Makalah Bilingualismedan Alih Kode Dalam Menunjang Efektifitas Pembelajaran. Berikut ini
adalah makalah yang berjudul lengkap ‘Bilingualisme dan Alih Kode Dalam Menunjang Efektifitas Pembelajaran’ semoga makalah
berikut ini dapat bermanfaat untuk kalian semua.
Pendahuluan
Dengan bahasa, seseorang bisa mendapatkan
berbagai informasi dan ilmu pengetahuan. Wittgenstein menyatakan: batas
bahasaku adalah batas duniaku. Bahasa merupakan satu-satunya milik manusia
yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang
keberadaan manusia sebagai makhluk berbudaya dan bermasyarakat. Tidak diragukan
bahwa bahasa mampu menggambarkan masyarakat yang berbeda-beda, karena bahasa
merupakan alat untuk mengungkapkan segala hal yang terjadi dalam masyarakat,
mulai dari peradabannya, aturan, keyakinan, dan arus sosial, budaya, seni,
maupun ekonomi. Bahasa dan masyarakat adalah dua hal yang saling terkait dan
saling mempengaruhi. Keberadaan masyarakat tidak dapat terbaca tanpa adanya
bahasa, sebaliknya keberadaan bahasa tidak mungkin ada tanpa adanya masyarakat.
Pada era globalisasi dewasa ini, pendidikan
menjadi sangat penting karena bila pendidikan suatu masyarakat berkembang
dengan baik, maka tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat tersebut akan semakin
berkualitas. Untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, maka
sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal merupakan lembaga
kepercayaan masyarakat sebagai komponen penting dalam mempersiapkan dan
mengantarkan anak bangsa agar mampu menghadapi kompetisi secara global.
Kenyataan lain menunjukkan bahwa saat ini masyarakat juga sangat haus akan
pembangunan dan pendidikan moral bagi anak-anaknya. Kecenderungan mereka untuk
memasukkan anak-anaknya ke sebuah lembaga bernama pondok pesantren pun kian
marak. Namun demikian mereka tentu tidak ingin tertinggal dari kemajuan
teknologi modern demi memenuhi berbagai kebutuhan hidup di masa mendatang.
Dengan melihat fenomena di atas, kita juga
bisa menjumpai bahwa di Indonesia banyak bermunculan pondok pesantren yang
menerapkan sistem pendidikan formal berkurikulum nasional, bahkan bertaraf
internasional, meski masih baru berada dalam tahap awal yaitu tahap
pengembangan. Pesantren sebagai subkultur masyarakat cenderung memiliki
budaya dan norma tertentu yang dijadikan pola dan kesepakatan aturan dalam
interaksi sosialnya. Dalam hal kontak bahasa anggota komunitas pesantren
(santri dan ustadz) banyak yang memiliki kemampuan/ penguasaan lebih dari satu
bahasa (bahasa Indonesia, Inggris, Arab, dan daerah) yang memungkinkan
terjadinya apa yang disebut bilingualisme dan multilingualisme
dengan berbagai macam gejalanya, termasuk di dalamnya alih kode dan campur
kode. Sebagai salah satu tantangan yang dihadapi oleh pesantren model ini
adalah penggunaan dual lingual dalam proses belajar mengajarnya. Maka,
dalam makalah ini penulis akan mencoba mengkorelasikan bilingualisme dan alih
kode yang menunjang efektifitas proses pembelajaran di pondok pesantren modern
yang tidak lepas dari adanya gejala bahasa ini, dan kaitannya dengan panduan
atau asas dalam pembelajaran yang dibuat acuan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI).
Bilingualisme
Muhammad Ali
al-Khauli menyebutkan bahwa bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa oleh
individu atau masyarakat dengan tingkatan pengetahuan seberapapun, dan dengan
kemampuan apa saja atas dua bahasa tersebut, yang digunakan untuk tujuan
tertentu. Bloomfield mengartikan bilingualisme sebagai penguasaan yang sama
baiknya oleh seseorang terhadap dua bahasa.
Sedang Einar Haugen mengartikan, ialah kemampuan
seseorang untuk menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa
lain, yang bukan bahasa ibunya.
Mackey, seperti yang dikutip oleh Fishman
(1968) memberikan gambaran tentang bilingualisme sebagai gejala penuturan.
Bilingualisme tidak dianggap sebagai sistem. Macnamara (1967) mengusulkan
batasan bilingualisme sebagai pemilikan penguasaan atas paling sedikit bahasa
pertama dan bahasa kedua, kendatipun tingkat pengusaan bahasa yang kedua itu
hanyalah pada batas yang paling rendah. Batasan ini tampaknya cukup realistis
karena dalam kenyataannya tingkat penguasaan bahasa pertama dengan bahasa kedua
tidak pernah akan sama, pada kondisi tingkat penguasaan bahasa kedua yang
paling rendah pun, dalam kacamata Macnamara dapat dikatakan sebagai bilingual.
Hal ini agakanya sejalan dengan batasan yang dikemukakan Haugen yang menyatakan
bahwa bilingualisme dapat diartikan sebagai sekadar mengenal bahasa kedua.
Ketika berbicara mengenai bahasa, kita
harus memasukkan tingkat penguasaan atau kemampuan dalam cara mengungkapkan
bahasa tersebut sebagai faktor yang sangat berpengaruh. Pengetahuan seseorang
akan suatu bahasa bermula dari mengetahui sekelompok kata tertentu dari bahasa
tersebut hingga sampai kepada tingkat penguasaan atau kemampuan yang baik.
Adapun tingkatan penguasaan dalam Bilingualisme (atau yang disebut dengan
bilingualitas) seperti yang dituturkan oleh Muhammad Ali al-Khuli adalah:
Tingkat S}ifr (nol), yakni tingkatan bagi balita yang
sama sekali belum mengetahui bahasa apapun.
Tingkat ibtida>’iyyah (permulaan), yakni ketika seseorang sudah
mulai belajar beberapa kata atau kalimat.
Tingkat Nis}fu lughawiyyah (Semilingualisme), apabila
seseorang mampu berbahasa dengan dua bahasa, namun keduanya sama-sama lemah,
dia tidak menguasai bahasa ibu dengan baik, begitu juga dengan bahasa keduanya.
Sebagai contoh, orang yang bermigrasi ke negara lain untuk belajar. Beberapa
tahun setelah menetap di negara tempat belajar, lalu bahasa ibunya terlupakan
sedikit demi sedikit.
Tingkat Mutawa>zinah (seimbang), ketika seseorang telah
menguasai dengan baik dua bahasa, tetapi belum sampai pada tingkat sempurna.
Tingkat Mitha>liyyah (ideal dan sempurna), apabila dua bahasa telah dikuasai dengan baik
dan sempurna, dalam empat kemampuan, yaitu dalam mendengarkan, berbicara,
menulis, maupun membaca, sehingga kita tidak bisa membedakan mana bahasa ibu
dan mana bahasa kedua tatkala orang tersebut menggunakannnya, karena kedua
bahasa dikuasai dalam tingkatan yang sama baik dan sama fasih. Perhatikan tabel berikut.
Tabel
Tingkatan Penguasaan
Bilingualisme
Tingkat Bilingualisme
|
Simbol Deskripsi
|
Zero Bilingualism
|
-B1 -B2
|
Incipient Bilingualism
|
+B1
àB2
|
àB1 àB2
|
|
Semilingualism
|
ßB1 àB2
|
Balanced Bilingualism
|
+B1
+B2
|
Perfect Bilingualism
|
++B1
++B2
|
Keterangan :
( -
) = Belum mengetahui
( + ) = Sudah mengetahui
(à) = Dalam tahap mempelajari
(++) = Sudah mengetahui dengan baik
Di antara bentuk bilingualisme dalam
ranah pendidikan yang dikemukakan oleh al-Khu>li> bila dilihat dari segi
pembagian waktunya adalah:
Pembelajaran semua mata pelajaran dengan
B1, kecuali mata pelajaran bahasa asing dengan menggunakan B2
Pembelajaran sebagian mata pelajaran
dengan B1, sedang sebagian yang lain dengan B2.
B1 digunakan khusus pada hari-hari
tertentu dalam satu minggu, dan sisanya dengan menggunakan B2.
B1 digunakan untuk proses belajar
mengajar sejak dimulainya mata pelajaran hingga pertengahan hari, sedang B2
digunakan untuk tengah hari hingga akhir jam mata pelajaran.
Selain itu, terdapat juga pembagian
berdasarkan pengelompokan kemampuan bahasa dari siswa/pelajar yang ditawarkan
oleh al-Khu>li>, di antaranya:
Pelajar dengan bahasa pertama sebagai
bahasa ibu dikumpulkan dalam satu kelas.
Pelajar dengan bahasa kedua sebagai
bahasa ibu dikumpulkan dalam satu kelas.
Pelajar dengan bahasa pertama dan pelajar
dengan bahasa kedua sebagai bahasa ibu dicampur menjadi satu kelas.
Pelajar yang memiliki kemampuan dua
bahasa dikumpulkan dalam satu kelas.
Semua pelajar disatukan dalam satu kelas,
baik yang hanya memiliki kemampuan satu bahasa atau dua bahasa.
Dalam ranah pendidikan atau tepatnya
dalam proses kegiatan belajar mengajar (proses pembelajaran), sebenarnya
penggunaan dua bahasa itu sendiri bisa dikatakan masih menjadi permasalahan,
terkait dengan efektifitas dan dampak yang ditimbulkannya. Hal ini tampak dari
berbagai pro dan kontra antara para pengamat bahasa.
Alih kode
Kontak
yang terjadi terus-menerus antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi
masyarakat yang bilingual cenderung mengakibatkan gejala kebahasaan yang
disebut alih kode. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa
di dalam masyarakat dwibahaswan. Artinya di dalam masyarakat dwibahasawan
hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak
tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa lain. Demikian pula dalam kaitannya
dengan sosialisasi bahasa, kajian sosialisasi bahasa dalam masyarakat di
Indonesia berkaitan dengan alih kode dan campur kode dalam masyarakat dwibahasa
atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia
sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah
sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing.
Seseorang yang merupakan dwibahasawan
tentu saja akan berpikir untuk memilih bahasa apa yang akan dia gunakan ketika
berbicara dengan orang lain dalam peristiwa komunikasi. Menurut sudut pandang
sosiolinguistik, penggunaan variasi kode bahasa dalam masyarakat multibahasa
merupakan gejala yang sangat menarik untuk dikaji. Kode mengacu pada suatu
sistem tutur dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar
belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada.
Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk
berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa. Menurut Wardhaugh,
masyarakat bilingual atau multilingual dihadapkan pada masalah untuk memilih
sebuah kode (bisa berupa dialek atau bahasa) tertentu pada saat mereka
bertutur, dan mereka mungkin juga memutuskan untuk berganti dari satu kode ke
kode lain atau mencampur kode-kode tersebut.
Alih kode (code switching)
merupakan istilah umum untuk menyebut pergantian pemakaian bahasa atau beberapa
gaya dari satu ragam. Pernyataan ini didasarkan pada pengertian bahwa kode
mungkin terjadi pada antarbahasa, antarvarian, antarregister, antarragam, atau
antargaya. Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup
juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu,
misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil (bahasa
jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya.
Kridalaksana (1982: 7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk
menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya
partisipasi lain disebut alih kode. Holmes (2001:35) menegaskan bahwa suatu
alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat
formalitas interaksi para penutur.
Peristiwa peralihan bahasa atau alih kode
bisa terjadi karena beberapa faktor. Reyfield, berdasarkan studinya terhadap masyarakat
dwibahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon
penutur terhadap situasi tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut
situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang
berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan
kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata tabu. Ketika kita
menelusuri penyebab terjadinya alih kode, kita kembali mengingat pokok
persoalan sosio-linguistik yang dikemukakan Fishman, yaitu "dengan siapa
ber-bicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan
apa". Dalam berbagai kepustakaan linguistik, secara umum penyebab alih
kode adalah berikut ini. Pertama, pembicara atau penutur. Seorang penutur
sering melakukan alih kode untuk mengejar suatu kepentingan. Kedua, pendengar
atau lawan tutur. Biasanya, seorang penutur berusaha mengimbangi kemampuan
berbahasa si lawan tuturnya. Ketiga, perubahan situasi karena kehadiran orang
ketiga. Keempat, perubahan formal ke informal atau sebaliknya. Kelima,
perubahan topic pembicaraan.
Menurut Gumperz, terdapat dua macam alih
kode, yaitu (10) alih kode situasional dan (2) alih kode metaforsis. Alih kode
pertama terjadi karena perubahan situasi, sedang alih kode kedua terjadi karena
bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metaphor yang melambangkan
identitas penutur.
Pembelajaran dengan Menggunakan bilingual
di Sekolah Bertaraf Internasional
Bila mengikuti standar Sekolah Bertaraf
Internasional, maka pembelajaran dengan menggunakan bilingual berawal
dari banyaknya ekspatriat (orang yang meninggalkan negeri asalnya) di Indonesia. Program ini diadopsi oleh
sekolah-sekolah lokal untuk mencetak siswa siswi yang mampu berkompetisi secara
global. Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 50 Ayat 3 tentang
sistem Pendidikan nasional, beberapa sekolah dan juga pesantren berkurikulum
nasional menerapkan pembelajaran dengan menggunakan bilingual sesuai
dengan peraturan dan syarat-syarat pada RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional) atau SBI (Sekolah Bertaraf Internasional).
Pembelajaran dengan menggunakan bilingual
setidaknya memiliki dua tujuan yang
berbeda, yaitu pengembangan Bahasa Inggris secara akademik untuk keberhasilan
proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dan untuk melestarikan warisan bahasa.
Program pendidikan yang baik akan mencapai kedua tujuan tersebut. Namun fokus
utamanya tentu untuk mencapai tujuan pertama. Dengan demikian, pembelajaran
dengan menggunakan bilingual merupakan model penggunaan bahasa untuk
menyampaikan materi kurikulum dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi siswa
dalam berbahasa asing.
Secara garis besar Pelaksanaan Kurikulum
dan Proses Pembelajaran RSBI menggunakan asas-asas sebagai berikut:
Menggunakan kurikulum yang berlaku secara nasional dengan
mengadaptasi kurikulum sekolah di negara lain.
Mengajarkan bahasa asing, terutama penggunaan bahasa Inggris,
secara terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya. Metode pengajaran dwi bahasa
ini dapat dilaksanakan dengan dua kategori, yakni Subtractive Bilingualism dan
Additive Bilingualism yang menekankan pendekatan Dual Language.
Pengajaran dengan pendekatan Dual
Language menekankan perbedaan adanya bahasa akademis dan bahasa sosial yang
pengaturan bahasa pengantarnya dapat dialokasikan berdasarkan subjek maupun
waktu.
Menekankan keseimbangan aspek
perkembangan anak meliputi aspek kognitif (intelektual), aspe sosial dan
emosional, dan aspek fisik.
Mengintegrasikan kecerdasan majemuk (Multiple
Intellegence) termasuk Emotional Intellegence dan Spiritual
Intellegence ke dalam kurikulum.
Mengembangkan kurikulum terpadu yang
berorientasi pada materi, kompetensi, nilai dan sikap serta perilaku
(kepribadian).
Mengarahkan siswa untuk mampu berpikir
kritis, kreatif dan analitis, memiliki kemampuan belajar (learning how to
learn) serta mampu mengambil keputusan dalam belajar. Penyusunan kurikulum
ini berdasarkan prinsip “Understanding by Design” yang menekankan
pemahaman jangka panjang (Enduring Understanding).
Dalam
konsep pembelajaran di RSBI, pembelajaran dengan dua bahasa diperlukan agar
siswa mampu menguasai bahasa Internasional. Di sekolah atau pesantren modern,
pembelajaran dengan dua bahasa ini merupakan kebijakan dari pihak pengelola
atau pengurus. Dengan manfaat agar siswa terbiasa menggunakan bahasa Arab atau
pun bahasa Inggris. Sumber ini tentu tidak diberikan secara langsung melainkan
dengan memberikan potongan mufrodat atau vocabulary. Sehingga jika siswa kurang
faham terhadap bahasa Arab, dia akan mencoba untuk memahaminya dengan
menggunakan bahasa Inggris, begitupun sebaliknya.
Terlepas dari standar lain seperti
fasilitas fisik, dengan standar di atas, tampaknya sebuah pesantren modern yang
dalam keseharian menggunakan dua bahasa asing atau lebih dalam berkomunikasi,
terutama dalam proses pembelajarannya, bisa masuk dalam tataran pendidikan
bertaraf internasional dengan lebih mudah, dibanding dengan sekolah-sekolah
umum, karena intensitas penggunaan dua bahasa asing di dalam pesantren adalah
lebih tinggi atau lebih sering.
Alih Kode dalam Menunjang Efektifitas
Pembelajaran
Efektifitas dalam bahasa Inggris
didefinisikan, “Producing a desired or intended result” atau “producing
the result that is wanted or intended” dan definisi sederhananya “coming
into use”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan efektif dengan “ada
efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya)” atau “dapat membawa hasil, berhasil
guna (usaha, tindakan)” dan efektivitas diartikan “keadaan berpengaruh; hal
berkesan” atau ” keberhasilan (usaha, tindakan)”. Efektivitas merujuk pada
kemampuan untuk memiliki tujuan yang tepat atau mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Efektivitas juga berhubungan dengan masalah bagaimana pencapaian
tujuan atau hasil yang diperoleh, kegunaan atau manfaat dari hasil yang
diperoleh, tingkat daya fungsi unsur atau komponen, serta masalah tingkat
kepuasaan pengguna/client. Jadi, pengertian efektifitas secara umum
menunjukkan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu
ditentukan.
Adapun dalam pembelajaran, bisa dikatakan efektif
apabila dalam proses pembelajaran setiap elemen berfungsi secara keseluruhan,
peserta merasa senang, puas dengan hasil pembelajaran, membawa kesan,
sarana/fasilitas memadai, materi dan metode affordable, guru
profesional. Tinjauan utama efektivitas pembelajaran adalah outputnya,
yaitu kompetensi siswa.
Efektivitas dapat dicapai apabila semua
unsur dan komponen yang terdapat pada sistem pembelajaran berfungsi sesuai
dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Efektivitas pembelajaran dapat
dicapai apabila rancangan pada persiapan, implementasi, dan evaluasi dapat
dijalankan sesuai prosedur serta sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Pembelajaran juga merupakan suatu
proses komunikasi, sedang
komunikasi adalah proses pengiriman informasi dari satu pihak kepada pihak
lain untuk tujuan tertentu. Komunikasi dikatakan efektif apabila komunikasi yang
terjadi menimbulkan arus informasi dua arah, yaitu dengan munculnya feedback
dari pihak penerima pesan. Komunikasi efektif dalam pembelajaran merupakan proses
transformasi pesan berupa ilmu pengetahuan dan teknologi dari pendidik kepada
peserta didik, dimana peserta didik mampu memahami maksud pesan sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan, sehingga menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta menimbulkan perubahan tingkah laku menjadi lebih baik.
Little John mengemukakan bahwa “dalam
konsep efektivitas komunikasi, yang menjadi tujuan utama dan pertama komunikasi
manusia adalah untuk dimengerti”. Jadi komunikasi efisien bila Source dan
Receiver terhadap message ada kesamaan. Dalam kaitannya dengan pembelajaran,
efektivitas komunikasi yang ditekankan adalah efektivitas penerimaan pesan,
yaitu “komunikasi yang dilancarkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan efek
kognitif, afektif, dan konatif pada komunikan sesuai dengan tujuan komunikasi”.
Pondok pesantren yang merupakan
masyarakat yang multilingualis, juga dianggap sebagai lembaga pendidikan yang
banyak dikunjungi oleh santri dari berbagai etnis dengan membawa bahasa
masing-masing, sehingga bahasa di pesantren menjadi lebih banyak dan memiliki
fungsi tertentu. Keanekaragaman penggunaan bahasa jelas tampak saat santri
berkomunikasi baik lisan maupun tulisan di lingkungan pesantren, di luar pesantren,
dan di lingkungan rumah atau di kampung mereka sendiri, dalam suasana formal
(seperti dalam proses pembelajaran) maupun non-formal. Bahasa-bahasa tersebut
mereka gunakan saat berinteraksi dengan lawan bicara dengan memperhatikan
situasi dan kondisi tertentu.
Aktivitas komunikasi dalam proses kegiatan
belajar-mengajar di pesantren modern senantiasa melibatkan dua atau tiga
bahasa. Konsekuensinya, seorang penutur (santri dan ustadz) secara sosiologis
tidak dapat melepaskan diri dari strategi komunikasi, baik karena keberterimaan
dilihat dari sudut pandang antropologi relegius maupun sosiologi pendidikan.
Strategi yang dilakukan oleh penutur di pesantren modern biasanya memanfaatkan
potensi variasi bahasa sebagai media memindahkan ilmu (transfer of knowlegde)
yang meliputi ilmu keagaamaan maupun ilmu pengetahuan umum. Ilmu keagamaan
melibatkan kesadaran transenden, sedangkan ilmu pengetahuan umum melibatkan
kesadaran rasional dalam komunikasi. Artinya, bahasa Arab di satu sisi terasa
lebih berterima dalam konteks keagamaan karena santri atau pun ustadz di
pesantren dalam menggeluti bidang ilmu agama Islam lebih didominasi oleh
pemakaian bahasa Arab. Sedangkan di sisi lain, apresiasi terhadap bahasa
Inggris yang berelasi dengan sains dan teknologi modern sangat ditekankan.
Akibat selanjutnya terjadi kontak bahasa antara bahasa-bahasa yang telah
dikuasai dengan bahasa yang dikuasai sesudahnya, baik karena dorongan
lingkungan akademik maupun non-akademik yang berpeluang memunculkan variasi
bahasa, diantaranya alih kode dan campur kode (code switching dan code
mixing).
Terkait dengan bilingualitas dan gejala
alih kode di pesantren modern, dua bahasa asing yaitu bahasa Inggris dan bahasa
Arab dipelajari dan digunakan secara bersama-sama, baik dalam asrama maupun di
luar asrama, baik dalam situasi formal (kegiatan belajar- mengajar) maupun
non-formal (sistem pengasuhan), selain bahasa Indonesia. Bahkan kecenderungan
pemakaian bahasa asing tersebut semakin nampak konsistensi penggunaannya
setelah pesantren ini dicanangkan sebagai pesantren modern bertaraf
internasional. Dalam peristiwa komunikasi lisan, komunitas pesantren melakukan
berbagai komunikasi dalam peristiwa yang berbeda dan untuk tujuan serta
kepentingan yang berbeda pula. Pelajaran pokok dan bahasa pengantar, yakni
bahasa Arab dan Inggris diterapkan secara aktif sebagai bahasa pengantar
pelajaran (dalam proses kegiatan belajar-mengajar), percakapan sehari-hari,
diskusi, menulis, dan lain sebagainya.
Mayoritas wujud alih kode yang muncul dalam
kegiatan belajar-mengajar di kelas adalah wujud alih bahasa dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris, dan Arab, atau sebaliknya. Dalam beberapa
penelitian di beberapa pesantren modern seperti di Pondok Pesantren ar-Risalah
Ponorogo atau di sekolah RSBI SMAN 1 SOOKO MOJOKERTO peristiwa yang menonjol
terjadinya alih kode adalah pada kegiatan awal (meliputi: salam, tegur sapa,
dan memberikan motivasi), kegiatan inti (meliputi: memberikan penjelasan,
merespon pemahaman santri, dan menarik kesimpulan tentang topik pelajaran
tertentu), dan kegiatan akhir (meliputi: menutup pelajaran, salam, dan
motivasi). Faktor penentu yang menonjol yang mempengaruhi peristiwa alih kode
adalah adanya kebiasaan penutur untuk menyesuaikan dengan topik dan situasi
pembicaraan tertentu serta peraturan yang ada di lingkungan pesantren dalam
pemakaian bahasa.
Keefektifan komunikasi dalam pembelajaran di
kelas akan memengaruhi pemahaman siswa terhadap apa yang sudah disampaikan
guru. Pembelajaran dengan metode ini diharapkan akan memberikan pengalaman dan
pengetahuan baru bagi siswa baik dari segi kebahasaan maupun segi lainnya.
Pada akhirnya, sebuah evaluasi dalam hal
apapun mutlak diperlukan, termasuk dalam pembelajaran dengan gejala bahasa yang
berupa alih kode, terlebih untuk mengetahui seberapa efektif pembelajaran
dengan metode penggunaan dua bahasa. Evaluasi ini mencakup unsur atau aspek
dari dalam maupun dari luar sekolah atau pesantren. Di antara beberapa
pertanyaan yang perlu dijawab terkait dengan permasalahan di dalamnya adalah: Apa
pengaruh dari bilingual terhadap bahasa pertama dan bahasa kedua, apa
pengaruhnya dalam perkembangan motorik, perkembangan budaya, perkembangan
emosional, ataupun pengaruhnya dalam keberhasilan belajar? Apa tujuan dari
program tersebut, identitas siswa atau peserta didik, siapa masyarakat yang
menjadi latar belakang mereka, dan fasilitas fisik apa saja yang menunjangnya?
Kesimpulan
Pembelajaran sebagai subset dari proses
pendidikan harus mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas
pendidikan, yang pada ujungnya akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Agar pembelajaran dapat mendukung peningkatan mutu
pendidikan, maka dalam proses pembelajaran harus terjadi komunikasi yang
efektif, yang mampu memberikan kefahaman mendalam kepada peserta didik atas
pesan atau materi belajar. Demikian halnya dengan pondok pesantren modern yang
mempergunakan dua bahasa dalam proses pembelajaran di kelas. Alih kode yang
merupakan salah satu gejala dari kedwibahasaan adalah bentuk komunikasi di
dalam kelas yang harus mempertimbangkan tingkat efektifitasnya dalam menunjang
tujuan dari pembelajaran itu sendiri.
Apabila beberapa kendala muncul dalam
pembelajaran dengan menggunakan bilingual, maka harus menjadi
perhatian serius dan perlu segera dibenahi, terutama di pesantren
modern, terlebih pesantren yang
masih relatif baru berdiri. Belum terbiasanya siswa maupun guru dengan bilingual,
terutama bahasa Arab dan bahasa Inggris biasanya menjadi kendala utama dalam
proses pembelajaran. Karenanya, sebuah sekolah atau pesantren modern yang
menerapkan metode seperti ini, harus memiliki rancangan yang matang dan
melakukan evaluasi sebaik mungkin, sehingga efektifitas pembelajaran
benar-benar tercapai.
Daftar
Pustaka
Al-Khauli, Dr. Muhammad Ali. al-Haya>t
ma’a Lughataini . KSA: Universitas al-Malik Sa’u>d, 1988.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat
Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Atas, Panduan Penyelenggaraan Rintisan SMA Bertaraf Internasional,
edisi 2, 2008.
Dimyathi, Dr. Muhammad Afifuddin. Muh}a>d}arah
fi> ‘Ilm al-Lughah al-Ijtima>’i>. Surabaya: Darul Ulum al-
Lughawiyyah, 2010.
Fishman, J.A.(Ed.). Reading in the
Sociology of Language. Den Haag –
Paris: Mouton, 1968.
Gumperz, JJ. Direction in
Sosiolinguistics: The Etnography of Communication. New York: Holt,
Rinehart, and Winston, Inc, 1972.
Hasanah, Ma’rufatul. Penggunaan Bilingual
dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Kelas X RSBI SMAN 1 SOOKO
MOJOKERTO. Universitas Negeri
Malang: Fakultas Tarbiyah, 2010. Skripsi.
Holmes,
Janet. An Introduction to
Sociolinguistics. 2nd ed. Edinburgh: Person Education Limited, 2001.
Hymes, Dell, Foundations in
Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of PensylvaniaPress, 1974.
Kridalaksana, Harimurti. Pengantar
Soisiolinguistik. Bandung: Angkasa, 1982.
Macnamara, John Theodore. Problems of Bilingualism. Society
for the Psychological Study of Social Issues, 1967.
Mulyani, Alih Kode dan Campur Kode
dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Pesantren Modern ar-Risalah Kabupaten
Ponorogo (Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2006).
Nababan, P.W.J. Sosiolinguistik: Suatu
Pengantar . Jakarta: Gramedia, 1984.
Oxford. Oxford Learner’s Pocket Dictionary.
Oxford University Press, 2003.
Poedjosoedarmo, Soepomo. “Interferensi
dan Integrasi dalam Situasi Keanekabahasaan”, Pengajaran Bahasa dan Sastra,
1978. No.2th.IV.
------------------------. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, 1986.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Sumarsono,
dan Paina Partana. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Sabda, 2002.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu.
Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
S.W., Little John. Theories of Human
Communication. Washington: Hun Bolt State University, 1995.
Syah, Darwyn, dkk. Perencanaan Sistem
Pengajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
Wardhaugh, R. An Introduction to Sosiolinguistics. Oxford:
Basil Blackwell, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar