aktivitas 
Dalam kaitannya dengan pesantren Ngeruki, al-islam sama sekali tidak mempunyai hubungan struktural, hubungan terbentuk hanya dalam konteks perintisan para ustadz yang diperlukan oleh al-islam. Dari sini sudah jelas tidak ada hubungan antara al-islam dengan pesantren al-mukmin.

3. Pandangan keaggamaan
Dalam pandangan ini pesantren al-Islam  sama sekali tidak ada dua pelajaran yang diduga menjadi sumber radikalisme, seperti kanuragan dan fiqih jihad. Menurut Muhammadiyah Nabi sendiri tidak pernah mengajarkan ilmu yang aneh-aneh seperti itu. Yang diajarkan mereka pada para santri adalah doa-doa untuk menghadapi keadaan genting. 

Kelompok-kelompok Isalm Radikal Di Indonesia
Beberapa kelompok radikal di indonesia yang berupaya menegakkan syariat Islam diantaranya:
a. Jamaah Salafi (Bandung)
Di Bandung, Abu Haedar adalah tokoh utama salafi, tetapi bukan pemimpin salafi karena dalam pandangan pengikut salafi mereka tidak mempunyai organisasi dan pengurus, bahkan dalam jamaah mereka sama sekali tidak ada hierarki. Semua pengikut mempunyai kedudukan yang sama. Karenanya mereka merupakan gerakan dakwah untuk menerapkan manhaj (cara atau metode berfikir) yang diyakini.
Cara - cara mereka mempraktekkan Islam sangat dipengaruhi oleh Wahabi, yang karenanya mereka berhadapan dengan masalah praktek Islam yang agak bertolak belakang. Setiap proses pengenalan Islam selalu terjadi apa yang disebut parokhialisasi dan generalisasi. Parokhialisasi adalah penyesuaian Islam ke dalam kultur lokal, sementara generalisasi adalah menarik kultur lokal ke dalam kerangka Islam yang umum atau mungkin yang dasar yang bisa berlaku dimana-mana.
Gerakan salafi dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Saudi Arabia. Muhammad Bin Abdul Wahab adalah pendiri Wahabi yang berusaha mengubah wajah Islam sebelumnya agar sesuai dengan yang dipraktekkan oleh Nabi. Dalam pandangannya, Islam saat itu telah dipenuhi oleh bid'ah dan khurafat. Karena itu, dalam pandangannya hal-hal ini tidak mempunyai rujukan (dari Nabi) secara jelas, dan setiap yang tidak punya rujukan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap yang sesat neraka tempatnya.
Kalangan Salafi bisa dikatakan sebagai kelompok fundamentalis radikal setidaknya dalam pemikiran. Hal ini berkaitan dengan keinginan mereka untuk menerapkan dasar-dasar Islam dalam kehidupan masyarakat. Disamping itu, mereka juga berkeinginan untuk mengganti Islam yang sementara ini dipraktekkan oleh masyarakat dengan Islam yang mereka anut dan dianggap paling benar. Seperti dikemukakan diatas, mayoritas umat Islam Indonesia dalam pandangan salafi telah terlumuri oleh praktek Islam yang melenceng. Bid'ah karenanya terpraktekkan dimana-mana. Kelompok masyarakat yang mempraktekkan bid'ah ini tidak terbatas pada kalangan NU (tradisionalis). Karena memelihara tradisi yang ada, tetapi juga kalangan lain yang biasa disebut modernis, seperti Muhammadiyah. Disini kelihatan bahwa salafi berusaha melakukan purifikasi, karena Islam yang ada dianggap terkotori oleh pengaruh atau praktek dan pemikiran yang tidak berasal dari sahabat Nabi. Karena itulah, mereka dalam hal ini selalu menolak pemikiran-pemikiran baru yang datang dari ulama atau intelektual Islam lain selain kelompok mereka. Jadi radikalnya itu terbatas pada kegigihannya untuk mengubah situasi atau praktek Islami yang ada yang dilakukan oleh mayoritas Muslim Indonesia dan mengembalikannya kedalam situasi atau praktek para sahabat Nabi. Radikalnya mereka tidak menyentuh dimensi pembaharuan atau reformasi baik dalam pemikiran atau lainnya.
Meskipun demikian, radikalisme salafi hanya terbatas pada sikap atau pemikiran dan tidak tertuangkan dalam tindakan. Dalam tindakan, mereka sepertinya membiarkan masalah-masalah yang sejauh ini mereka anggap bertentangan dengan Islam. Mereka terutama memberikan perhatian besar terhadap apa yang mereka sebut pelurusan akidah. Mereka, misalnya, berbeda pendapat dengan apa yang dilakukan oleh kelompok Islam lain yang menghancurkan beberapa tempat yang dianggap maksiat. Dalih yang digunakan adalah bahwa penanganan masalah seperti itu harus dilakukan oleh mereka yang punya power. Makanya hal itu sebenarnya urusan pemerintah. Apa yang perlu dilakukan oleh orang Islam adalah bersikap, setidaknya negatif terhadap maksiat tadi.
Mereka mengakui bahwa penerapan Islam itu memang meliputi banyak aspek dalam kehidupan manusia. Tetapi keterbatasan diri telah membatasi langkah menusia mengenai mana yang bisa dilakukan dan mana yang tidak. Perintah Qur'an untuk melarang atau mengubah kelakuan atau praktek maksiat tidak bisa dilakukan secara individual. Perubahan dibidang ini, kata mereka, harus menggunakan power yang memang jauh dari tangan mereka. Seorang Islam akan terbebas dari perintah itu ketika dia tidak mempunyai kekuatan dan juga menyikapi masalah kemungkaran itu sebagai masalah yang jelek yang dilarang oleh agama.
Sikap diatas nampaknya menjadi karakter penganut Salafi yang kelihatannya tidak melibatkan diri dalam tindakan-tindakan yang provokatif yang dapat menimbulkan masalah dalam masyarakat. Ini artinya bahwa lepas dari radikalisme pemikiran yang dianut mereka, kalangan Salafi dalam banyak hal hanya membatasi diri pada lapangan dakwah saja. Radikalisme yang mereka anut terbatas pada radikalisme dalam pemikiran, dan itupun juga lebih difokuskan pada mengubah praktek keislaman yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia. Karena itulah, mereka agak mengecam apa yang dilakukan oleh kelompok Islam lain yang melakukan perusakan terhadap tempat maksiat. Menurut mereka, kekerasan sendiri bukan saja tidak sesuai dengan Islam tetapi juga tidak akan menyelesaikan masalah yang ada, untuk tidak mengatakan memperkeruhnya.

b. Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS)
Di Surakarta, gerakan radikal Islam pernah muncul di zaman Orde Baru. Seperti gerakan radikal lainya, gerakan tersebut telah mendapatkan tekanan dari pemerintah yang ada. Aspirasi para tokohnya terbungkan dan mereka terpaksa harus meninggalkan tanah air dan menghindar dari kerajaan Orde Baru. Diantara tokoh utama gerakan tersebut adalah Abu Bakar Basyir yang harus menyingkir ke negara tetangga.
Selain pengaruh dari para tokoh dalam memberikan inspirasi, apa yang nampaknya paling mendorong hadirnya gerakan radikal di Surakarta adalah munculnya beberapa kejadian yang dianggap merugikan posisi Islam. Dengan kata lain ada "triggering factor" yang membuat gerakan radikal di Surakarta muncul. Konflik Ambon tahun 1999 merupakan faktor pendorong munculnya gerakan ini karena dalam konflik tersebut pemerintah dianggap memberikan terjadinya pembantaian umat Islam oleh kalangan Kristiani di Ambon.
Munculnya gerakan radikal Islam ini juga dipicu oleh apatisnya aparat pemerintah dalam menegakkan aturan yang berlaku. Termasuk dalam hal ini adalah tidak berfungsinya partai politik dalam membawa aspirasi mereka. Kondisi sosial masyarakat Surakarta yang penuh dengan kemaksiatan seperti hadirnya tempat-tempat prostitusi dan beredarnya minuman keras secara bebas, tidak mendapat perhatian dari politisi sehingga umat Islam disini merasa tersinggung.
Kejadian internasional juga telah meningkatkan intensitas gerakan-gerakan radikal dalam melakukan aksinya. Kejadian World Trade Centre pada 11 September 2001 yang menguatkan dugaan buruk Amerika mengenai adanya gerakan Islam radikal di Asia Tenggara dan di duga memiliki hubungan dengan Osama Bin Laden, telah memunculkan reaksi keras di kalangan tokoh Islam Surakarta karena mereka sama sekali tidak terlibat dalam tragedi tersebut dan tidak melakukan kontak dengan gerakan radikal Osama.
Dengan prinsipnya untuk amar ma'ruf nahi munkar, FPIS telah tampil sebagai kelompk yang lebih "berani" dibandingkan dengan organisasi lain yang ada di Surakarta, tampilan FPIS dengan kegiatannya untuk melawan kemaksiatan telah memberi kesan bahwa organisasi ini radikal. Pandangan awam seperti ini terdukung oleh penampilan keseharian FPIS yang biasa menggunakan baju putih dengan sorban dan jidat berwarna hitam serta jenggot bergelajut di wajah mereka, suatu stereotip yang biasanya melekat pada kaum fundamentalis garis keras..
Meskipun soal nahi munkar mendapat perhatian yang besar, apa yang ingin di capai FPIS sebenarnya pelaksanaan syariat Islam. Kalangan pemimpin maupun pendukung FPIS, misalnya, merespon dan bahkan mengecam Abdurahman Wahid, sebagai presiden RI yang dinilai "anti" formalisasi syariat Islam seperti dia perlihatkan melalui ketidaksetujannya terhadap Piagam Jakarta. Dukungan FPIS terhadap Piagam Jakarta karena dalam piagam tersebut tercantum kata-kata yang mengakui penerapan syariat Islam bagi pemeluk agama Islam.
FPIS berpendapat bahwa agama Islam adalah agama yang sempurna. Agama yang diturunkan Allah tidak hanya untuk mengatur masalah akhirat tetapi juga dunia. Islam merupakan agama universal yang menembus batas-batas negara. Ia tidak hanya mengatur persoalan ibadat semata, tetapi juga mengatur permasalahan negara. Itulah sebabnya FPIS mempunyai obsesi untuk melakukan perubahan yang radikal terhadap sistem kenegaraan. Dalam pandangan mereka, dengan perubahan ini akan terjadi perubahan ini akan terjadi dalam hal hukum dan sistem yang berlaku, temasuk didalamnya perubahan moralitas masyarakat, dan moralitas penyelenggara negara. Perubahan moralitas ini menjadi keharusan karena tanpa itu krisis bangsa akan terus berlangsung.

Upaya Mendirikan Negara dan Khalifahan Islam
Organisasi-organisasai yang mengusung Khalifahan antara lain sebagai berikut:
a. Majelis Mujahidin Indonesia
Lahir pada masa transisi politik, dan kemudian banyak menyita perhatian. MMI ini di deklarasikan melalui sebuah kongres yang cukup meriah pada tanggal 5-6 agustus 2002 di Yogyakarta. Yang melatar belakangi diadakanya kongres ini adalah diilhami sebuah semangat untuk mendzahirkan syariah ilahi dan dilatari oleh kesadaran akan pentingnya menyelaraskan langkah perjuangan utnuk menuntaskan persoalan krisis dan krusial keumatan maupun kemanusiaan, yaitu tegaknya syariah Islam.
Konsolidasi yang dilakukan para aktivis kelompok radikal yang mempelopori terselenggaranya Kongres Mujahidin itu sendiri sebenarnya dalam prosesnya telah berlangsung cukup lama. Para aktivis MMI, terutama beberapa kelompok mudanya, telah merintis beberapa langkah konsolidasi untuk menyatukan beberapa elemen Islam, terutama mereka yang berasal dari kubu Darul Islam semenjak tahun 1993. Seiring saat keluarnya beberapa tahanan politik Darul Islam. Kelompok pemuda bekas tahanan inilah yang menggagas betemunya para tokoh Islam radikal di Jogjakarta tersebut.

b. Hizbut Tahrir Indonesia
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik Islam yang didirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhany di Al-Quds, Palestina pada tahun 1952. Kegiatan utama partai ini adalah politik dan berideologi Islam. Hizbut Tahrir bercita-cita membangun tatanan masyarakat dan sistem politik berdasarkan akidah Islam. Islam harus menjadi tata aturan kemasyarakatan dan menjadi dasar konstitusi dan undang-undang. Hizbut Tahrir juga berniat membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di seluruh dunia melalui ini Hizbut Tahrir berkeyakinan bahwa hukum Islam dapat di berlakukan.
Gerakan yang dilakukan partai ini meliputi pendidikan dan pembinaan umat dengan wawasan Islam, melancarkan pertarungan pemikiran, dan aktivitas politik. Dalam rangka menjalankan agenda politiknya Hizbut Tahrir menempatkan diri sebagai kekuatan oposisi yang menentang para penguasa yang tidak menerapkan sistem politik Islam, syariah dan hukum-hukum Islam menurut konsepsi mereka, menghianati amanat rakyat dan melakukan penindasan. Pemikiran inilah yang mendasari pilihan strategi perjuangan mereka dengan tidak melibatkan diri dalam proses-proses politik resmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar