Makalah Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional

Berikut ini adalah Makalah Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional. Semoga makalah berikut ini dapat membantu anda dalam mengerjakan tugas mata kuliah anda.

A. Pendahuluan
Pendidikan Islam menjadi salah satu isu penting dalam setiap pembahasan yang menyangkut kehidupan umat Islam. Itulah sebabnya berbagai pertemuan ilmiah baik yang berskala lokal maupun internasional mengenai pendidikan Islam sudah sekian banyak dilaksanakan. Dalam konteks nasional, bahkan isu itu mengemuka secara inheren setiap kali muncul permasalahan dalam pendidikan nasional. Ketika orientasi dan tujuan pendidikan di Indonesia dibicarakan, masalah pendidikan Islam pasti menjadi salah satu topik bahasan yang cukup dominan.
Mengapa kenyataan di atas selalu muncul, hal ini tidak akan terlepas dari berbagai faktor yang melatarinya. Pertama – tama tentu berhubungan dengan fakta bahwa pendidikan Islam di Indonesia memiliki sejarahnya yang sangat panjang. Selama sekian abad pendidikan Islam merupakan satu – satu nya lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, sebelum penjajah Belanda memperkenalkan sistem pendidikan modern sekitar abad ke – 19. Lembaga – lembaga pendidikan seperti surau, majlis taklim, pesantren, dan madrasah sudah diterima dan memiliki basisnya sendiri yang sangat kuat dalam kehidupan bangsa Indonesia. (Hasbullah, 1996 : 19). Kemudian, dalam perkembangan sejak satu dasawarsa yang silam, pendidikan Islam memiliki tempat yang sangat strategis, dikaitkan dengan cita – cita pembangunan nasional yang ingin menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya yang antara lain dicerminkan oleh kekuatan iman dan takwa. Dalam hal ini jelas pendidikan Islam dengan leluasa masuk dalam agenda pembangunan pendidikan nasional.
Faktor lain adalah berkaitan dengan kegairahan umat Islam Indonesia sendiri yang mulai menyadari untuk bangkit, berusaha mengaktualisasikan semua ajaran dalam institusi keagamaannya, termasuk pendidikan, dalam rangka membangun masa depan Indonesia yang lebih baik dengan dilandasi oleh nilai – nilai religius dan moral yang kuat. Oleh karena itu, sekarang pendidikan Islam bukan lagi merupakan second choice, tetapi justru first choice.
Dalam konteks akademik, realitas itu jelas merupakan upaya percepatan dalam rangka memperkaya dan mengukuhkan bangunan teoritis kependidikan Islam, lebih – lebih dengan sentuhan ideologis, kalangan akademik pun turut serta dalam mengoperasikan cita- cita kependidikan Islam yang dalam hal ini tentu saja dalam konteks pendidikan di Indonesia.
Pendidikan Islam di Indonesia dapat di kelompokkan menjadi tiga yaitu Pesantren, Madrasah, dan SekolahIslam. Bentuk pendidikan Islam yang tertua adalah pesantren. Bahkan menurut  Nurcholis Majid, pesantren merupakan kelamjutan dan penyempurnaan dari praktek pendidikan pra- Islam yang sudah ada sejak masa penjajahan Hindia Belanda.
Pesantren sebagai institusi pendidikan,mendidik peserta didik secara menyeluruh.peserta didik yang kemudian disebut dengan istilah santri, hidup dan tinggal di pesantren tersebut. Keadaan seperti ini memungkinkan adanya pemantauan yang lebih intens oleh para pendidik terhadap santri-santri nya. Inilah salah satu faktor yang mendorong para orang tua menginginkan anak-anaknya di didik oleh para Kiyai di pesantren. 
Pilihan masyarakat muslim untuk menitipkan anak-anak nya pada sebuah institusi pendidikan mulai bergeser. Pesanytren pada awalnya menjadi satu-satunya pilihan. Namun pada perkembangannya,masyarakat muslim mencari bentuk institusi lain yaitu Madrasah dan sekolah Islam. Menurut Abdurrahman Mas’ud, perkembangan institusi pendidikan Islam dari pesantren ke Madrasah muncul pada awal abad 20. Perkembangan ini sebagai akibat dari kekurang puasnya masyarakat Islam terhadap syistem pesantren (waktu itu) yang di anggap sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu Fardlu ‘ain saja.  Terdapat dua hal yang melatar belakangi tumbuhnya syistem madrasah di Indonesia:
Pertama, Faktor pembaharuan Islam dan yang kedua  adanya respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda.
Selain Madrasah, juga terdapat sekolah Islam. Institusi ini banyak berkembang pada era otonomi daerah. Sekolah-sekolah Islam yang muncul dan berkembang pada era tersebut antara lain adalah sekolah Islam terpadu (SIT), sekolah Islam Unggulan, dan sekolah Islam bertaraf Internasional. Perkembangan Institusi sekolah Islam antara lain dipengaruhi oleh:

B. Pendidikan Islam
Mustahil kita memahami pendidikan Islam tanpa memahami Islam itu sendidri, suatu kekuatan yang memberi hidup bagi suatu peradaban raksa yang salah satu buahnya adalah pendidikan.  Pendidkan ini wujud bukan secara kebetulan di tengah-tengah rakyat yang kebetulan adalah orang-orang Islam, tetapi di hasilkan dalam bentuk seperti ia  dihasilkan itu sebab orang-orang yang membawanya ke wujud ini adalah orang-orang Islam dan bernafas di dalam alam jagat yang penuh dengan udara Islam.
Sains Islam berwujud dari perkawinan antara semangat yang berasal dari Al-Qur’an dengan sains-sains yang sudah wujud dari berbagai peradaban yang diwarisi Islam dan dirubahnya melalui kekuasaan spiritualnya menjadi bentuk yang baru., sekaligus berbeda dari dan berlanjutan dengan apa yang telah wujud sebelumnya. Watak beradaban Islam yang bersifat Internasional dan kosmopolitan, yang berpangkal pada ciri-ciri universal dari wahyu Islam sendiri dan dicerminkan oleh perkembangan geografis dunia Islam membolehkannya mencipta sains pertama yang betul-betul bersifat Internasional dalam sejarah umat manusia.
Islam menjadi ahli waris bagi warisan intelektual dari berbagai peradaban-peradaban besar sebelumnya, kecuali barangkali peradaban Timur Jauh. Ia menjadi payung tempat berteduhnya berbagai tradisi intelektual dimana mereka menemui hidup baru, selanjutnya bertraspormasi dalam rangka suatu jagat spiritual yang baru. Ini perlu ditekankan, sebab banyak orang Barat percaya bahwa Islam hanyalah sebagai jembatan yang sdilaluio peradaban Yunani dan Persia  menuju ke Eropa. Ini sama sekali tidak betul, sebab tidak ada idea,teori atau ajaran yang memasuki kubu pemikiran Islam sebelum diislamkann dahulu dan dipadukan dengan totalitas pandangan hidup Islam.
Di atas itu semua, barang kali yang terpenting adalah sistem pendidikan raksasa yang  merangkul pendidikan formal dan informal yang memungkinkan dorongan dan pemindahan ilmu dalam segala bentuknya. Sistem pendidikan itu, tentunya didasarkan atas konsep Islam tentang ilmu dan pendidikan. Konsep yang menjadi pangkal perkembangan pendidikan Islam dan didasarkan atas konsep hirarki pengetahuan, yang banyak dibicarakan oleh ahli-ahli pendidikan seperti al Farabi , Ibnu Sina,al Ghazalai, Ibnu Khaldun, dan lain-lain.
Selain dari itu ilmu pada pendidikan Islam adalah suci sebab pada akhirnya semua ilmu bertalian dengan berbagai aspek dari sifat-sifat Tuhan. Pandangan seperti inilah yang mewarnai keseluruhan lembaga pendidikan Islam sampai hari ini sehingga ia tidak berpisah dengan organisasi dan lembaga-lembaga agama seperti mesjid, surau, zawiyah, dan berbagai tempat yang dibiayai oleh wakaf. Peranan wakaf ini nantinya akan dihubungkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam.

C. Perspektif  Sejarah Dalam Pendidikan Islam
Kita dapat membagi periode perkembangan pendidikan Islam kepada empat periode :
Periode Pertama : Periode Pembinaan
Periode ini mulai semenjak munculnya Islam sehingga akhirnya negara Ummaiyah. Ciri-ciri umum yang utama pendidikan Islam pada periode ini adalah :
1. Merupakan pendidikan Islam yang tulen,
2. Bertujuan meneguhkan dasar-dasar agama yang baru,
3. Bergantung penuh pada ilmu naql dan lisan,
4. Menggunakan bahan tertulis sebagai alat komunikasi,
5. Membuka peluang mempelajari bahasa-bahasa asing,
6. Menggunakan kuttab (surau), mesjid dan perpustakaan sebagai pusat-pusat pendidikan.
Masa pertama kebangkitan Islam ditandai dengan masa kekuasaan Syura oleh Khulafaurrasyidin yang empat semasa dengan Rasulullah SAW, mendapat pengaruhnya dan memimpin penaklukan-penaklukan Islam yang pertama yang berusaha meneguhkan kedudukan agama dan negara. Pada negara Ummaiyah kedudukan Khalifah itu diwarisi,sebab khalifah mengangkat orang yang akan menggantikannya. Kekhalifahannya berlangsung selama kurang lebih sembilan puluh tahun antara tahun 40-132 H. Atau 661-750 M.
Pada zaman Ummaiyah itu merupakan permulaan gerakan terjemahan dari berbagai bahasa Arab, tetapi ini terbatas kepada individu-individu dan mencerminkan keprihatinan perseorangan atau usaha-usaha pribadi, sedang pada zaman kerajaan Abbasiah ia mencerminka suatu sekolah yang lengkap di bawah pengawasan dan restu negara. Juga keprihatinan terjemahan pada zaman Ummaiyah ini tertuju kepada ilmu (sciences)sepereti kedokteran, dan kimia, belum mencakup ilmu-ilmu akliah seperti matematika,logika, dan filsafat. Jadi ilmu-ilmu akliah ini adalah produk kerajaan Abbasiah sendiri.
Periode pendidikan Islam ini yang berlanjut semenjak bangkitnya Islam sampai akhir kerajaan Ummaiyah mempunyai ciri-ciri istimewa bahwa becorak Arab dan Islam tulen. Ini desebabkan karena pengaruh mayoritas orang Arab sedang elemen-elemen Islam yang baru belum menyerapi budaya dengan sempurna.

Periode Kedua : Periode keemasan.
Mulai dengan kerajaan Abbasyiah sehingga runtuhnya kekhalifahan Abbasyiah dan runtuhnya kota Bagdad. Cici-ciri umum terpenting pendidikan Islam pada periode ini adalah :
1. Masuknya ilmu-ilmu akal,
2. Pembinaan sekolah-sekolah,
3. Tumbuhnya fikiran-fikiran pendidikan yang istimewa,
Di antara ciri-ciri umum terpenting pendidikan Islam pada periode ini adalah masuknya ilmu intelektual, berdirinya sekolah-sekolah, dan munculnya pemikiran-pemikiran pendidikan yang unik. 
Kebudayaan Islam mencapai puncak kegemilangannya pada waktu itu ketika ia membuka diri kepada budaya-budaya lain. Khalifah al-Mansurlah yang memulai gerakan terjemahan dan mengkaji ilmu-ilmu darei budaya-budaya lain ini, kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah al-Nahdi,al-Rasyid, dan al-Makmun.
Kata Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya ketika bercakap tentang ilmu-ilmu akliah : “Ketahuilah bahwa bangsa yang paling banyak memberi perhatian pada ilmu-ilmu akliah adalah du bangsa besar sebelum Islam yaitu Persia dan Romawi. Tentang orang-orang Persia ilmu-ilmu akliah pada mereka itu memang cemerlang. Tatkala negeri Persia dibuka didapati di situ banyak sekali buku-buku.
Masuknya ilmu-ilmu akal mencerminkan periode baru dalam pendidikan Islam yang memungkinkan pemikiran Islam menjalankan peranannya untuk memperkaya pemikiran umat manusia.
Ilmu-ilmu akal ini memasuki kurikulum pendidikan Islam di berbagai pusat pendidikan dan pengajaran, terutama di sekolah-sekolah. Timbulnya sekolah-sekolah pada periode ini menyaksikan munculnya sekolah-sekolah yang belum terkenal sebelum itu. Nizam al Muluklah yang pertama mendirikan sekolah-sekolah di dalam Islam. Pembinaan sekolah-sekolah ini mencerminkan puncak pendidikan persekolahan Islam. 
Di antara ciri-ciri terpenting yang memberikan keunikan pendidikan Islam sepanjang periode ini adalah terlibatnya ulama-ulama Islam menuliskan tentang judul pendidikan dan pengajaran secara meluas dan dalam yang menunjukkan keperihatinan khusus dalam hal ini. Pengarang yang paling pertama sekali dalam hal ini adalah Ibnu sahnun pada abad ketiga Hijriyah, al-Qabisi pada abad keempat Hijriyah dan banyak lagi yang lain-lain, yang paling terkenal adalah Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali pada abad keenam Hijriyah, dan Ibnu Khaldun pada abad kedelapan Hijriyah.

Periode ketiga : periode Keruntuhan dan Kehancuran 
Periode ini mulai dengan kekuasaan Turki Utsmaniyah sampai terlepasnya negara-negara Arab dari kekuasaan itu. Ciri-cirinya yang bterpenting adalah :
1. Kebekuan pemikiran Islam,
2. Kembali mengutamakan ilmu-ilmu naqliyah,
3. Kebekuan institusi-institusi pendidikan,
4. Menonjolnya kebudayaan Turki,
5. Keistimewaan budaya bagi golongan-golongan agama minoritas bukan Islam,
6. Masuknya pengaruh-pengaruh pendidikan Barat.
Telah kita tinggalkan negara-negara Islam pada zaman pertengahan yang telah mencapai puncak dan keagungannya yang menjadi obor peradaban dan pengetahuan yang menerangi zaman renaisans di eropa dan selanjutnya kebangkitan modern. Periode itu menyaksikan kebangkitan pemikiran pendidikan Islam dan kebangkitan dalam mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Tetapi akhirnya runtuh dan menjadi beku tak dapat berkembang lagi. Keruntuhan ini dipercepat oleh jatuhnya kerajaan Abbasiah oleh serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada pertengahan abad ketiga belas Masehi ketika kota bagdad sebagai pusat Ilmu dan kebudayaan hancur sama sekali.

Periode keempat : Periode pembaharuan dan Pembinaan Kembali
Periode ini meliputi permulaan terlepasnya negara-negara Arab dari kekuasaan Turki, yang berkelanjutan sampai sekarang. Ciri-cirinya yang umum terpenting adalah Pendidikan pada periode ini :
1. Meminjem sistem pendidikan barat,
2. Keprihatinan terhadap ilmu-ilmu akal dan  mutakhir
3. Menyelinapnya kebudayaan Barat,
4. Percobaan mengembangkan institusi-institusi pendidikan tradisional.

D. Permasalahan Pendidikan Islam
Pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan perubahan besar, bukan hanya dalam bidang pemerintahan dan birokrasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Pendidikan umum yang berada di bawah naungan departemen Pendidikan Nasional sudah jelas posisinya karena pendidikan termasuk yang kewenangannya diserahkan kepada daerah atau didesentralisasikan. Sementara itu, pendidikan agama (madrasah dan pesantren) yang berada di bawah Departemen Agama, sampai sekarang masih banyak diperdebatkan.
Ada keinginan bahwa lembaga – lembaga pendidikan agama ini juga didesentralisasikan dalam artian pengelolaannya di bawah satu atap yaitu Dinas Pendidikan di daerah. Dengan berada satu atap, diharapkan posisi pendidikan agama tidak lagi termarginalkan terutama dalam aspek pembiayaan daerah (APBD). 
Namun di satu sisi masih banyak yang berkeinginan agar posisi posisi pendidikan agama tetap di bawah Departemen Agama dengan didekonsentrasikan ke Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi setempat. Tentang pembiayaan diharapkan juga mendapat dari APBD. Hal ini mengingat bagaimanapun lembaga pendidikan agama juga merupakan aset daerah yang berperan besar dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia namun dalam realitas penyelenggaraannya banyak yang sangat memperihatinkan.
Sayangnya, sampai saat ini belum terdapat kesamaan visi dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam di daerah. Pihak Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan Provinsi atau Kabupaten/Kota) umumnya masih beranggapan bahwa pengelolaan lembaga pendidikan Islam bukanlah tanggung jawab mereka, dia merupakan tanggung jawab Departemen Agama (Pusat) sehingga tidak perlu ada penganggaran secara khusus. Sementara itu, pihak Departemen Agama yang merupakan payung 
Penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam secara jujur memang sangat terbatas dalam hal pembiayaan. Namun, sangat disayangkan di balik segala keterbatasan yang dimilikinya tersebut, kemampuan bargaining dengan pemerintah daerah juga sangat rendah, dan jarang sekali terjadi komunikasi yang baik antara Departemen Agama dengan pemerintah daerah menyangkut pembiayaan lembaga pendidikan yang menjadi binaannya. Paling – paling hanya minta sekadar bantuan, tetapi tidak teranggarkan secara khusus pada APBD.
Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa peran pendidikan Islam untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia sangat penting dan urgen. Oleh karena itu, ia merupakan aset bangsa yang semestinya harus dibantu dan dipelihara. Sayangnya, peran pemerintah terhadap lembaga – lembaga pendidikan Islam ini sejak awal kemerdekaan sampai sekarang sangat minim (Azyumardi Azra, 2002: 8). Padahal, lembaga – lembaga pendidikan Islam baik madrasah maupun pesantren yang banyak tersebar di daerah–daerah atau kampung–kampung, jumlahnya cukup signifikan. Dari jumlah tersebut sebagian besar berstatus swasta yang langsung dikelola oleh masyarakat, dan hanya sebagian kecil yang berstatus negeri.
Data dari Departemen Agama menunjukkan bahwa Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) mencapai 95,2%, MIN hanya 4,8 %. Keadaan ini berbalik dengan SD Negeri yang berjumlah 93,1%, berbanding SD Swasta 6,9%. Pada tingkat MTs terdapat 75,7% MTs Swasta berbanding 24,3% MTsN. Sementara SMP Negeri berjumlah 44,9% berbanding SMP Swasta 55,1%. Pada tingkat SLTA, terdapat 70% Madrasah Aliyah Swasta berbanding 30% MAN. Sementara sekolah umum (SMA/SMK) berstatus negeri 30,5% dan swasta 69,5% (Mastuki, 2000).
Persoalannya sekarang adalah ketika pendidikan Islam masuk dan diakui dalam perspektif perundang – undangan pandidikan nasional baik UU Nomor 2 Tahun 1989 maupun UU Nomor 20 tahun 2003. Secara realitas pendidikan Islam yang dalam konstalasi pendidikan di Indonesia hampir mencapai 35%, secara umum masih sangat tertinggal, baik dalam segi mutu, fasilitas sarana prasarana, jumlah guru, maupun pendanaan. Persoalan lain adalah meskipun pendidikan Islam diakui dan diatur dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), apakah perlakuannya sama dengan sekolah – sekolah umum.
Hal ini menjadi sangat penting diperhatikan, mengingat kesenjangan antara pendidikan umum dengan pendidikan Islam masih jauh sekali, baik dalam hal fasilitas maupun kesejahteraan maupun secara indeks biaya perkapita pendidikan per siswanya.
Kepincangan – kepincangan pendanaan/subsidi tersebut akan lebih mencolok lagi jika mencakup madrasah atau sekolah Islam swasta yang selama ini memang cenderung diabaikan pemerintah. Padahal, jumlah madrasah – madrasah swasta ini (termasuk pesantren) jauh lebih besar dibandingkan madrasah negeri. Dalam sektor penggajian atau kesejahteraan guru – guru, madrasah swasta ini sangat memprihatinkan dan jauh dari kepantasan, bahkan ada yang tidak digaji, digaji dengan gabah, atau pemberian sukarela. Kalaupun digaji, hanya berkisar antara Rp. 25.000,00 s.d. Rp. 150.000,00 per bulan.
Kebanyakan madrasah swasta bukan hanya tidak mampu memiliki prasarana dan sarana pendidikan yang memadai, tetapi juga tidak mampu memberikan imbalan yang memadai bagi guru dan tenaga kependidikannya. Akibatnya, madrasah – madrasah swasta hanya mampu memiliki jumlah guru dan tenaga kependidikan yang “salah kamar” (mismatch), kualitas keilmuan yang tidak memadai (unqualified  atau underqualified). Hanya sekitar 20% dari total guru madrasah (negeri dan swasta) yang layak (qualified), 20% mismatch, dan 60% belum atau tidak layak (underqualified atau unqualified).
Dilihat dari segi jumlahnya, pendidikan madrasah (belum termasuk pesantren) di Indonesia boleh dikatakan cukup signifikan, yaitu Madrasah Aliyah sebanyak 3.772 buah (berstatus negeri 577 dan swasta 3.195), Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebanyak 10.792 buah (berstatus negeri 1.168 dan swasta 9.642), dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) 22.799 buah (berstatus negeri 1.482 dan swasta 21.317). dengan kondisi seperti ini, mestinya pemerintah tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam. Hal ini tidak saja karena alasan sejarah yang pernah menempatkan pendidikan Islam sebagai satu – satunya lembaga pendidikan di Indonesia yang tentu saja sangat menentukan keberagaman bangsa ini, tetapi juga karena alasan jumlahnya yang sangat signifikan tersebut merupakan aset bangsa yang perlu diselamatkan.
Akibat perlakuan yang berbeda dan cenderung diskriminatif dari pemerintah, maka penyelenggaraan pendidikan Islam khususnya yang berstatus swasta, di mana sebagian besar menghadapi kesulitan dan keterbatasan biaya, mengakibatkan mutu pendidikan Islam sangat rendah.
Ketertinggalan madrasah dibandingkan dengan sekolah umum menuntut semua pihak untuk menuntaskan permasalahan ini sesegera mungkin. Pemerintah pusat diharapkan segera mereformasi pandangannya yang menganggap madrasah sebagai pendidikan “kelas dua”. Sementara itu, pemerintah daerah dapat mengembangkannya menjadi lembaga pendidikan alternatif dan pengelola madrasah harus semakin kreatif, inovatif dalam merebut persaingan pasar. Perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik ke otonomi dengan menerapkan model community base education dapat dijadikan momentum oleh pemerintah daerah dalam rangka pengembangan madrasah sebagai pusat keunggulan. Sementara itu, para pengelola madrasah dapat menggunakan pendekatan school base management sebagai titik dasar pengembangan madrasah yang kompetitif dan memiliki unggulan.

E. Pendidikan Islam sebagai subsistem Pendidikan Nasional
Secara historis pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pendidikan Islam (pesantren kemudian disusul madrasah) merupakan satu – satunya lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, sebelum pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan “sekolah” pada abad ke – 19. Sejak itulah terjadi dualisme penyelenggaraan pendidikan, di mana di satu sisi pendidikan Islam terus berjalan dan di lain sisi sekolah yang dibangun pemerintah kolonial juga terus berjalan. Keduanya berjalan dalam kondisi yang sangat berbeda, baik dalam pemberian materi pembelajaran maupun segi performanya.
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan Islam tidak serta merta dimasukkan di dalam sistem pendidikan nasional. Organisasi pendidikan Islam memang terus hidup dan berkembang, namun tidak memperoleh perhatian sepenuhnya dari pemerintah. Lembaga – lembaga pendidikan Islam dibiarkan hidup meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana.
Pada sekitar tahun 1946, Departemen Agama telah meletakkan cita – cita pemberdayaan masyarakat melalui optimalisasi pendidikan nasional, khususnya pendidikan keagamaan. Pengembangan pendidikan keagamaan semula memang dilakukan oleh masyarakat sendiri melalui berbagai perkumpulan dan organisasi kemasyarakatan dengan mencoba menyelenggarakan sistem pendidikan keagamaan dalam bentuk pesantren, diniyah dan madrasah (Azizy, 2003: 60). Dinamika pendidikan tersebut selain landasan pemerintah dalam menyusun strategi pengembangan pendidikan keagamaan, juga menjadi ciri khas dari program pendidikan di lingkungan Departemen Agama, yakni pendidikan yang mengekspresikan kebutuhan masyarakat dan yang dikelola bersama masyarakat. Namun sayangnya, keadaan pendidikan Islam dalam kurun waktu yang relatif lama masih saja belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Perkembangannya dibiarkan begitu saja dikelola oleh masyarakat sehingga keadaannya tetap termarginalkan.
Pada sekitar tahun 1970 – an baru mulai adanya perhatian pemerintah yang ditujukan untuk pembinaan madrasah, misalnya dengan lahirnya SKB 3 Menteri tahun 1975 antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. SKB 3 Menteri tersebut disusul lagi dengan SKB antara Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1984, tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. Sejak saat itu, madrasah memasuki mainstream pendidikan nasional. Upaya pengembangan dilakukan melalui pendefinisian berbagai kelemahan madrasah seperti terlalu banyak mata pelajaran, kualitas guru yang rendah, sarana pendidikan yang tidak memadai, dan kebanyakan siswanya berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Pengakuan secara yuridis terhadap kelembagaan pendidikan Islam dengan ciri khasnya baru dapat dilihat dengan kehadiran UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam UU tersebut, pendidikan madrasah diakui sebagai subsistem pendidikan nasional sebagaimana juga di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
Dari perjalanan historisnya tersebut, meskipun pendidikan Islam tidak jarang mendapatkan tekanan dan kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah, namun pendidikan Islam telah berhasil survive di dalam berbagai situasi dan kondisi mengarungi masa – masa sulitnya. Hal demikian menyebabkan pendidikan Islam menyandang berbagai jenis nilai luhur (Tilaar, 2000: 78), seperti hal – hal sebagai berikut.
  1. Nilai historis; dimana pendidikan Islam telah survive baik pada masa kolonial hingga zaman kemerdekaan. Pendidikan Islam telah menyumbangkan nilai – nilai yang sangat besar di dalam kesinambungan hidup bangsa, dalam lehidupan bermasyarakat, dalam perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Di dalam invasi kebudayaan Barat, pendidikan Islam telah menunjukkan ketahanujiannya sehingga tetap survive.
  2. Nilai religius; pendidikan Islam di dalam perkembangannya tentunya telah memelihara dan mengembangkan nilai – nilai agama Islam sebagai salah satu nilai budaya bangsa Indonesia.
  3. Nilai moral; pendidikan Islam tidak diragukan lagi sebagai pusat pemelihara dan pengembangan nilai – nilai moral yang berdasarkan agama Islam. Sekolah – sekolah madrasah, pesantren, bukan hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan, tetapi juga sebagai pusat atau banteng moral dari kehidupan mayoritas bangsa Indonesia.

F. Pendidikan Islam dalam UUSPN
Pendidikan Islam di Indonesia sebagai subsistem pendidikan nasional, secara implisit akan mencerminkan ciri – ciri kualitas manusia Indonesia seutuhnya. Kenyataan seperti ini dapat dipahami dari hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, yang memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam ditujukan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam (Hasbullah, 1999: 28). Dalam konteks ini Ahmad D. Marimba (1986: 23) mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum – hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran – ukuran Islam.
Sementara itu tujuan ideal yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia lewat proses dan sistem pendidikan nasional seperti yang termaktub dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 adalah sebagai berikut.
“Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dengan melihat kedua tujuan pendidikan di atas, baik tujuan pendidikan Islam maupun tujuan pendidikan nasional, tampaknya paling tidak terdapat dua dimensi kesamaan yang ingin diwujudkan, yaitu :
  1. Dimensi transendental (lebih dari hanya sekedar ukhrawi yang berupa ketakwaan, keimanan, dan keikhlasan.
  2. Dimensi duniawi melalui nilai – nilai material sebagai sarananya, seperti pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, keintelektualan, dan sebagainya.
Dengan demikian, keberhasilan pendidikan Islam akan membantu keberhasilan pendidikan nasional. Begitu juga sebaliknya, keberhasilan pendidikan nasional secara makro turut membantu pencapaian tujuan pendidikan Islam. Oleh sebab itu, keberadaan pendidikan Islam mestinya oleh pemerintah dijadikan mitra untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan undang – undang yang mengatur penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional sebagaimana dikehendaki UUD 1945. Proses perjalanan yang melelahkan, sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1989 dengan kelahiran UU No. 2 Tahun 1989, dan kemudian disempurnakan menjadi UU No. 20 Tahun 2003, merupakan puncak dari usaha mengintegrasikan pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.
Dengan demikian berarti UU No. 20 Tahun 2003 merupakan wadah formal terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Dengan adanya wadah tersebut, pendidikan Islam mendapatkan peluang serta kesempatan untuk terus dikembangkan.
Terdapatnya peluang dan kesempatan untuk berkembangnya pendidikan Islam secara terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional tersebut dapat dilihat pada pasal – pasal UU No. 20 Tahun 2003, seperti berikut ini.
  1. Pasal 1 ayat (2), disebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai – nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan Islam, baik sebagai sistem maupun institusinya, merupakan warisan budaya bangsa, yang berurat berakar pada masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian, jelas bahwa pendidikan Islam akan merupakan bagian integral dan tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan nasional.
  2. Pada pasal 3 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Nilai –nilai dan aspek – aspek tujuan pendidikan nasional tersebut, sepenuhnya adalah nilai –nilai dasar ajaran Islam, tidak ada yang bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam. Oleh karena itu, perkembangan pendidikan Islam akan mempunyai peran yang menentukan dalam keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut.
  3. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, vokasi, keagamaan, dan khusus. Yang dimaksud dengan pendidikan keagamaan sebagaimana yang dijelaskan pada pasal tersebut adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa setiap orang Islam berkepentingan dengan pengetahuan tentang ajaran – ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan nilai – nilai keagamaan, moral, dan sosial budayanya. Oleh sebab itu, pendidikan Islam dengan lembaga – lembaganya tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan nasional. Sejalan dengan pasal tersebut, dipertegas lagi dalam pasal 30 ayat (2) yang menyatakan bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan pesrta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai –nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
  4. dalam pasal 37 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis dan jalur serta jenjang pendidikan (dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi) wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa. Dalam kaitan ini, dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan (termasuk pendidikan agama Islam) merupakan bagian dari dasar dan inti kurikulum pendidikan nasional. Dengan demikian, pendidikan Islam pun terpadu dalam sistem pendidikan nasional.
  5. Pada pasal 53 ayat (1) dikemukakan bahwa masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
Dengan pasal ini satuan – satuan pendidikan Islam baik formal maupun non formal seperti madrasah, pesantren, madrasah diniyah, majlis ta’lim, dan sebagainya akan tetap tumbuh dan berkembang secara terarah dan terpadu dalam sistem pendidikan nasional. Sehubungan dengan hal ini juga pada pasal 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat (3) dikemukakan tentang pengakuan terhadap kelembagaan pendidikan Islam yang bernama madrasah yaitu dari madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyan (MTs), dan madrasah aliyah (MA). 
Demikian sepintas pasal – pasal yang termuat dalam UU Nomer 20 Tahun 2003 yang menempatkan posisi pendidikan Islam dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Pada dasarnya sebelum UU No. 20 Tahun 2003 lahir, pada UU No. 2 Tahun 1989 juga posisi pendidikan Islam sudah diatur sedemikian rupa, hanya saja dalam kerangka pelaksanaannya sering mendapatkan kendala sehingga pendidikan Islam masih dianggap sebagai pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan nasional.
Kalau dianalisis lebih lanjut tentang perbandingan antara pendidikan nasional dengan pendidikan Islam, akan lebih terlihat bahwa pada dasarnya pendidikan Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional dan akan selalu berjalan searah dan setujuan.
  1. Pada pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ... dan seterusnya, merupakan cita – cita bangsa Indonesia yang sekaligus menjadi tujuan pendidikan nasional. Hal tersebut bila dipandang dari perspektif konsep pendidikan Islam tidaklah bertentangan dan menyalahi tujuan pendidikan Islam. Wajar sekali kalau kedua sistem dikembangkan secara terpadu karena berorientasi pada tujuan dan wadah yang sama.
  2. Sebagaimana dikehendaki founding father, bahwa karakteristik pendidikan nasional seperti dirumuskan yaitu pendidikan kecerdasan akal budi yang bersendikan agama kebudayaan bangsa, dengan tujuan untuk mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan masyarakat. Kenyataan ini bila ditinjau dari aspek operasional pendidikan Islam, kiranya bisa dianalisis seperti berikut.
  3. Pendidikan kecerdasan akal budi merupakan usaha untuk menumbuhkembangkan potensi fitrah dalam operasionalisasi konsep pendidikan Islam sebab akal budi merupakan salah satu unsur penting dari fitrah manusia.
  4. Umat Islam adalah mayoritas bagi bangsa Indonesia karenanya agama dan kebudayaan yang dijadikan sendi pendidikan nasional, tidak lain adalah agama dan kebudayaan Islam, atau minimal agama dan kebudayaan Islami yang sudah menyatu dengan agama dan kebuadayaan Indonesia, dalam sistem pendidikan nasional menjadi unsur yang sangat dominan. 
  5. Oleh para pendiri bangsa dan negara ini, tujuan pendidikan nasional dirumuskan secara sangat sederhana yaitu, menuju kearah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat. Hal ini merupakan tujuan universal yang ada pada setiap masyarakat dan sistem budaya yang juga merupakan tujuan umum dan universal dari agama dan tujuan pendidikan Islam.
  6. Tidak bisa dipungkiri bahwa unsur – unsur budaya Islam telah menjadi bagian integral dari warisan budaya bangsa sehingga pendidikan nasional yang bertujuan untuk memajukan kebudayaan nasional akan berarti pula memajukan unsur – unsur budaya Islam. Begitu pula pendidikan di pesantren dan madrasah merupakan suatu bagian dari warisan budaya bangsa yang di bina dan di kembangkan dalam rangka pembinaan pendidikan nasional, juga berarti memajukan dan mengembangkan sistem pendidikan Islam.
  7. Pada bagian lain, sistem pendidikan pada sekolah – sekolah modern yang juga merupakan bagian dari warisan budaya bangsa, yang kemudian menjadi inti atau unsur utama dalam sistem pendidikan nasional, apabila di tinjau dari segi konsep filosofi pendidikan Islam, ternyata bahwa sekolah – sekolah dan sistem budaya modern tersebut adalah aktualisasi potensi fitrah manusia dalam sistem atau lingkungan budaya bangsa barat. Sistem dan lingkungan yang dikehendaki oleh Islam adalah sistem dan lingkungan budaya terbuka yang bercorak universal. Oleh sebab itu, penerimaan unsur – unsur budaya modern barat kedalam sistem lingkungan budaya Islam bukanlah merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan dalam hal ini lebih merupakan suatu kewajaran.
Demikian beberapa analisis yang berkenaan dengan bagaimana keterpaduan pendidikan Islam dengan sistem pendidikan nasional, sehingga wajar bila dikatakan bahwa pendidikan Islam merupakan bagian atau subsistem dari pendidikan nasional.

G. Reposisi Pendidikan Islam di era Otonomi Daerah
Reposisi Pendidikan Madrasah
Pengembangan madrasah yang dilakukan sejak diberlakukannya UU No. 2 Tahun 1989 telah menunjukkan banyak kemajuan. Beberapa indikator yang menunjukkan keberhasilan pengembangan madrasah dilihat dari kondisi fisik madrasah (terutama negeri) sudah banyak yang cukup baik dan bagus, bahkan ada beberapa madrasah yang dijadikan model dilengkapi dengan sarana pendidikan yang mewadahi seperti pusat belajar, laboratorium, perpustakaan. Guru – guru madrasah juga telah ditingkatkan kompetensi dan kemampuannya melalui berbagai pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun di luar negeri.
Sejak berlakunya UU No. 2 Tahun 1989 tersebut, pendidikan madrasah telah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, visi pendidikan madrasah tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional.
Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan Islam, diantaranya madrasah, lahir dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan madrasah pada hakikatnya dimiliki dan di kelola oleh masyarakat secara demokratis. Meskipun dalam perkembangannya madrasah dikelola oleh yayasan, pengurus, bahkan perorangan, kehidupan madrasah tetap di topang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya. Ketika sekarang banyak pihak berbicara tentang strategi pendidikan dengan pendekatan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat (community based management), madrasah khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah memiliki pengalaman dan sejarah panjang mengenai hal tersebut. Inilah kekuatan utama yang dimiliki oleh madrasah. Selanjutnya CBM akan bermuara pada management madrasah (school based management) yakni pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh madrasah secara otonomi.
Otonomi pendidikan merupakan kekuatan madrasah yang juga sekaligus sebagai kelemahannya jika tidak dibarengi dengan kepemimpinan madrasah yang visioner dan mampu mengelola perubahan. Kelemahan lainnya adalah adanya kecenderungan resistensi terhadap nilai – nilai lama yang mengakibatkan madrasah terlempar dari mainstream pendidikan baik pada masa kolnial maupun pasca kemerdekaan.
Kebijakan pengembangan madrasah yang dilakukan oleh Departemen Agama selama ini mengakomodasikan tiga kepentingan. Pertama, kebijakan itu memberikan ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup islami. Kedua, kebijakan itu memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif dan sederajat dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntunan – tuntunan masa depan (Malik Fadjar, 1999). 
Sementara itu kebijakan operasional dalam upaya menghadapi era globalisasi, Departemen Agama Republik Indonesia telah menyiapkan pemberdayaan madrasah melalui sejumlah kebijakan seperti madrasah terbuka (khususnya tingkat tsanawiyah), madrasah reguler (sekolah umum bercirikan khusus agama Islam), madrasah aliyah keagamaan (MAK), madrasah aliyah program keterampilan, madrasah tsanawiyah dan aliyah model, serta madrasah kembar sebagai institusi sosial, madrasah dituntut untuk terus melakukan inovasi – inovasi dan modifikasi sistem pendidikan dan kelembagaannya agar tidak ketinggalan dengan akselerasi modernisasi dan perubahan.
Perubahan yang sangat cepat, terutama akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serta politik, telah berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali juga dunia pendidikan madrasah. Kondisi yang demikian memang memaksa madrasah untuk terus berbenah dan melakukan reorientasi terhadap tujuan, metode pembelajaran, materi pembelajaran, dan sebagainya. Sebab, kalau hal demikian tidak dilakukan, sudah dapat dipastikan lembaga pendidikan Islam ini akan semakin tertinggal. Dengan kondisi yang demikian, diperlukan suatu peninjauan kembali mengenai posisi madrasah di dalam dinamika kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Dengan kata lain, madrasah perlu merumuskan kembali posisi nya atau reposisi madrasah. Apabila tidak demikian, madrasah akan kehilangan identitasnya dan menjadi seperti sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah selama ini (Tilaar, 2000 : 173).
Adanya tuntutan masyarakat Indonesi baru, antara lain demokratisasi pendidikan yang memupuk lahirnya tingkah laku peserta didik yang demokratis, hubungan yang demokratis antara guru dengan peserta didik demi perkembangan berpikir yang kreatif, pendidikan agama yang membentuk nilai – nilai moral serta memperkuat iman dan takwa, menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serta memupuk kerjasama dalam persaingan sebagaimana yang dituntut oleh masyarakat global. Semua ini pada dasarnya merupakan nilai – nilai yang tidak asing didalam kehidupan lembaga pendidikan madrasah. Namun demikian, nilai – nilai tersebut cenderung menghilang dan di arahkan pada uniformitas yang dituntut oleh sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintahan yang sentralistik selama ini.
Oleh sebab itu, di era otonomi daerah dan otonomi pendidikan, reposisi kelembagaan Islam yang dalam hal ini diwakili madrasah, ditujukan pada berkembangnya identitas lembaga tersebut yang pada akhirnya akan melahirkan pribadi peserta didiknya yang mempunyai identitas karena pembinaan madrasah dengan ciri khas yang dimilikinya.  

Modernisasi Pesantren
Diantara lembaga pendidikan Islam madrasah yang mempunyai peran strategis dalam konteks pendidikan nasional adalah lembaga pendidikan pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dalam hal pengelolaannya sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat. 
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua, jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan modern yang bernama sekolah dan lembaga pendidikan Islam sendiri yang bernama madrasah. Menurut beberapa catatan sejarah, pesantren sudah didirikan sejak abad ke 11 atau tepatnya sekitar tahun 1062 M (Departemen Agama RI, 1984 : 18). Kehadiran pesantren di tengah – tengah masyarkat tidak hanya sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Dengan sifatnya yang fleksibel sejak awal kehadirannya, pesantren ternyata mampu mengadaptasikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat (Hasbullah, 1999: 42).
Sejak tahun 1970 an, pesantren terangkat dalam wacana intelektual kaum muslimin di Indonesia, bersamaan dengan isi pengarahan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan isu modernisasi. Melalui sentuhan beberapa aktifis yang kebanyakan alumninya, lembaga tradisional yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia tersebut mengalami proses aktualisasi, baik dalam bentuk resistensi maupun integrasi.
Dalam bentuk resistensi, pesantren tetap mempertahankan karakteristiknya sebagai lembaga tradisional dengan sistem nilai yang khas, sambil berusaha mengerahkan kemampuannya untuk melayani masyarakat kalangan bawah. Sementara itu dalam bentuk integrasi, pesantren dipertemukan dan dipadukan dengan lembaga modern, mulai dalam aspek kepemimpinan, kurikulum, fisik bangunan, sampai dengan orientasinya.
Upaya pengembangan pondok pesantren dalam konteks otonomi daerah, paling tidak ada dua hal yang memerlukan perhatian secara khusus, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Pengembangan yang bersifat eksternal, diantaranya sebagai berikut.
  • Tetap menjaga agar citra pondok di mata masyarakat sesuai harapan masyarakat, harapan orang tua yang memasukkan anaknya ke pondok. Untuk hal ini, mutu lulusannya harus mempunyai nilai tambah dari lulusan pendidikan lainnya yang sederajat.
  • Meskipun diakui kekhususannya, pesantren merupakan bagian dari pendidikan nasional, dan santrinya pun merupakan bagian integral dari masyarakat karena mereka dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab dalam masyarakat. Oleh sebab itu, pesantren harus selalu peduli terhadap aturan main dan tata aturan dalam pendidikan nasional.
  • Santri – santri hendaknya dipersiapkan untuk mampu berkompetensi dalam masyarakat yang majemuk.
  • Pesantren hendaknya terbuka terhadap setiap perkembangan dan perubahan yang terjadi, terhadap temuan – temuan ilmiah, termasuk temuan baru dalam dunia pendidikan, artinya pesantren tidak tenggelam pada dunianya sendiri.
  • Pesantren juga diharapkan dapat dijadikan sebagai pusat studi (laboratorium agama) yang dapat membahas berbagai perkembangan dalam masyarakat, guna kepentingan bangsa dan umat Islam khususnya.
Sementara itu, yang bersifat internal dalam pengembanganpesantren, perlu dilakukan hal – hal sebagai berikut.
  • Kurikulum pesantren hendaknya dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan santri, baik minat, bakat, ataupun kemampuannya. Hal ini dimungkinkan karena penelusuran minat dan bakat mereka lebih mudah dilakukan di pesantren, sebab umumnya santri tinggal di pondok. Kurikulum ini sekaligus dapat menyatukan dengan baik antara aspek intelektual – emosional, agama – spiritual, dan kinerja – psikomotor.
  • Tenaga pengajar pesantren, tanpa mengurangi peran kiai, untuk pengembangan pesantren yang adaptif kiranya perlu kriteria – kriteria khusus dalam perekrutan tenaga pengajarnya. Minimal hal – hal yang perlu dipertimbangkan : (1) mempunyai pengetahuan keagamaan yang cukup mantap, disamping itu ia juga profesional dalam bidang ilmu yang diajarkan, serta punya kemampuan dalam mentransfer ilmunya kepada santri dengan baik, sering disebut dengan ulama – ilmuwan – pendidik; (2) ia seorang profesional dalam bidang ilmu yang diajarkan, mampu mentransfer ilmu nya dengan baik, dengan metode – metode yang baik dan tepat, tapi juga memiliki wawasan keagamaan yang mantap sehingga dapat melakukan pendekatan agama terhadap ilmu yang diajarkan. Dengan demikian ia merupakan kombinasi ilmuwan – pendidik dan ulama.
  • Proses pembelajaran di pesantren, karena jumlah santri yang cukup banyak dan santri juga tidak lagi menerima informasi sepihak, perlu dikembangkan daya nalar, kritik, dan kreatifitas santri.
  • Sarana pendidikan di peasantren, faktor sarana sangat menetukan, hampir bisa dipastikan dengan sarana belajar yang lengkap, hasil yang dicapai akan lebih baik ketimbang yang tidak memiliki sarana. Sarana – saran dimaksud seperti ruang belajar yang baik, perpustakaan yang lengkap, peralatan laboratorium, media – media belajar, komputer, tekhnologi jaringan, dan sebagainya.
  • Aktivitas kesantrian tidak hanya meliputi mengaji, sholat berjama’ah, tadarus, membaca kitab, dan sebagainya, untuk kondisi sekarang wawasan santri perlu diperluas dengan aktifitas yang lebih banyak. Mereka perlu meneliti suatu yang ada dilingkungannya sehingga temuannya dapat membenarkan betapa besar kekuasaan Allah, mereka perlu berolahraga dan seni, berorganisasi, belajar bisnis, dan sebagainya. Aktivitas yang banyak tersebut akan sangat membantu santri dalam pengembangan kualitas dan kesiapan berkompetisi setelah keluar dari pesantren.
Dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi pendidikan, pada dasarnya keberadaan pesantren tidak banyak yang berubah sebab sebagai konsekwensi dari desentralisasi pendidikan adalah diserahkannya kembali pendidikan kepada masyarakat yang memiliknya, sementara pesantren sudah sejak lama berada di tengah – tengah masyarakat, didirikan oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena itu, yang perlu dibenahi hanya dalam hal – hal bagaimana agar pesantren tidak ketinggalan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta berbagai perubahan yang terjadi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

thanks gan. muhamandrianto.blogspot.com :)

Posting Komentar