Makalah Filsafat Hukum

Berikut ini adalah Makalah Filsafat Hukum, semoga makalah berikut ini dapat bermanfaat untuk anda yang membutuhkannya.

BAB I

PENDAHULUAN

Sebaiknya kami mengawali studi ini dengan menerangkan secara singkat apa arti Filsafat adalah suatu kebijaksanaan hidup (Filosofia). Filsafat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakekat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya filsafat dapat juga berarti ilmu yang berintikan logika, estitika, metafisika dan etistemologi. Dalam bahasa lain filsafat di kenal dengan sebutan Philosophy (Inggris) philosophie (Prancis dan Belanda) filosofie wysbegeerte (Belanda) Philosophia (Latin).

Secara etimologis filsafat berasal dari kata Yunani (Filosofia) merupakan bentuk dari kata Philos atau Filo dan Sofilala atau Sofia dan berarti cinta (Inggris) dan sofia yang berarti (Kebijaksanaan).

Filsafat hukum adalah cabang filsafat yakni filsafat laku atau etika yang mempelajari hakekat hukum dengan perkataan lain filsafat hukum adalah. Ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi obyek filsafat hukum memkaji secara mendalam inti atau dasarnya yang di sebut Hakekat.

Filsafat hukum tidak mencari arti salah satu hukum yang konkrit melainkan arti hukum sebagai hukum, pertanyaan yang akan timbul ialah Apakah Hukum Itu? Apakah hukum itu sama dengan kata Hukum? Akankah terdapat kaidah-kaidah lain yang tidak di tentukan manusia. Yang berfungsi sebagai dasar tata hukum? Apakah terdapat hukum yang tidak adil? Apa arti keadilan itu? Selanjutnya setiap orang yakin hukum harus di taati asal hukum itu betul-betul merupakan hukum. Timbul pertanyaan dari manakah keharusan itu? Karena kewajiban etis terhadap orang lain? Dari Allah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas. Walaupun menjadi pertanyaan pula dalam ilmu hukum, sesunguhnya merupakan pokok pelajaran ilmu filsafat.

Pada abad VI dan V sebelum Masehi belum ada negara Yunani, akan tetapi terdapat kota-kota yang sudah mempunyai hidup menegara yang ter­atur, seperti Milete, Athena, Sparta dll. Kota-kota itu kadang-kadang ter­gabung satu sama lain dalam suatu perserikatan kota, tetapi kota masing-masing tetap berdaulat. Maka kota (polis) pada zaman itu bertepatan dengan negara. Dalam kota-kota semacam itu, terutama di Athena timbul­lah pikiran tentang negara dan hukum sebagaimana dialami orang-orang dalam kota itu sendiri. Tujuan pikiran itu ialah memeriksa situasi yang me­reka hadapi dan mencari garis-garis kebijaksanaan dalam membentuk suatu negara yang baik dan hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita warganegara.

Dalam abad VI dan V seb. Masehi sudah terdapat pemikir-pemikir yang menyusun suatu sistem filsafat yang lengkap. Pemikiran-pemikiran tentang hukum dan negara hanya merupakan sebagian dari suatu pandang­an hidup yang menyeluruh.

Filsafat Yunani mencapai puncaknya dalam abad IV seb. Masehi da­lam sistem-sistem Plato dan Aristoteles. Filsafat kedua tokoh ini akan mempengaruhi seluruh sejarah filsafat sampai zaman kini.

Pada akhir abad IV Aleksander Agung menyerbu polis-polis negeri Yunani, kemudian juga semua negara tetangga. Akhirnya kerajaannya me­liputi negeri Yunani, Mesir dan seluruh kawasan Timur Tengah sampai su­ngai Indus. Melalui tentaranya Aleksander menanamkan dan menyebarkan kebudayaan Yunani di negara-negara yang telah direbutnya. Sesudah ke-matiannya pada tahun 323 seb. Masehi pengaruh kebudayaan Yunani di­pertahankan oleh pemimpin-pemimpin kerajaan-kerajaan yang didirikan­nya. Dengan demikian selama abad IV dan III seb. Masehi kebudayaan Yu­nani disebarluaskan di mana-mana, sehingga menjadi kebudayaan dunia. Oleh karena itu zaman sesudah Aleksander disebut zaman Hellénisme (Hellas = Yunani).

Dalam abad-abad yang sama kota Roma muncul sebagai kuasa dunia baru dan lama-kelamaan mengambil alih kekuasaan di wilayah-wilayah yang dulu direbut Aleksander Agung. Dengan demikian orang-orang Ro­mawi dipengaruhi juga oleh kebudayaan Hellénisme.

Dalam kekaisaran Romawi studi hukum sangat diutamakan oleh ka­rena studi itu harus menyampaikan garis-garis kebijaksanaan yang perlu dalam mengatur hidup bersama warga dan bangsa. Antara lain berkat studi yang tekun dan mendalam tentang hukum itu kekaisaran Romawi dapat bertahan berabad-abad lamanya, yakni sampai abad V ses. Masehi.

Tanggapan tentang hukum selama zaman Yunani-Romawi akan kami bahas dalam empat pasal:

Alam Pikiran Kuno

Plato

Aristoteles

Hukum Romawi

1. ALAM PIKIRAN KUNO

(abad VI dan V sebelum Masehi)

Di Yunani alam pikiran kuno ditandai suatu semangat religius yang mendalam. Dapat dibedakan antara dua aliran religi yang saling berten­tangan.

Aliran yang pertama ialah aliran religi primitif. Dalam religi ini orang memandang semesta alam sebagai suatu kekuasaan yang mengancam manusia. Maka perlu orang menghadapi alam itu sebagai sesuatu yang penuh misteri, sesuatu yang sakral. Hidup manusia terkandung dalam alam ini, dan karena itu merupakan bagian dari misteri itu juga. Seperti alam sendiri kehidupan manusia berjalan terus tanpa diketahui jalannya, semata-mata di bawah kekuasaan nasib (anangke). Ternyata pandangan religius ini berkaitan dengan segi material hidup.

Terdapat suatu aliran religi yang lain dalam religi dewa-dewi Olimpus (dewa-dewi ini ialah a.l. Zeus, Apollo, Athena, Aphrodite). Aliran ini lebih muda daripada aliran yang disebut tadi. Dalam aliran ini tidak diutamakan yang gelap, tetapi justru ditampilkan yang terang, yang sesuai dengan akal budi (logos) manusia. Melalui mitos-mitos tentang dewa-dewi orang me­mahami jalan dunia dan hidup. Ternyata pandangan religius ini terjalin de­ngan segi kehidupan spiritual dan rasional.

Pandangan hidup yang terkandung dalam kedua aliran ini sangat mempengaruhi filsafat Yunani, terutama filsafat tentang manusia. Manusia terdiri atas dua bagian, bagian yang gelap, yakni materi atau badan, dan bagian yang terang, yakni roh atau jiwa. Badan berasal dari dunia, roh dari yang ilahi, dari surga.

Kehidupan warga-warga negeri Yunani berlangsung dalam polis. Bagi mereka polis merupakan perwujudan yang utama dari logos, oleh se­bab logos menciptakan bentuk, ukuran dan harmoni, yang menghasilkan aturan. Aturan ini terwujud dalam polis, di mana warga-warga polis mem­beri bentuk kepada hidupnya sesuai dengan logos itu. Inilah sebabnya orang berkeyakinan bahwa hanya hidup bersama dalam polis memungkin­kan manusia berkembang sebagai manusia yang utuh.

Hidup dalam polis pada dasarnya bersifat religius. Agama resmi dari polis itu adalah agama Olimpus. Tetapi pada kenyataannya orang banyak dipengaruhi oleh agama alam kuno. Menurut keyakinan banyak orang tak mungkin kehendak dewa-dewi mengalahkan nasib yang menguasai dunia dan hidup.

Filsuf – Filsuf Pertama

Sesuai dengan alam pikiran kuno filsuf-filsuf pertama memandang manusia sebagai bagian dari semesta alam. Dalam semesta alam ini hal-hal muncul dan lenyap menurut suatu keharusan alamiah. Demikianlah terjadi dengan hidup manusia juga. Keharusan alam dan hidup itu disebut hukum (nomos)

Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup ber­sama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Bila itu terjadi, timbul­lah keadilan (dike).

Herakleitos berpandangan juga, bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi padanya keharusan alamiah telah diga­bungkan juga dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.

Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu ke­teraturan yang terang dan tetap.

Dapat disimpulkan bahwa menurut filsuf-filsuf pertama hukum ti­dak terbatas pada masyarakat manusia. Hukum meliputi semesta alam. Maka belum dibedakan antara hukum alam dan hukum positif. Kedua-duanya dianggap sebagai bagian dari aturan ilahi. Orang yang membe­rontak, yakni melewati batas aturan, akan mendapat balas dendam karena kesombongan (hubris).

Kaum Sofis

Kaum Sofis memulai kegiatannya pada abad V seb. Mas. Mereka itu adalah orang terpelajar, yang berkeliling di polis-polis negeri Yunani untuk mengajar pemuda-pemuda yang ingin memainkan peranan dalam politik negaranya. Pada abad V ku kebanyakan polis Yunani sudah mendapat ben­tuknya yang demokratis. Artinya sejak abad itu polis bukan lagi kepenting­an para sesepuh (res patricia), melainkan telah menjadi kepentingan umum (res publica). Orang-orang yang mewakili rakyat memperhatikan kepen­tingan umum.

Dapat dikatakan bahwa di sini polis telah mempunyai aturan hukum yang terang. Keharusan alamiah yang tadinya gelap dan bersifat membalas dendam secara rahasia, sudah berubah artinya menjadi hukum yang terang melalui undang-undang polis dan praktek hukum yang sesuai. Hal ini dapat diungkapkan juga dengan lambang-lambang religius, yakni: Zeus (dewa re­ligi yang terang) berdamai dengan Moira (dewa religi yang gelap/ Moiror = nasib).

Dalam suatu negara demokratis peranan warga-warga negara dalam membentuk undang-undang memang besar. Hal ini membawa Pro-tagoras, salah seorang sofis, kepada pernyataan, bahwa warga-warga polis seluruhnya menentukan isi undang-undang, sehingga baik dan adil ti­dak tergantung lagi dari aturan alam, melainkan hanya dari keputusan ma­nusia. Dengan kata lain: tidak terdapat kebenaran obyektif; manusia ada­lah ukuran segala-galanya (pantoon khrematoon metron anthropos).

Sofis-sofis lain setuju dengan Protagoras, bahwa manusia menentukan apa yang baik dan adil. Tetapi menurut pengalaman mereka bukan warga-warga polis yang menentukannya; dalam praktek hidup undang-undang hanya dibentuk oleh orang-orang yang berkuasa. Memang maksud terben­tuknya hukum ialah untuk mengendalikan orang yang kuat, tetapi akhirnya orang yang kuat selalu menang. Itu berarti bahwa kesewenang-Wenangan menjadi sumber hukum. Dengan istilah-istilah filsafat Yunani: sumber hukum bukan logos, melainkan alam, yakni kekuatan dan kekerasan. Bila demikian halnya, hukum tidak dapat dianggap normatif lagi, karena tidak mengikuti norma-norma lagi. Dengan ini sudah dibuka kemungkinan tim­bulnya anarkhi (tanpa pemerintah) dan nihilisme (ketiadaan nilai-nilai).

Sokrates (469 – 399 seb. Masehi)

Sokrates sama sekali tidak menyetujui pandangan kaum sofis terse­but. Sebaliknya ia berpendapat, bahwa kebenaran bersifat obyektif dan se­bagai demikian merupakan pedoman yang tetap bagi semua manusia. Oleh karena itu juga Sokrates selalu berusaha mendidik kaum muda dalam ke­benaran dengan bertanya kepada mereka tentang berbagai macam hal: apa gunanya, apa tujuannya? Sokrates berkeyakinan, bahwa dengan ditingkat­kannya pengetahuan, orang akan dibawa kepada yang baik dan yang benar. Karena diutamakannya prinsip kebenaran dan kebaikan, yang ka­dang-kadang menentang adat kebiasaan, ia dituduh merosotkan kehidupan moral orang dan dijatuhi hukuman mati. Akhirnya hukuman mati itu ter­laksana juga, sebab ia enggan meninggalkan kota Athena yang dicintainya.

Dari riwayat hidup dan matinya Sokrates jelaslah, bahwa baginya tugas utama negara adalah mendidik warganegara dalam keutamaan (arete). Keutamaan itu tidak lain daripada taat kepada hukum negara, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Namun keutamaan ini tidak buta, melainkan didasarkan atas pengetahuan intuitif tentang yang baik dan yang benar, yang ada dalam semua manusia. Pengetahuan ini disebutnya, 'theoria'. Semacam roh ilahi (daimonion) dalam setiap manusia merupakan sumber pengetahuan yang sejati itu. Cara untuk sampai pada pengetahuan itu adalah refleksi atas diri sendiri. Karenanya diserukannya: Gnooti seauton, Kenalilah dirimu! Refleksi atas diri sendiri itu membawa serta ref­leksi atas pengertian-pengertian transendental dan norma-norma hidup.

2. PLATO

(427 — 347 seb. Masehi)

Di antara murid-murid Sokrates terdapat seorang yang menjadi filsuf termasyhur zaman klasik, yakni Plato. Plato hidup di Athena sebagai guru suatu sekolah filsafat dalam rumah yang dinamakan Akademia. Tujuannya ialah mendidik orang-orang muda dalam keutamaan sebagai warga-warga polis yang benar. Untuk itu ditulisnya banyak1 buku dalam bentuk dialog, artinya dipentaskan beberapa tokoh untuk membahas salah satu masalah. Di antara dialog yang terkenal dapat disebut: Phaidoon, tentang jiwa yang tak dapat mati; Symposion, tentang hidup sebagai perkembangan ke arah yang baik dan benar; Phaidros, tentang ide-ide rohani. Lagipula dikarang­nya dua dialog mengenai hidup menegara, yakni: Politeia dan Nomoi.

Perlu dicatat bahwa terdapat suatu perubahan pikiran pada Plato, ten­tang arti ide-ide yang dimiliki orang. Perubahan ini mempengaruhi juga pendapatnya tentang negara dan hukum. Dialog Politeia termasuk tahap kedua dalam perkembangan pikirannya. Maka ada baiknya untuk men­dahulukan uraian tentang negara dan hukum dengan suatu uraian singkat mengenai arti ide-ide, sebagaimana ditanggapi oleh Plato pada tahap kedua kehidupan filosofisnya.

Salah satu anasir dasar filsafat Plato ialah perbedaan yang nyata an­tara gejala (fenomen) dan bentuk ideal (eidos). Plato berpandangan bahwa di samping dunia fenomen, yang kelihatan, terdapat suatu dunia lain, yang tidak kelihatan, yakni dunia eidos. Dunia yang tidak kelihatan itu tercapai melalui pengertian (theoria).

Apa arti dunia eidos itu dan manakah hubungannya dengan dunia fe­nomen? Dalam tahap kedua hidupnya Plato mulai mengerti, bahwa me­mang terdapat bentuk-bentuk umum yang ideal untuk segala yang terdapat di bumi ini. Tetapi dari mana asalnya? Asalnya tidak lain daripada dari sumber segala yang ada, yakni suatu Ada yang tidak berubah dan kekal, yang sungguh-sungguh indah dan baik (ho kalokagathos). Ada itu sama de­ngan Budi Ilahi (nous), yang menciptakan eidos-eidos itu dan menyampai­kannya kepada kita sebagai pikiran. Dunia eidos itu merupakan contoh dan ideal bagi dunia fenomen.

Dualisme Plato ini meresapi juga ajarannya mengenai negara. Seperti di­uraikan dalam Politeia, dalam dunia fenomen terdapat negara-negara yang real dan kurang sempurna, sedangkan dalam dunia eidos terdapat negara ideal. Itu berarti bahwa di antara ide-ide yang mengelilingi Ada yang sem­purna itu terdapat juga suatu ide tentang negara, yang merupakan ideal bagi negara empiris. Isi ide negara ideal itu ialah suatu negara yang teratur secara" adil. Aturan itu merupakan model absolut bagi aturan hidup manusia.

Dapat disimpulkan bahwa ajaran Plato tentang negara dan hukum mengandung unsur-unsur yang baik bagi perkembangan suatu negara yang adil dan merdeka. Namun dapat dipertanyakan, apakah ideal negara Plato tidak terlalu tinggi dan abstrak untuk diwujudkan dalam kenyataan. Ham­pir tidak mungkin bahwa selalu orang bijaksana menjadi pemimpin negara, dan bahwa semua orang puas dengan kedudukannya dan tugasnya. Lagi-pula tidak mungkin pemimpin-pemimpin negara bersedia melepaskan milik dan hidup berkeluarga demi kepentingan umum.

Dapat dipertanyakan juga, apakah mungkin polis sebagai ideal hidup bersama terlalu diutamakan. Menurut Plato kepentingan polis selalu mele­bihi kepentingan pribadi secara demikian sehingga semua pribadi dan se­mua keluarga bersama miliknya termasuk negara (Nomoi II, 923 A). Itu berarti, bahwa Plato belum melihat hak-hak manusia sebagai hak-hak pri­badi. Oleh karena itu juga Plato dapat menerima, bahwa hanya sebagian kecil dari penduduk polis adalah sungguh-sungguh orang yang bebas se­bagai warga polis, yakni hanya laki-laki yang berkebangsaan Yunani dan yang termasuk kelas-kelas atas; orang-orang lain, wanita, anak, budak ti­dak mempunyai hak apa pun dalam polis itu. Maka pada Plato sudah ter­dapat hukum sipil, walaupun terbatas, tetapi belum ada tempat bagi hukum perdata yang sesungguhnya.

3. ARISTOTELES

(384 — 322 seb. Masehi)

Murid Plato yang paling masyhur bernama Aristoteles. Sesudah be­lajar dalam sekolah Plato ia merantau di Asia Kecil dan Macedonia. Di Macedonia ia menjadi pendidik Seorang putera raja, yakni pangeran Alek-sander Agung. Sesudah tugas ini selesai ia mendirikan suatu .sekolah baru di Athena, yakni Lukeion (Lyceum). Di sana ia mengajar, mengadakan pene­litian dalam segala bidang ilmu pengetahuan dan menulis banyak buku. Ka­rena pergolakan politik sesudah kematian Aleksander ia harus lari dari kota Athena. Tahun berikutnya ia meninggal dunia dalam pembuangan.

Waktu mudanya Aristoteles menganut filsafat Plato, tetapi lama-kela­maan dibangunnya filsafatnya sendiri. Buku-bukunya yang ditulisnya ada­lah a.l. Logika, Phisika, Metaphisika, Etika Nikomacheia. Tentang negara dan hukum ditulisnya: Politika (8 buku).

Sebelum dibahas pemikiran Aristoteles mengenai negara dan hukum dibentangkan terlebih dahulu garis-garis besar filsafatnya, dengan bertolak dari filsafat gurunya, Plato.

Menurut Plato terdapat dua dunia: dunia materi yang merupakan obyek pengalaman dan dunia rohani yang merupakan obyek pengertian, yang terpisah sama sekali yang satu dari yang lain. Menurut Aristoteles itu tidak mungkin. Sebabnya jika dunia rohani terlepas sama sekali dari dunia materi, dunia rohani tidak berguna bagi dunia materi. Bahkan ide-ide rohani (eidos) tidak dapat dikenal manusia, yang termasuk'dunia materi ini juga. Namun Aristoteles mengakui bahwa terdapat ide-ide rohani, sebagai obyek pengertian, yang berbeda dari hal-hal konkret yang merupakan obyek pengalaman manusia. Disimpulkannya, bahwa ide-ide itu merupa­kan hasil abstraksi daripada sesuatu yang ada dalam hal konkret itu, yakni bentuk atau hakekat. Bentuk itu pertama-tama ditemukan dalam hal kon­kret, kemudian juga dalam ide yang diperoleh manusia melalui abstraksi.

Bila hal ini diterima, nampaklah makhluk-makhluk dunia terdiri atas dua prinsip. Terdapat prinsip formal, yakni bentuk atau hakekat (morphe, forma) dan terdapat prinsip material, yakni materi fhule, materia). Materi adalah apa yang merupakan dasar semua makhluk, sedangkan bentuk ada­lah apa yang mewujudkan makhluk yang tertentu (energeia) dan menen­tukan tujuannya (entelecheia). Sesudah mengetahui sesuatu hal menurut kedua prinsip intern itu, pengetahuan tentang hal itu perlu dilengkapi dengan memandang dua prinsip lain, yang berada di luar hal itu sendiri, akan tetapi menentukan adanya juga. Prinsip ekstern yang pertama adalah sebab-yang-membuat, yakni sesuatu yang menggerakkan hal untuk men­dapat bentuknya. Prinsip ekstern yang kedua adalah sebab-yang-merupa-kan-tujuan, yakni sesuatu yang menarik hal ke arah tertentu, misalnya: api adalah untuk membakar; jadi membakar merupakan prinsip final dari api. Ternyata pandangan tentang prinsip ekstern kedua ini diambil dari hidup manusia, di mana orang bertindak karena dipengaruhi oleh tujuan tertentu; pandangan ini diterapkan pada semua makhluk alam. Maka terdapat em­pat prinsip realitas, yakni prinsip material fcausa materialis), prinsip formal (causa formalis), prinsip efisien (causa efficiens), prinsip final (causa finalis). Melalui prinsip:prinsip itu Aristoteles menerangkan aturan semesta alam.

Aturan semesta alam itu pertama-tama bersandar pada bentuk atau hakekat yang dimiliki setiap makhluk. Terdapat bermacam-macam bentuk, ada yang tinggi, ada yang rendah, akan tetapi semua makhluk mempunyai bentuk yang tertentu, dan hidup serta berkembang menurut bentuk itu. Itu berarti, bahwa semua makhluk menuju ke kesempurnaannya, sesuai dengan hakekatnya. Dengan kata lain: tujuan segala makhluk adalah yang baik, akan tetapi sesuai dengan hakekatnya masing-masing.

Aturan semesta alam itu bukan hanya berhubungan dengan hakekat yang dimiliki segala makhluk, tetapi juga dengan tujuan ekstern yang men­jamin kebaikan keseluruhan. Demikianlah makhluk-makhluk yang mem­punyai hakekat yang rendah merupakan materi bagi makhluk yang lebih tinggi bentuknya. Seperti tumbuh-tumbuhan merupakan makanan bagi binatang, demikian binatang adalah makanan bagi manusia. Disimpulkan bahwa dalam semesta alam terdapat dua tujuan atau finalitas yaitu: fi-nalitas dari makhluk sendiri, dan finalitas makhluk yang satu terhadap yang lain.

Akhirnya terdapat satu prinsip aturan lagi, yakni suatu tujuan ter­akhir, Budi Ilahi. Budi Ilahi itu merupakan Budi Murni, penggerak yang ti­dak bergerak. Oleh karena Budi itu lepas dari materi, Ia tidak mempunyai hubungan juga dengan makhluk-makhluk material. Budi itu mengatur bentuk/hakekat, bukan materi.

4. HUKUM ROMAWI

(abad III seb. Mas. — abad V ses. Mas.)

Sejak didirikannya kota Roma pada abad VIII seb. M. orang Roma­wi membentuk peraturan-peraturan hidup bersama sesuai dengan kebutuh­an rakyat. Pada permulaan peraturan itu menyangkut kehidupan dalam kota. Kemudian peraturan yang ditentukan menjadi lebih universal, oleh sebab harus cocok dengan kebutuhan penghuni seluruh wilayah kekuasaan Romawi yang makin meluas. Selaras dengan perkembangan ini sarjana-sar­jana hukum menciptakan suatu ilmu hukum dan filsafat hukum, yang menerangkan dan mendasari sistem peraturan hukum yang berlaku.

Sejak abad III seb. M. kebudayaan Hellénisme mulai mempengaruhi orang-orang terkemuka kerajaan Romawi itu. Terutama pengaruh Plato terasa amat besar dalam abad-abad sekitar tahun Masehi. Di samping itu aliran-aliran filsafat yang muncul di dunia Hellénisme mulai berpengaruh juga, a.l. Epikurisme, Skeptisisme dan Stoisisme. Pada para sarjana Romawi aliran-aliran itu sering kali bercampur menjadi suatu eklektisisme.

BAB II

PERMASALAHAN

Terdapat dua macam cara untuk mempersoalkan secara filsafat pertanyaan-pertanyaan yang di sebut diatas. Pertama-tama dapat di persoalkan arti hukum menurut pandangan zaman sekaran, sehingga dapat di katakan dalam filsafat hukum pemikiran-pemikiran zaman dulu hanya di perkenalkan atau di persoalkan secata tematis. Cara kedua yang membahas arti hukum secara historis dengan melihat perkembangan ide-ide tentang hukum dari abad ke abad bagaimana orang mulai berfikir tentang hukum bagaimana fikiran-fikiran itu berubah-ubah sampai sekarang. Inilah yang hendak kami lakukan dalam judul makalah “Filsafat Hukum”.

Pada dasarnya hukum berhubungan erat dengan negara, sehinga pendapat tentang negara ikut menentukan pendapat tentang hukum, lagi pula tanggapan terhdap negara dan hukum, atau dengan kata lain sebelum megenal filsafat hukum dan peran penting yang dimilikinya untuk pemahaman tentang hukum akan diutarakan bahwa untuk mempelajari filsafat hukum perlu di pahami terlebih dahulu pengertian tentang filsafat itu sendiri dan hukum itu sendiri.

1. Pengertian Filsafat

Untuk memberikan pengertian tentang filsafat, penulis akan melakukan tinjauan baik menurut bahasa/etimologi maupun menurut istilah/terminologi.

Kata filsafat dalam Oxford Advanced Learne's Dictionary adalah :

"The search for knowledge and understanding of the nature and meaning of the universe and of human life"

Suatu pencarian untuk pengetahuan dan pemahaman tentang sifat dan maksud/arti dari alam semesta tentang hidup manusia.

Filsafat menurut kamus besar Bahasa Indonesia dapat berarti pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya, Filsafat dapat juga berarti teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.

Kata "filsafat" diambil dari bahasa Arab, yaitu falsafah. Secara etimologis, filsafat berasal dari kata Yunani filosofía, merupakan bentukan dari kata philos atau fiko dan sephia atau sofia. Filo berarti cinta (ingin) dan Sofia yang berarti kebijaksanaan.

Filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan, kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan pikiran-pikiran rasional. Sedang menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, ada arti secara etimologik dari filsafat yang sedikit berbeda. Pertama apabila istilah filsafat berasal dari kata philein dan sophos, maka artinya mencintai hal-hal yang besifat bijaksana (bijaksana sebagai kata sifat). Kedua apabila berasal dari kata philos dan sophia, maka artinya teman kebijaksanaan (kebijaksanaan sebagai kata benda). Namun demikian dari keduanya ada satu titik temu yaitu berupa sebuah sikap yang berupaya mencari keutamaan sikap yang bijak.

Filsafat merupakan berpikir secara sistematis. Kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berpikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan. Perenungan kefilsafatan ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri.

Seorang yang  berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang, berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Jadi jika ditelaah lebih mendalam, karakteristik berpikir filsafat memiliki tiga sifat yang pokok, yaitu (1) menyeluruh; (2) mendasar; dan (3) spekulatif. Sifat menyeluruh mengandung arti, bahwa cara berpikir filsafat tidaklah sempit (fragmentaris atau sektoral), tetapi selalu melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Sifat mendasar artinya bahwa untuk dapat menganalisa tiap sudut persoalan perlu dianalisis secara mendalam. Sedangkan sifat spekulatif maksudnya bukan menganalisa suatu persoalan dengan untung-untungan tetapi harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

2. Pengertian Hukum

Pengertian hukum adalah keseluruhan kondisi, dengan mana kehendak yang sewenang-wenang dari individu dapat digabungkan dengan kehendak yang lain, dalam lingkup suatu hukum kebebasan. Hukum pada hakikatnya merupakan sesuatu yang abstrak namun dalam implementasinya bisa berwujud konkret.

Hukum adalah suatu bidang ilmu yang sangat luas cakupannya, keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum, yaitu hukum sebagai:

·         Ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;

·         Disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi;

·         Norma, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan;

·         Tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis;

·         Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan  yang  berhubungan erat dengan penegakan hukum (lawenforcementofficer);

·         Keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi;

·         Proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;

·         Sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang "teratur", yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian; dan

·         Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.

Sementara itu karena luasnya bidang yang dipelajari dari filsafat, Kattsoff mengadakan pembagian filsafat sebagai berikut:

·         Logika, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang tata cara penarikan kesimpulan yang benar;

·         Metodologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang teknik-teknik penelitian atau penyelidikan;

·         Metafisika, yaitu cabang filsafat yang membicarakan hakekat segala sesuatu yang ada (dan mungkin ada);

·         Ontologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang asas-asas rasional dari kenyataan (yang ada);

·         Kosmologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang bagaimanakah keadaannya sehingga ada asas-asas rasional dari kenyataan yang teratur itu;

·         Epistemologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang asal mula, susunan, metode-metode, dan sahnya pengetahuan;

·         Biologi kefilsafatan, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakekat hidup;

·         Psikologi kefilsafatan, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakekat manusia;

·         Antropologi kefilsafatan, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat manusia;

·         Sosiologi kefilsafatan, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat masyarakat dan negara;

·         Etika, yaitu cabang filsafat tentang apa yang baik dan buruk dari perilaku manusia;

·         Estetika, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang keindahan;

·         Filsafat agama,   yaitu  cabang  filsafat yang membicarakan tentang hakekat keagamaan.

3. Pengertian Filsafat Hukum

Filsafat hukum adalah cabang filsafat, yakni filsafat laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi, obyek filsafat hukum adalah hukum dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakekat.

Beberapa pakar telah mengemukakan pendapatnya tentang filsafat hukum sebagai berikut:

Gustaf Radbruch merumuskan:

Filsafat Hukum  adalah cabang  filsafat yang mempelajari hukum yang benar

Seperti semua makhluk manusia terdiri atas dua prinsip, yaitu materi dan bentuk. Materi adalah badan; karena badan material itu manusia harus mati. Yang memberikan bentuk kepada materi itu adalah jiwa.

Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi, yaitu memberikan hidup vegetatif (seperti jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa binatang-binatang), akhirnya membentuk hidup intelektif. Hanya karena fungsi yang terakhir ini jiwa membentuk hakekat yang khas bagi manusia.

Oleh karena jiwa intelektif manusia mempunyai hubungan, baik de­ngan dunia materi maupun dengan dunia rohani, maka Aristoteles membe­dakan antara bagian akal budi yang pasif dan bagian akal budi yang aktif. Bagian akal budi yang pasif adalah untuk berhubungan dengan materi, dan bagian akal budi yang aktif adalah untuk berhubungan dengan yang roha­ni. Bagian akal budi yang aktif itu adalah bersifat murni dan ilahi. Secara demikian semua manusia mengambil bagian juga dalam Budi Ilahi.

Akal budi yang aktif itu menjalankan dua tugas. Tugas yang pertama adalah memandang yang ilahi untuk mencari pengertian tentang makhluk-makhluk menurut bentuknya masing-masing. Hasilnya adalah pengetahuan teoretis. Dalam bidang ini diperlukan sikap ketelitian, kebijaksanaan, dan sebagainya. Perlu dicatat, bahwa di sini Aristoteles sangat menekankan juga peranan ilmu-ilmu empiris, seperti fisika, biologi, psikologi. Tugas yang kedua dari akal budi manusia yang aktif itu adalah memberikan bim­bingan kepada hidup praktis. Di sini diperlukan sikap keberanian, keadil­an, kesederhanaan.

Keutamaan-keutamaan baik di bidang teoretis maupun di bidang prak­tis, yang disebut tadi, membawa manusia ke arah kebahagiaan (eudaimonia). Akan tetapi kebahagiaan itu bukan hanya soal keutamaan. Perlu juga syarat-syaratnya tertentu terpenuhi, yakni: bahwa orang ber­kembang sebagai pribadi; bahwa orang memiliki barang.dan hal-hal yang sangat berguna bagi hidup, seperti kesehatan, kesejahteraan, paras yang tampan dll.; bahwa orang menjalankan hidup bersama orang lain dalam polis sebagai warga kota/warganegara.

Polis terdiri atas unit-unit yang kecil sebagai bagian-bagiannya. Unit yang terkecil adalah keluarga, yaitu laki-laki bersama istri, anak-anak dan budak-budak. Lalu terdapat unit yang lebih besar yaitu semacam kampung, ialah beberapa keluarga yang membentuk suatu kesatuan dengan mem­punyai kepalanya sendiri. Keluarga-keluarga dan kelompok-kelompok keluarga itulah yang bersama-sama membentuk kota/negara.

Seperti Plato Aristoteles juga berpendapat, bahwa manusia hanya dapat berkembang dan mencapai kebahagiaan, kalau ia hidup dalam polis. Aristoteles berpendirian, bahwa manusia adalah warga polis seperti halnya bagian dari suatu keseluruhan. Itu pertama-tama berarti, bahwa manusia menurut hakekatnya adalah 'makluk polis' (zoon politikon). Juga berarti bahwa negara melebihi individu-individu dan menjadi tujuan semua kegiat­annya. Maka bagi Aristoteles negara adalah bersifat totaliter.

Sebagai warga polis manusia harus ikut serta secara aktif dalam kegiat­an-kegiatan politik. Tidak perlu ia melakukan pekerjaan tangani. Pekerjaan tangan itu diserahkan kepada budak, yaitu orang bukan Yunani. Adalah pantas menurut Aristoteles, bahwa orang Yunani berkuasa atas kaum bar-bar, yang bukan Yunani.

Oleh karena manusia hanya dapat berkembang dalam polis dan me­lalui polis, maka keutamaan yang tertinggi manusia adalah ketaatan ke­pada hukum polis, baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis. Ke­utamaan moral ini disebut oleh Aristoteles keadilan. Dengan menjalankan keadilan ini manusia mewujudkan segala keutamaan lain, oleh karena se­gala yang lain dituntut oleh hukum negara. Maka bagi Aristoteles (dan penganut-penganutnya seperti Thomas Aquinas) keadilan menurut hukum adalah sama dengan keadilan umum.

Hukum yang harus ditaati demi keadilan dibagi dalam hukum alam dan hukum positif. Dengan ini untuk pertama kalinya muncul suatu pengertian hukum alam yang berbeda dari hukum positif. Dalam filsafat sebelum Aristoteles hukum alam merupakan aturan semesta alam, dan se- kaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Dalam filsafat kaum sofis hukum alam ditafsirkan sebagai 'hukum dari yang paling kuat', yang sebetulnya tidak dapat disebut hukum; yang disebut hukum alam di sini, tidak lain daripada kekuasaan dan kekerasan. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan di mana- mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam itu dibedakan dari hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari keten- tuan manusia. Umpamanya bila hukum alam menuntut sumbangan warga- warga negara bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan per-
orangan ditentukan oleh hukum positif, yakni dalam undang-undang negara. Undang-undang itu baru berlaku sesudah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.

Terdapat persoalan di kalangan para sarjana sejarah filsafat, apakah menurut Aristoteles hukum alam demikian tetap, sehingga tidak dapat di­ubah sama sekali. Memang benar, bahwa hukum alam itu, bila diterapkan pada dunia material, dapat disesuaikan dengan keadaan nyata. Akan tetapi tidak jelas apakah penyesuaian itu dapat disebut perubahan hukum atau hanya penerapannya saja.

Di samping keadilan sebagai keutamaan umum (yaitu ketaatan ke> pada hukum alam dan hukum positif) terdapat juga keadilan sebagai ke­utamaan moral khusus, yang menentukan sikap manusia pada bidang ter­tentu. Sebagai keutamaan khusus keadilan itu ditandai oleh sifat-sifat yang berikut:

·         Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang yang satu dengan yang lain.

·         Keadilan berada di tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan terciptalah keseimbangan antara dua pihak: jangan orang mengutamakan pihaknya sendiri dan jangan juga mengutamakan pihak lain.

·         Untuk menentukan di manakah terletak keseimbangan yang tepat an­tara orang-orang digunakan ukuran kesamaan; kesamaan ini dihitung secara aritmetis atau geometris.

Keadilan yang mengatur hubungan dengan sesama manusia, meliputi beberapa bidang:

·         Terdapat keadilan mengenai pembagian jabatan-jabatan dan harta benda publik. Pembagian ini harus sesuai dengan bakat dan kedu­dukan orang dalam negara. Di sini berlaku kesamaan geometris. Jika Akhilleus dua kali lebih penting daripada Ayax, maka Akhilleus harus menerima hormat dua kali lipat daripada Ayax. Prinsip ini dirumus­kan sbb.: kepada yang sama penting diberikan yang sama, kepada yang tidak sama penting, diberikan yang tidak sama.

·         Terdapat keadilan dalam bidang transaksi jual-beli. Dalam kontrak jual-beli harga barang tergantung dari kedudukan resmi kedua pihak. Secara konkret: harga barang berbanding terbalik dengan posisi kedua orang dalam masyarakat. Itu berarti, bahwa B harus melakukan pres­tasi seratus kali lipat prestasi A, supaya adil, bila A mempunyai ke­dudukan yang seratus kali lebih penting daripada B.

Hal ini menjelaskan bahwa Aristoteles belum mempunyai pan­dangan atas hidup ekonomis berdasarkan harga barang, yang tergan­tung dari permintaan dan penawaran.

·         Keadilan dalam hukum pidana diukur secara geometris juga. Kalau se­orang biasa dipukul oleh seorang yang berkedudukan tinggi, hal terse­but tidak mengakibatkan apa pun. Tetapi kalau sebaliknya seorang biasa memukul seorang yang berkedudukan tinggi, maka orang itu harus dihukum sesuai dengan kedudukan dari yang dirugikan.

Perlu diperhatikan, bahwa Aristoteles tidak menerima ius talionis, yang lazim dipraktekkan dalam kebudayaan kuno, yakni hak untuk membalas secara setimpal: mata demi mata, gigi demi gigi.

·         Terdapat keadilan juga dalam bidang privat yaitu dalam hukum kon­trak dan dalam bidang delik privat. Kesamaan yang dituju dalam bi­dang-bidang ini ialah kesamaan aritmetis. Kalau seorang mencuri ia harus dihukum sesuai dengan apa yang terjadi, dengan tidak mengin­dahkan kedudukan kedua pihak.

·         Berdasarkan prinsip ini Aristoteles menolak kemungkinan untuk mendapat bunga dari uang. Menurut Aristoteles uang adalah alat un­tuk menentukan secara jelas harga barang, lain tidak. Maka uang tidak boleh membungakan uang (pecunia non parit pecuniam).

·         Terdapat semacam keadilan juga dalam bidang penafsiran hukum, di mana hukum diterapkan pada perkara-perkara yang konkret. Memang benar bahwa undang-undang selalu bersifat umum, sehingga tidak per­nah dapat meliputi semua persoalan yang konkret. Oleh karena itu Aristoteles menghendaki, agar seorang hakim yang mengambil tindak­an in concreto hendaknya mengambil tindakan seakan-akan ia me­nyaksikan sendiri peristiwa konkret yang diadilinya. Dalam menerap­kan hukum pada perkara-perkara yang konkret itu kesamaan geome­tris atau aritmetis tidak berperanan lagi. Apa yang diperlukan adalah epikeia: suatu rasa tentang apa yang pantas. Sebagai demikian epikeia termasuk prinsip-prinsip regulatif, yang memberi pedoman bagi prak­tek hidup negara menurut hukum.

Jasa Aristoteles sebagai pemikir tentang hukum cukup menyolok. Dialah pertama-tama membedakan antara hukum alam dan hukum positif, lagipula untuk pertama kalinya mengerjakan suatu teori keadilan. Namun pengertian hukum yang dihasilkannya masih kurang lengkap. Marilah kita tinjau sebentar beberapa segi pengertian hukum itu.

·         Hukum alam. Hukum alam yang diakui Aristoteles disamakan dengan kebebasan yang dinikmati seorang warga polis yang ikut serta dalam kegiatan politik. Pribadi-pribadi lain yang hidup dalam polis tidak me­miliki hak-hak yang sama. Itu berarti bahwa hukum alam dalam arti hak-hak manusia belum ada.

·         Hal ini nampak juga dalam kenyataan bahwa orang-orang dari polis lain tidak mempunyai hak-hak alam itu. Kalau seorang asing melaku­kan suatu tindakan pidana ia diperlakukan sebagai seorang yang tidak mempunyai kedudukan. Hanya dalam satu hal Aristoteles melampaui batas polis. Dikemukakannya bahwa persahabatan (filia) seorang yang tidak berasal dari polis dengan seorang dari polis harus ikut dipertim­bangkan bila orang asing itu harus menghadap hakim karena perkara pidana.

·         Hukum privat. Negara menguasai segala bidang kehidupan. Negara juga merupakan satu-satunya instansi yang berwibawa untuk memben­tuk hukum. Itu berarti bahwa hukum privat yang sesungguhnya belum ada. Tanggapan Aristoteles tentang negara masih bersifat totaliter.

·         Hukum positif. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan
oleh penguasa negara. Hukum itu selalu harus ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil. Prinsip-prinsip keadilan dapat menuntut suatu koreksi dalam hukum positif, tetapi tidak dapat meniadakannya.

BAB III

PEMECAHAN

Manfaat dan Tujuan Mempelajari Filsafat Hukum

filsafat hukum adalah memperluas cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dengan penafsirannya yang berlaku secara kontekstual, dan analisis tentang pandangan antropologis yang melandasi tata hukum dan atau dalam kaitan dengan tujuan yang hendak diwujudkannya dapat diharapkan akan menumbuhkan sikap kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum positif pada berbagai situasi konkret yang selalu berkembang.

Filsafat hukum bisa dimanfaatkan secara praktis untuk menjelaskan peranan hukum dalam pembangunan dengan memberikan perhatian khusus pada ajaran-ajaran socialogical jurisprudence dan legal realism.

Tujuan filsafat ialah mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu di dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak.

Bagi Sebagian besar orang yang mempelajari hukum, pertanyaan yang cukup sering dilontarkan adalah: apakah manfaat mempelajari filsafat hukum itu? Apakah tidak cukup mahasiswa dibekali dengan ilmu hukum saja?

Dapat dijelaskan bahwa filsafat (termasuk dalam hal   ini   filsafat  hukum)   memiliki  tiga   sifat yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat memiliki   karakteristik  yang   bersifat menyeluruh. Dengan cara berpikir holistik tersebut, siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat, dan pendirian orang lain.

Ciri yang lain, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar. Artinya, dalam menganalisis suatu masalah, kita diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Mereka yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif semata. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila ia menjadi hakim, misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim "corong undang-undang" belaka.

Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagaimana dinyatakan oieh Suriasumantri (1985: 22), bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak, mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir, inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal baru. Tentu saja, tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertang­gungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif (dalam arti positif) itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama.

Ciri lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus-menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekadar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada di balik gejala-gejala itu.

Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah konkret.

Dengan pemahaman filsafat hukum, maka hukum tidak akan dipahami secara sempit dan hanya terfokus kepada undang-undang saja, begitu juga hukum tidak hanya dipahami secara tekstual saja, namun lebih dari itu pemahaman kita terhadap hukum akan lebih komprehensif, kontekstual, dan yang jelas akan lebih bijak dalam memaknai dan mensikapi hukum.

Sifat filsafat yang selalu kritis dan berusaha memahami hakikat dari suatu persoalan, menjadikan pemikiran secara filsafat hukum sangat diperlukan dalam menjadikan hukum tidak hanya mementingkan terpenuhinya unsur formal, tetapi juga unsur materiil dari hukum.

Hakikat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diwujudkan dengan kegiatan-kegiatan yang menyangkut nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma hidup itu sendiri melalui nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Filsafat yang menghasilkan pikiran – pikiran modern tentang hukum di mulai perkembangannya di Yunani pada abad VI sebelum Masehi.

Jauh sebelumnya sudah terdapat perkembangan kebudayaan di bagian – bagian dunia lain khususnya Timur Tegah, Mesir, India yang hinga kini sangat mengagumkan, seperti istana – istana raja – raja Babylonia dan Persia, Pramid di Mesir kadang-kadang kebudayaan bertahan juga dengan kebijaksanaan dalam bidang kenegaraan dan hukum seperti halnya pada kerajaan-kerajaan kuno baik Mesir, China dan Baby Lonia. Sudah terdapat juga perundang-undangan yang agak lengkap di Babylonia (Hamurabi abad XVIII S.M) dan di negara Yahudi (Musa, abad XIII seb.M). di China di temukan juga pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang negara dan hukum yang menentukan garis-garis kepemimpinan masyarakat China sampai sekarang ini, namun pemikiran-pemikiran yang paling subur adalah pemikiran di Yunani. Filsafat tentang negara dan hukum sebagaimana di kembangkan di Yunani itu menjadi titik tolak pandangan modern atas gejala-gejala tersebut baik penerimaan konsep-konsep nasrami dan perkembangan abad pertengahan yang di motori Filsafat – Filsafat islam Iman Al Syafi’i (820 M). Karena pengaruh ahli Filsafat Islam ini buku-buku islam mendapat susunan yang agak tetap.

Meninjau kembali pandangan-pandangan tentang hukum selama abad . abad pertengahan dapat di simpulkan bahwa pandangan-pandangan tersebut tidak terlepas dari keyakinan sebagai orang beragama. Baik agama Kristiani maupun dalam agama Islam, aturan hukum dianggap sebagai perwujudan kehendak Allah SWT. Namun terdapat perbedaan juga dalam pandangan orang-orang terhadap hukum yakni mengenai hubungan manusia dengan manusia dengan Tuhannya (Allah SWT).

Dalam zaman modern peranan akal budi dalam memikirkan gejala-gejala hidup semakin besar, sampai berfikir itu dipandang sebagai sumber kebenaran, lepas sama sekali dari wahyu, “salah satu hasil pemikiran yang tak kunjung putus itu adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hidup dalam zaman sekarang. Namun tidak terdapat pengaruh dari wahyu atas pencipta aturan-aturan hukum. Pengaruh langsung memang tidak ada. Akan tetapi terdapat pengaruh langsung bahwa “wahyu” ikut menentukan aturan hukum, oleh karena menurut orang beriman hukum harus berkaitan dengan prinsif-prinsif moral supaya adil bagi orang-orang beriman prinsif-prinsif itu berasal dari “wahyu”.

B. SARAN

Bagi penstudy ilmu filsafat hukum dianjurkan untuk latihan, belajar dan bekerja, wassalam.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Thco Huijbers Osc. Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah. Yayasan Karnisius. (Bandung 1982),

Prof. Dr.H. Muchsin, SH. Kapita Selekta Bidang Studi Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945. (Jakarta 2009).

Bernard. L Tanya, dkk. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Genta Publishing. (Yogyakarta, 2010).

Lili Rastiji dan Ira Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat dan teori Hukum. Citra Adinya Bakti. (Bandung 2001).

Lois O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana. (Yogyakarta 1987).

Darji Darmodiharjo dan Shidanto. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Gramedia Pustaka Utama, (Jakarta 1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar