Makalah Konsep Fitrah dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam

Berikut ini Makalah Konsep Fitrah dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam, semoga makalah berikut ini dapat membantu anda dalam mengerjakan tugas makalah anda.

A. Pembahasan
1. Konsep Fitrah dalam Perspektif Pendidikan Islam
Kaum Nashrani menyatakan bahwa manusia lahir dengan seperangkat dosa waris, yakni dosa asal sebagai akibat dari perbuatan durhaka Adam. Di lain pihak, aliran Behaviorisme memandang bahwa manusia lahir tidak mempunyai kecenderungan baik maupun buruk. Teori ini terkenal dengan teori tabularasa.
Sedangkan Islam menawarkan sebuah konsep tentang hakikat manusia yang tercermin dalam konsep fitrahnya. Para pakar Islam mencoba memformulasikan makna fitrah, dan tiap-tiap formulasi yang dihasilkan melalui kajian dan argumentasi yang kuat. Landasan dari tiap formulasi tersebut adalah firman Allah SWT. yang berbunyi :
“maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S. Ar-Rum: 30)
Dari ayat tersebut timbulah berbagai interpretasi tentang makna fitrah yaitu :
a. Fitrah berarti suci
b. Fitrah berarti Islam
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah
d. Fitrah berarti murni
e. Fitrah berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan untuk menerima kebenaran
f. Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah
g. Fitrah berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesesatannya.
h. Fitrah berarti tabi’at alami yang dimiliki manusia (human nature).
Muhammad Fadhil al-Jamaly memandang fitrah sebagai kemampuan dasar dan kecenderungan yang murni bagi setiap individu. Fitrah ini lahir dalam bentuk yang paling sederhana dan terbatas, kemudian saling mempengaruhi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga tumbuh dan berkembang lebih baik, atau bahkan sebaliknya. Sebagai mana telah dijelaskan di atas bahwa fitrah mengacu kepada potensi yang dimiliki manusia. Potensi itu diantaranya yakni:

a. Potensi beragama
Naluri beragama mulai tumbuh apabila manusia dihadapkan pada persoalan persoalan yang melingkupinya. Akal akan menyadari kekerdilannya dan mengakui akan kudratnya yang terbatas. Akal akan insaf bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu Allah. Islam bertujuan merealisasikan penghambaan sang hamba kepada Tuhannya saja. 

b. Kecenderungan moral
Kecenderungan moral erat kaitannya dengan potensi beragama. Ia mampu untuk membedakan yang baik dan buruk. Atau yang memiliki hati yang dapat mengarahkan kehendak dan akal. 

c. Manusia bersifat luwes, lentur (fleksible)
Manusia mampu dibentuk dan diubah. Ia mampu menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adat adat, nilai, tendeni atau aliran baru. Atau meninggalkan adat, nilai dan aliran lama, dengan cara interaksi social baik dengan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman tentang bagaimana sifat manusia yang mudah lentur, terdapat dalam surat Al Insan ayat 3 :
 “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir”.

d. Kecenderungan bermasyarakat
Manusia juga memiliki kecendrungan bersosial dan bermasyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), yaitu :
Daya intelektual (quwwat al-‘aql)
Yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
Daya ofensif (quwwat al-syahwat)
Yaitu potensi dasar yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
Daya defensif (quwwat al-ghadhab) 
Yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya.
Namun demikian, diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama – potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam kitab dan ajaran ajaran-Nya. Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia kepada dua bentuk, yaitu:
a. Fitrah al gharizat
Merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Bentuk fitrah ini berupa nafsu, akal, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan.
b. Fitrah al munazalat
Merupakan potensi luar manusia. Adapun fitrah ini adalah wahyu ilahi yang diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara kedua fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fitrah merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan dan pengaruh dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
Dari semua penjelasan mengenai potensi manusia, tampak jelas bahwa lingkungan ikut mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, pembinaan fitrah yang dimiliki tidak pada fitrahnya maka manusia akan tergelincir dari tujuan hidupnya. Untuk itu salah satu pembinaan fitrah dengan pendidikan. Bila pengertian fitrah di atas dikaitkan dengan tugas dan fungsi manusia lebih lanjut dianalisa, maka akan terlihat bahwa fitrah manusia tersebut masih memerlukan beberapa upaya untuk merangsangnya berkembang secara maksimal, upaya tersebut adalah pendidikan. Fitrah manusia bukan satu-satunya potensi manusia yang dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya, tetapi ada juga potensi lain yang menjadi kebalikan dari fitrah ini, yaitu nafsu yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan (Q.S. 12:53). Untuk itulah fitrah harus tetap dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar apabila mendapat suplay yang dijiwai oleh wahyu Allah, tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman Islam secara kaffah dan universal. Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang dengan Islam, semakin baik pula perkembangan fitrahnya.
Konsep fitrah menurut Islam tidak sama dengan teori Tabularasa John Locke. Sebab dalam Islam, manusia sejak lahir telah memiliki berbagai bentuk potensi yang bisa dikembangkan. Konsep fitrah manusia menurut Islam juga berbeda jauh dengan teori nativisme A, Scopenhour, sebab dalam Islam mengakui adanya pengaruh yang besar di luar diri manusia, baik insani maupun non insani, dalam mengembangkan dan memodifikasi potensi yang dimilikinya. 
Dalam pandangan Islam, perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan semata, akan tetapi ada kalanya potensi yang lebih dominan dalam membentuk kepribandian manusia, tapi ada kalanya lingkungan yang lebih dominan, atau kedua-duanya sama-sama dominan. Bahkan dalam Islam, di luar kedua pengaruh tersebut, ada pengaruh lainnya yang juga ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian manusia, yaitu faktor hidayah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa cakupan dari pengertian fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam sangat luas dibanding dengan batasan yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan kontemporer dalam melihat potensi manusia yang terkesan bersifat parsial dan lepas dari kerangka bingkai religiusitas manusia yang sakral dan asasi.

2. Implikasi Fitrah dalam Pendidikan Islam
Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa karena sifat dasar manusia merupakan makhluk yang serba terbatas dan memerlukan upaya yang membuat kehadirannya di muka bumi ini lebih sempurna, maka perlu ada upaya. yakni pendidikan. Oleh karena itu sifat khas pendidikan Islam adalah berupaya mengembangkan sifat dan potensi yang dimiliki peserta didiknya secara efektif dan dinamis. 
Potensi itu meliputi kemampuan mengamati, menganalisa dan mengklasifikasi, berpendapat, serta kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik yang berhubungan langsung dengan manusia itu sendiri, alam, sosial, maupun pada Tuhannya, maka pada dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya. 
Dengan upaya ini akan menciptakan situasi dan model pendidikan Islam yang demokratis-fleksibel. Fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat dari dua dimensi manusia secara integral, yaitu fitrah jasmaniah dan fitrah rohaniah. Keduanya memiliki natur dan kebutuhan yang berbeda antara satu dengan yang lain karena hakekat esensial keduanya berbeda, akan tetapi keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Jika salah satu di antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi pengembangan totalitas fitrah manusia, Untuk menyeimbangkan keduanya, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, akan tetapi jauh dari itu, pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, meliputi pengembangan jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memiliki kepribadian paripurna bagi kemashlahatan seluruh umat.
Dengan demikian, berarti pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai Ilahiah yang diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yang disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan potensi peserta didik. 
Apabila kita melihat program pendidikan sebagai usaha untuk menumbuhkan daya kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai ilahi dan insani, serta membekali anak didik dengan kemampuan yang produktif. Dapat kita katakan bahwa fitrah merupakan potensi dasar anak didik yang dapat menghantarkan pada tumbuhnya daya kreativitas dan produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai ilahi dan insani. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembekalan berbagai kemampuan dari lingkungan sekolah dan luar sekolah yang terpola dalam program pendidikan. Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya menjadi orang ini dan itu, tetapi cukup dengan menumbuhkan dan mengembangkan potensi dasarnya serta kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang dimiliki anak. Apabila anak mempunyai sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan jahat, upaya pendidikan diarahkan dan difokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau setidaktidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut. Jelasnya seorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang telah dibawa anak didik sejak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya untuk menjauhkan timbulnya pelajaran yang dapat menyebabkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik. 
Ali Syari’ati mengungkapkan lima faktor yang secara kontinu dan simultan membangun personalitas anak didik, yaitu :
Factor ibu yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan.
Factor ayah yang memberikan dimensi kekuatan akan hahrga diri.
Factor sekolah yang membantu terbentuknya sifat.
Factor masyarakat dan lingkungan yang memberikan sarana empiris bagi anak.
Factor kebudayaan umum masyarakat yang memberi pengetahuan dan pengalaman tentang corak kehidupan manusia. 
Kelima faktor di atas merupakan stimulasi yang dapat mengembangkan fitrah anak didik dalam berbagai dimensinya. Karena fitrah manusia memiliki sifat yang suci dan bersih, orang tua/pendidik dituntut untuk tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak didiknya pada kebiasaan yang baik, serta melarang mereka membiasakan diri untuk berbuat buruk.

B. Penutup/kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam rangka mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia, baik itu potensi jasmani maupun rohani, pendidikan memainkan peranan penting yang tidak dapat dipungkiri. Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer kebudayaan dari suatu komunitas ke komunitas yang lain, mengetahui baik dan buruk dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar